September kemarin saya solo traveling ke Dili, Timor Leste. Di sana saya menginap di hostel yang dikelola pria bule dan istrinya yang asli Indonesia. Keduanya ramah menyambut kedatangan para tamu, dan saya langsung akrab dengan istrinya yang dipanggil Nana.
Setelah menaruh barang, saya keluar untuk ngobrol dengan Nana. Dia bercerita bahwa suaminya asli Portugal, dan mereka bertemu saat sama-sama bekerja di Macao. Dia tidak bisa Bahasa Portugis atau Portugal, tapi paham beberapa kata, karena di Macao sendiri peninggalan Portugis yang pernah menduduki Macao, masih tersebar di berbagai sudut kota.
Dia juga banyak bercerita tentang Macao yang bagaikan selalu siang  karena gemerlapnya casino, hotel, dan pusat perbelanjaan megah di  sepanjang jalan. Kotanya selalu ramai turis, sampai susah  membedakan antara penduduk dan wisatawan. Meskipun di sana dia harus banting tulang sampai lelah, dia rindu suasananya. Sangan bertolak belakang dengan keadaan di Dili.
Dari cerita Nana, saya jadi makin pingin ke Macao tahun depan. Penasaran melihat langsung kepingan Gereja St. Paul, merasakan gemerlapnya Venetian, dan jalan-jalan mengelilingi Senado Square yang jarang sepi. Tapi, bosan juga kalau terus berada di keramaian, makanya ada satu tempat yang menarik minat saya di Macao, yaitu Desa Taipa.
Di antara bayang-bayang megah dan spektakulernya bangunan di Macao, ada ruang yang masih menyimpan kesederhanaan lokal. Desa Taipa, sebuah kawasan lama yang masih menyisakan kenangan akan sentuhan Portugis yang berbau Eropa, dan budaya Tiongkok yang menyelimuti Macao.
Sudut-sudut jalan dipenuhi dengan bangunan tua dalam wujud rumah tinggal, kios pedagang, mini resto, cafe, kuil, gereja, galeri seni, dan museum. Semua itu berdiri kokoh dan selaras dengan ciri khasnya masing-masing. Sebut saja I Leng Temple, Kun Iam Temple, Museum of Taipa and Coloane History, Tin Hau Temple, Pak Tai Temple, Rua do Cunha, Carmo Hall, Our Lady of Carmo Church, dan Taipa House. Semuanya masih mempertahankan arsitektur lamanya yang kuno tapi manis.
Pengunjung yang datang seakan dibawa ke masa lampau, ketika Portugis masih menguasai Macao yang dihuni penduduk aslinya. Tidak heran kalau terlihat ada banyak bangunan terpisah gang kecil beralaskan paving block, seperti kampung-kampung di benua biru. Catnya juga cenderung berwarna pastel ceria. Di depannya ada papan nama bertuliskan huruf kanji dan Bahasa Portugis. Suasana Eropa dan Asia seolah silih berganti bisa dijumpai di desa ini. Selaian itu, tentunya, makanan bercita rasa Portugis sangat mudah ditemukan di sini.
![www.rdasia.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/25/taipa-5a40faa45e13733cec671582.png?t=o&v=770)
Di tempat-tempat lama beginilah biasanya banyak harta karun, khususnya bagi para instagrammer. Pasti ada banyak spot untuk foto-foto plandid (planned candid). Orang tidak akan menyangka itu di Macao.
![http://en.macaotourism.gov.mo](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/25/taipa-house-5a41072bcf01b43e990009c4.jpg?t=o&v=770)
Untuk mencapai Taipa, pengunjung bisa menggunakan kendaraan umum, seperti bus, taxi, shuttle bus dari bandara, shuttle bus dari Cotai Resort, dan juga kendaraan pribadi. Jika menggunakan bus umum, bisa berhenti di tiga stasin, yaitu Rua Correria da Silva, Rua da Ponte Negra, dan persimpangan antara Rua Correria da Silva dan Rua do Regedor. Tuh, kan, nama-nama tempat perhentiannya Portugis semua.