Banyak dari kita yang berperan sebagai perantau saat ini, baik itu dalam rangka studi maupun bekerja. Tanpa bermaksud mengajari, saya ingin membagikan pengalaman saya sendiri ketika hidup di perantauan. Sebagai informasi, saya yang bertempat tinggal di Bekasi hingga saat ini pernah merantau ke Magelang, Yogyakarta,Surabaya, Balikpapan, dan Bengkulu. Oiya, merantau disini bukan berarti hanyauntuk tujuan wisata loh ya. Dari semua itu, saya ingin lebih spesifik ke perantauan saya di Yogyakarta.
Saya merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Terlahir dari keluarga sederhana, masuk dalam kategori menengah kebawah. Saya merantau ke Yogyakarta dalam rangka menempuh studi strata satu di salah satu universitas swasta. Tergolong nekat memang, karena orang tua saya jelas tidak mempunyai kemampuan finansial yang mendukung untuk itu. Ditambah lagi, saat itu kedua kakak saya juga sedang menempuh kuliah dan adik saya sedang berada di sekolah menengah. Terus terang, sebelumnya saya pernah mendaftar di salah satu universitas negeri ternama di Jakarta, namun tidak berhasil. Saya langsung banting setir ke swasta, tanpa mencoba peruntungan di berbagai macam ujian-ujian lainnya.
Selama masa kuliah, saya tinggal bersama beberapa saudara, dalam bahasa batak disebut Uda dan Bou (dalam bahasa Indonesia artinya Paman dan Bibi), tapi mereka tidak setua yang kalian bayangkan. Panggilan itu hanya didasarkan pada silsilah. Usia kami pun tidak jauh berbeda. Meskipun jarak dari rumah bisa dibilang tidak dekat dengan kampus, tapi saya dibekali sebuah sepeda motor (terima kasih banyak untuk mereka!).
Melihat kondisi kedua orang tua saya yang bekerja makin keras demi membiayai keempat anaknya, saya tentu tidak ingin berbuat aneh-aneh. Saya diberikan uang bulanan sebesar 500.000 rupiah, dan saya terima begitu saja tanpa kompromi. Padahal jika dihitung-hitung secara kasar, itu jelas tidak cukup. Anggaplah untuk tiga kali makan dalam sehari menghabiskan 20.000 rupiah (biaya hidup di Yogyakarta terkenal ramah terhadap dompet mahasiswa), maka akan membutuhkan 600.000 rupiah. Oiya, kami hampir tidak pernah masak di rumah, jadi selalu makan di luar. Itu untuk makan saja tidak cukup loh. Belum lagi biaya bensin, cetak tugas, servis motor, servis pacar. Loh? Boro-boro beli baju baru buat hari raya.
Ini membuat saya memutar otak, bagaimana caranya dapat bertahan hidup di perantauan tanpa meminta uang lebih kepada orang tua saya. Berikut beberapa hal yang saya lakukan:
Menjadi Guru Privat
Sejak tahun pertama kuliah, saya menjadi guru privat bagi siswa-siswi mulai dari tingkat SD hingga SMA. Berawal dari ikut-ikutan masuk menjadi pengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar (padahal saya sendiri belum pernah ikut les atau kursus lainnya sejak lahir), saya dipercaya mengajar seorang anak SD. Sebagai informasi, dalam bimbingan belajar terdapat sistem bagi hasil, 70 persen untuk pengajar dan 30 persen untuk lembaga. Maka saya putuskan untuk keluar dari bimbingan belajar dan mencoba bergelut sendirian. Cukup berhasil saya rasa. Lama-kelamaan dari mulut ke mulut, murid saya bertambah. Â Dalam hitungan kasar, dalam sebulan saya bisa memperoleh penghasilan hingga mencapai 450.000 rupiah. Nilai tambahnya, jadwal dapat ditentukan sendiri, sehingga saya dapat menyesuaikan dengan jadwal kuliah saya. Apabila ada kuliah pengganti yang mendadak pun saya tinggal sms atau telepon orang tua siswa, untuk mengganti jadwalnya. Â Terbukti tidak mengganggu kegiatan perkuliahan saya di kampus. Simpel, bukan?
Mencari Beasiswa
Saya rasa, ini merupakan hal wajib bagi mahasiswa. Terlepas apakah mahasiswa tersebut mampu atau kurang mampu secara finansial, beasiswa merupakan tambahan dana segar yang bisa digunakan untuk banyak hal. Masalahnya, banyak mahasiswa yang malas dan kurang percaya diri untuk mendaftarkan dirinya. Di kampus, saya mulai mendapatkan beasiswa sejak tahun kedua. Mulai dari beasiswa kampus hingga pemerintah pernah saya nikmati. Meskipun terkadang gagal, tapi saya tidak menyerah begitu saja.
Ini adalah kegiatan favorit saya. Kebetulan passion saya tidak jauh-jauh dari vokal dan musik. Meskipun belum memiliki skill yang oke, saya mencoba membentuk grup. Berawal dari vokal grup yang beranggotakan 6 orang, saya dan teman-teman mulai ikut di berbagai ajang, baik sebagai peserta maupun pengisi acara. Vokal grup ini lebih mengarah ke pelayanan, sehingga uang bukanlah patokan utama. Memasuki tahun terakhir kuliah, saya diajak bergabung dalam sebuah band. Saya didaulat mengisi posisi vokal. Selain rutin menjadi pemain live music di beberapa kafe, kami juga aktif di berbagai ajang, baik menjadi peserta maupun pengisi acara.