Pesawat terbang makin memperketat pengawasan terhadap barang elektronik. Baru-baru ini muncul rencana peraturan baru, mengenai larangan membawa laptop ke kabin pesawat. Tidak hanya laptop, tapi semua barang elektronik yang ukurannya lebih besar dari telepon genggam, termasuk tablet dan kamera. Beberapa negara di luar sana sudah menerapkan peraturan ini, termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Meskipun saat ini hanya terbatas untuk penerbangan dari negara-negara tertentu saja. Untuk apa? Mencegah terorisme, katanya.
Indonesia pun merasa perlu memberlakukan peraturan yang sama. PT Jasa Angkasa Semesta (JAS) mengaku siap untuk menerapkannya. Apa Indonesia benar-benar sudah siap? Nanti dulu.
Banyak hal yang perlu dibenahi. Berkaca dari pengalaman, banyak oknum maskapai yang tidak melayani barang sebaik mereka melayani penumpangnya. Barang yang masuk bagasi dilempar begitu saja, padahal sudah ada keterangan barang pecah belah. Bahkan banyak konsumen yang kurang puas karena begitu barang diambil di bandara tujuan, kemasannya rusak, tas terbuka, dan bahkan tidak sedikit yang hilang. Banyak beredar rekaman CCTV dan video amatir yang mampu menjelaskannya. Begitu ditanyakan kepada pihak maskapai, jawaban yang muncul seperti permainan Cat vs Dog: lempar-lemparan.
Bagi pelaku bisnis, baik itu bidang barang maupun jasa tentu kepuasan konsumen menjadi elemen penting dalam setiap kebijakan yang dibuat. Improvement terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Zero Defectdan Zero Complaint merupakan target pencapaian setiap pelaku manajemen.
Saya setuju dengan pihak maskapai yang melayani tracing dan ganti rugi atas kerusakan barang yang masuk bagasi. Tapi bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Terus terang, saya lebih memilih bertahan dengan laptop saya beserta datanya dibandingkan diberi uang tunai sebagai ganti rugi karena laptop hilang atau rusak.
Pada dasarnya setiap penumpang pesawat terbang pasti akan menaati peraturan yang berlaku, mau tidak mau, suka tidak suka. Tapi sekali lagi, bukankah setiap kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada kepuasan konsumen?
Jika peraturan ini diterapkan dengan kondisi yang sekarang, tentu banyak penumpang yang akan merasa was-was setiap kali naik pesawat. Bukan lagi hanya karena keselamatannya, tapi kuatir akan keselamatan barangnya yang masuk bagasi. Tentu kita tidak ingin muncul berita tentang perusahaan yang gagal ikut tender disebabkan laptop yang berisi data penting hilang di bandara? Atau berita mengenai mahasiswa yang gagal ikut pendadaran karena laptopnya hilang beserta data skripsinya? Atau mungkin tentang wisatawan yang kembali ke negaranya tanpa menghasilkan foto sama sekali? Ini baru laptop dan kamera loh. Bisa saja nanti muncul larangan membawa UPS. Eh, USB!
Mungkin benar bahwa teroris banyak beraksi di dalam kabin dengan menggunakan perangkat elektronik. Mungkin saja. Peraturan ini pun merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh beberapa negara diluar sana. Tapi apakah Indonesia harus serta-merta mengikuti peraturan ini? Apakah Indonesia benar-benar sudah siap menerapkannya? Atau apakah tidak ada alternatif lain yang bisa dilakukan untuk mencegah aksi terorisme dalam pesawat? Sebelum benar-benar diterapkan, peraturan ini perlu digodok matang-matang oleh berbagai pihak, dan tentunya harus diimbangi dengan pelayanan serta pengawasan yang optimal terhadap barang di bagasi. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H