Beberapa waktu yang lalu saya menulis mengenai catcall, yang menjadi momok bagi kaum perempuan. Masih berhubungan, kali ini saya mencoba membahas mengenai hal yang seringkali menjadi topik hangat di kalangan perempuan: bentuk tubuh ideal.
Banyak cara ditempuh untuk mencapai bentuk tubuh yang ideal. Mulai dari olahraga, mengurangi porsi makan, diet ketat, hingga menggunakan produk-produk yang banyak dijual di pasaran. Tidak peduli apakah komposisinya benar-benar mendukung tujuan mereka. Seringkali asumsi hanya mengacu pada beberapa hal: iklan dan testimoni. Eh sebentar, bagaimana sebenarnya bentuk tubuh yang ideal itu?
Beberapa abad yang lalu, bentuk tubuh yang gemuk merupakan bentuk tubuh yang sangat ideal. Ini mengacu pada anggapan bahwa perempuan berpinggang lebar merupakan perempuan yang subur. Seiring dengan berjalannya waktu, anggapan ini berubah. Perut rata yang ditambah dengan payudara besar merupakan dambaan tiap perempuan sejak pertengahan abad 20. Lalu bagaimana dengan ideal versi saat ini?
Banyak pendapat mengenai kriteria bentuk tubuh yang ideal saat ini, yang tentu tidak dapat ditentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Sebenarnya sudah ada penelitian yang biasa digunakan kaum awam untuk menghitungnya, yaitu Rumus Rocha:
Berat wanita ideal = (Tinggi badan – 100) – (15% x (Tinggi badan – 100))
Berat pria ideal = (Tinggi badan – 100) – (10% x (Tinggi badan – 100))
Angka ini dapat dijadikan patokan pribadi. Jika berat badan jauh melebihi hitungan di atas, sebaiknya dilakukan upaya untuk menurunkannya. Begitu pula sebaliknya. Sehingga wajar rasanya yang gemuk ingin lebih kurus dan yang kurus ingin lebih gemuk.
Masalahnya, makna gemuk dan kurus merupakan kosa kata yang relatif, tergantung dari persepsi tiap orang. Tentu kita banyak melihat orang yang sudah kurus, tapi masih menerapkan diet ketat karena kurang puas dengan kondisi tubuhnya. Kadang saya berpikir, mungkin bentuk tubuh yang ideal baginya adalah rangka yang dibalut dengan kulit. Duh!
Dari berbagai persepsi mengenai bentuk tubuh yang ideal, mayoritas orang (terutama perempuan) saat ini menginginkan tubuh yang langsing. Kosa kata langsing lebih sopan sepertinya daripada kurus. Lucunya, di luar negeri banyak hal dilakukan untuk menguji tingkat kelangsingan seseorang. Mari kita bahas beberapa diantaranya.
Collarbone challenge merupakan tantangan pertama yang ingin saya bahas. Ini merupakan tantangan dimana perempuan harus meletakkan koin dalam posisi berdiri sebanyak mungkin di tulang selangkanya. Semakin banyak koin yang berhasil diletakkan, maka kriteria lansing sudah menjadi miliknya. Banyak yang mengganti koin dengan berbagai benda lain, seperti strawberry dan telur. Di Indonesia, banyak yang menyebutnya “tempat sabun”. Tentu terasa familiar, bukan?
Tantangan berikutnya merupakan bellybutton challenge, dimana seseorang memegang pusarnya sendiri dengan melingkarkan tangannya melalui bagian belakang tubuh. Jika berhasil, kriteria langsing sudah dipenuhi. Ada pula yang memakai lipstick dengan melingkarkan tangan melalui bagian belakang kepalanya. Ini mengingatkan saya kepada salah satu tokoh Fantastic Four.
Ada lagi tantangan yang menggunakan selembar kertas HVS ukuran A4 sebagai alat ujinya yang biasa disebut dengan A4 Waist Challenge. Kertas HVS ini diletakkan dengan posisi tegak (vertical) didepan perut. Jika bagian perut sudah tertutupi sepenuhnya dengan kertas itu, dapat dikatakan langsing. Saya sudah mencobanya, dan berhasil. Tapi dengan cara saya sendiri: kertas HVS saya letakkan dengan posisi mendatar (horizontal).
Berikutnya, ada tantangan dengan menggunakan iPhone 6, yang memiliki lebar sekitar 138 milimeter. Jika biasanya bagian atas pinggul yang jadi sasaran, kali ini sebaliknya. Ponsel tadi diletakkan secara mendatar di depan kedua kaki yang tertutup. Jika iPhone 6 tadi mampu menutupi permukaan lutut, dapat dikatakan langsing. Ketika saya ingin mencobanya, saya baru sadar bahwa saya tidak punya produk Apple sama sekali. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak kehabisan akal, saya menggunakan laptop sebagai pengganti ponsel. Dan, (lagi-lagi) berhasil!
Banyak perempuan, terutama kalangan anak muda yang berlomba-lomba untuk melakukan tantangan tersebut. Jika berhasil, dengan bangga akan dipamerkan di media sosial. Lalu banyak orang yang akan menuliskan komentar “body goals”, sama persis dengan caption yang biasanya dituliskan.
Sebentar, bagaimana dengan yang tidak berhasil? Banyak dari mereka yang kurang percaya diri karena memiliki tubuh yang gemuk. Tragisnya, ini berbanding lurus dengan budaya yang berkembang saat ini: merendahkan orang-orang bertubuh gemuk. Banyak muncul jokes-jokes murahan yang menyindir volume tubuh seseorang. Body shaming. Mungkin akan coba saya bahas di tulisan berikutnya.
Mencapai tubuh yang ideal itu baik, tapi jangan berlebihan. Tidak sedikit yang sampai sakit-sakitan untuk mencapai berat badan yang diinginkan. Bila perlu, konsultasikan ke dokter terlebih dahulu. Perlu diingat, kesehatan merupakan investasi paling penting setelah urusan surgawi. Karena hal yang berkaitan dengan ibadah adalah yang terpenting, katanya.
Hal yang berkaitan dengan kesehatan jiwa juga tidak boleh disepelekan. Kembangkan soft skill, kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi. Ini penting. Sesekali berlibur dan rekreasi juga tidak boleh dianggap enteng. Hidup itu perlu keseimbangan.
Perlu ditelaah lagi apa yang menjadi motivasi untuk mencapai tubuh ideal. Apakah benar-benar keinginan pribadi, atau untuk mendapatkan apresiasi dari orang lain? Jangan sampai demi angka like, comment, dan share tubuh kita menjadi korbannya.
Seorang artis bernama Victoria Principal pernah berkata: “I believe that how you feel is very important to how you look - that healthy equals beautiful”. Perasaan merupakan elemen yang sangat penting dan berpengaruh. Perbanyak bersyukur. Mari kita perbaiki mind set yang menjerumuskan. Salam!
Oleh: Religius Perdana Purba
www.begadanger.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H