Mohon tunggu...
Hati Indonesia
Hati Indonesia Mohon Tunggu... profesional -

Kata-kata adalah politik

Selanjutnya

Tutup

Money

Sektor Pertanian Indonesia Kritis, Ini Solusi Hary Tanoe

5 Maret 2014   23:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hary Tanoe menanam cabai di Desa Ngaglik, Kec. Srengat, Blitar. Rabu, 5 Maret 2014 (sumber: pbs.twimg.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Hary Tanoe menanam cabai di Desa Ngaglik, Kec. Srengat, Blitar. Rabu, 5 Maret 2014 (sumber: pbs.twimg.com)"][/caption]

"Meningkatnya jumlah impor berbagai jenis kebutuhan pangan, menandai persoalan pertanian Indonesia dalam keadaan kritis"

Hary Tanoesoedibdjo

Sebagai negara agraris, kemandirian pangan adalah mutlak bagi Indonesia. Namun pengelolaan sumber daya potensial yang dimiliki Indonesia belum optimal sehingga tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakatnya. Alhasil, Indonesia masih bergantung pada negara asing karena belum dapat lepas dari jeratan importasi kebutuhan pangan.

BPS mencatat, sepanjang tahun 2013, pemerintah mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai US$ 8,6 miliar atau setara Rp 104,9 T.  Ironisnya, sebagian bahan pangan yang diimpor tersebut justru bisa dihasilkan di negeri sendiri. Setidaknya ada 29 komoditas bahan pangan yang diimpor pemerintah. Sebagai berikut:

1.Beras                     ( Nilai impor US$ 226,4 juta)

2.Jagung                  (Nilai impor US$ 822,35 juta)

3.Kedelai                 (Nilai impor US$ 1 miliar)

4.Gandum              (Nilai impor US$ 2,26 miliar)

5.Terigu                   (Nilai impor US$ 74,9 juta)

6.Gula pasir            (Nilai impor US$ 44,4 juta)

7.Gula tebu            (Nilai impor US$ 1,5 miliar)

8.Daging sejenis sejenis lembu (Nilai impor US$ 185,8 juta)

9.Jenis lembu        (Nilai impor US$ 271,2 juta)

10.Daging ayam      (Nilai impor US$ 30.259)

11.Garam                  (Nilai impor US$ 85,6 juta)

12.Mentega             (Nilai impor US$ 93,7 juta)

13.Minyak goring   (Nilai impor US$ 77,4 juta)

14.Susu                      (Nilai impor US$772,4 juta)

15.Bawang merah (Nilai impor US$ 38,9 juta)

16.Bawang putih    (Nilai impor US$ 333,3 juta)

17.Kelapa                  (Nilai impor US$868.209)

18.Kelapa sawit       (Nilai impor US$ 2,4 juta)

19.Lada                       (Nilai impor US$ 3,4 juta)

20.Teh                        (Nilai impor US$27,7 juta)

21.Kopi                       (Nilai impor US$ 37,4 juta)

22.Cengkeh              (Nilai impor US$ 3,3 juta)

23.Kakao                    (Nilai impor US$73,2 juta)

24.Cabai                     (Nilai impor US$ 368.361)

25.Cabai kering       (Nilai impor US$  20,9 juta)

26.Cabai awet          (Nilai impor US$ 2,7 juta)

27.Tembakau           (Nilai impor US$  571,6 juta)

28.Ubi kayu              (Nilai impor US$  38.380)

29.Kentang               (Nilai impor US$ 27,6 juta)

Melihat fakta ini, tidak salah jika Cawapres Hanura 2014, Hary Tanoesoedibdjo menyatakan bahwa kondisi pertanian Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis. Hal ini tentu berpengaruh pada perekonomian nasional karena kebijakan impor tersebut bergantung pada nilai tukar rupiah.

Jika rupiah melemah maka harga produk – produk impor pun langsung naik. Kebutuhan pokok menjadi sangat mahal sehingga masyarakat sulit untuk membelinya sementara pendapatan mereka begitu – begitu saja. Namun, bila Indonesia mandiri secara pangan maka kita tidak perlu khawatir dengan gejolak harga barang dari luar negeri tersebut dan kesejahteraan petani juga akan ikut meningkat.

"Kita selalu kalah dengan negara lain, padahal potensi tersebut ada di negeri kita. Dari dulu petani kita hingga sekarang harus bekerja secara tradisional. Terlambat melakukan modernasi alat dan keterampilan, sehingga produksi pertanian tidak meningkat dan imbasnya pada kesejahteraan petani,"

Untuk itu, lanjut HT, prioritas yang harus dilakukan adalah mendorong produktifitas petani, sehingga kehidupan petani lebih sejahtera. Hal ini bisa dilakukan dengan mengarahkan modernisasi alat pertanian, mendukung ketersediaan bibit unggul, pupuk dan bahkan membuka lahan pertanian baru.

"Komitment Win - HT sangat jelas, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dalam hal pangan dan pertanian, selayaknya sebagai negara agraris dan subur," ujarnya.

Selain itu, kata HT, untuk mendukung pertanian Indonesia perlu dibuat lembaga pembiayaan petani, seperti bank khusus pertanian. Sehingga pembiayaan terhadap petani bisa lebih fokus sekaligus menyelamatkan petani dari pinjaman modal yang selama ini bunganya sangat tinggi. "Tidak mungkin petani dihadapkan pada bank umum swasta nasional, petani kita harus memiliki bank khusus sendiri. Disini bisa diatur keuangan petani baik berupa bantuan modal dan kebutuhan pembiayaan lainnya dan terpenting bahkan kalau bisa tanpa bunga," jelasnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun