Mohon tunggu...
Hati Indonesia
Hati Indonesia Mohon Tunggu... profesional -

Kata-kata adalah politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sayang, Pesta Ngafi & Sosoro Merah Telah Usai

10 Desember 2013   19:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:05 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Sekarang so tara bisa dapa ngafi dalam jumlah banyak lagi. Kalau dulu sekali panen, bagan ponong deng ngafi, sekarang so untung ada dapa stenga (Sekarang sudah untung tak bisa dapat ikan teri dalam jumlah besar. Sekarang, sudah mujur dapat setengah dari bagan-red),” kata Fredrik, nelayan Teluk Kao Kabupaten Halmahera Utara Maluku Utara.

Fredrik dan ribuan penduduk setempat mulai kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan ngafi (teri) dan (sosoro). Ikan teri sudah sejak lama menjadi andalan nelayan Kao dan Maluku Utara untuk dikapalkan ke Surabaya. Namun sekarang semuanya berubah.

Teluk Kao tak lagi seindah dan sekaya dulu. Teluk Kao kini sudah tercemar oleh limbah pertambangan emas di wilayah tersebut. Buangan limbah tambang terus mengotori air dan meracuni biota laut.

Emas di hutan ditambang oleh peralatan raksasa dan bom-bom dinamit. Ikan ngafi, sosoro dan udang menghilang  sekitar 75 persen lebih. Akibatnya pengangguran pun bertambah.

Fredrik hanya sedikit dari ribuan penduduk di sana yang harus kehilangan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan dan terpaksa beralih profesi menjadi penambang liar.

Sejak Nusa Halmahera Minerals (NHM), perusahaan joinan (joint venture company) antara Newcrest Mining Limited (Australia) yang menguasai 82,5 % saham dan PT. Aneka Tambang Tbk, BUMN dengan 17,5% saham, berdiri dan mengeksploitasi emas di Gosowong, banyak peristiwa yang menimpa masyarakat setempat.

Konflik tidak hanya terjadi antar warga yang berebut lahan tetapi juga dengan perusahaan asing dan ini terus terjadi. Areal tambang yang masuk dalam konsesi sesuai kontrak karya antara NHM dengan pemerintah Indonesia, ternyata berada di atas tanah adat Suku Pagu.

Hak – hak adat masyarakat lokal pun kemudian diabaikan pemerintah demi mendapatkan keuntungan sebesar – sebesarnya bagi perusahaan asing. Hak adat atas tanah, seperti aha cocatu, aha soa, aha sagaji dan aha kolano, sebagai simbol kepemilikan adat atas tanah tak pernah dipertimbangkan saat alih fungsi kawasan hutan.

Hukum adat lokal juga tak pernah dijadikan dasar dalam berbagai produk regulasi yang berkaitan langsung dengan mereka. Parahnya lagi, penduduk lokal juga tidak terlalu diprioritaskan menjadi tenaga kerja di perusahaan tersebut.

Eksploitasi lahan dan sumber daya alam (SDA) oleh asing bahkan pemerintah ini tampaknya sengaja dibiarkan. Bukankah ini termasuk dalam kategori pelanggaran HAM? Dan Hari ini masyarakat dunia termasuk Indonesia juga turut memperingatinya.

Hak asasi manusia menurut piagam PBB tentang Deklarasi University of Human Right 1948, meliputi 6 hal, salah satunya hak asasi sosial budaya. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak masyakat tersebut.

Perjuangan Tak Pernah Berhenti

Afrida Erna Ngato, Kepala Suku Pagu, Halmahera Utara yang bergelar Sangaji Pagu atau Quin Pagu terus memperjuangkan wilayah adat dan kebudayaan suku Pagu yang terancam punah akibat konflik lahan dan gejala sosial lainnya.

Dalam acara dialog lintas tokoh dan agama bersama Hary Tanoesoedibdjo pada bulan Oktober lalu, Quin Pagu bercerita bagaimana upayanya bersama warga setempat untuk memperjuangkan hak – hak mereka atas tanah dan upaya mereka mendapat pengakuan dari pemerintah.

Meskipun, tidak mendapatkan sepenuhnya tanah adat milik mereka, suku adat Pagu saat ini sudah cukup puas dengan mendapatkan pengakuan baik dari pemerintah maupun luar negeri atas keberadaan mereka.

Pengakuan ini mereka peroleh atas bantuan dari berbagai pihak, salah satunya media massa terutama televisi. MNC TV pernah menyiarkan tentang keberadaan suku adat Pagu, menurut Quin Pagu, tayangan tersebutlah yang membuat mereka mendaptkan pengakuan tersebut.

“Kami mau berjalan ke hutan saja susah kalau melewati areal yang sudah masuk dalam konsesi perusahan tambang PT NHM,” kata Quin Pagu.

Maka pada kesempatan tersebut, Quin Pagu datang dari Halmahera Utara ke Ternate, khusus untuk mengucapkan terima kasih kepada Hary Tanoesoedibdjo selaku CEO MNC Grup yang menaungi MNC TV karena telah menayangkan kegiatan adat suku Pagu.

“Sebelum bapak HT meninggalkan tempat ini saya mohon sebentar saja waktunya ya pak… Kita mauadatibapak dulu. Sebenarnya saya agak kurang pasmengadati bapak di tempat orang, harusnya di kampung kami di Halmahera Utara tetapi karena waktu yang tidak memungkinkan mau tidak mau harus dibuat disini,” kata Afrida Quin Pagu.

“Pak, ini semua bentuk terima kasih kami yang begitu mendalam kepada bapak karena telah membantu membantu mempublikasikan dan melestarikan adat dan budaya pagu yang hampir punah melalui siaran MNC TV. Karena jasa bapak itu, adat pagu dikenal oleh dunia dan lebih dari pada itu juga pak, keberadaan dan hak - hak kami diakui kembali,” lanjutnya.

“Kami punya 3 benda adat yang kami bawa dari Halmahera Utara pak, pertama ini kain toposero. Kain ini pak, bermakna bapak harus kembali lagi mengunjungi masyarakat suku Pagu dan itu hukumnya wajib karena bila tidak bapak akan dikenakan denda atas kain ini,” katanya.

Benda kedua yang diberikan oleh Quin Pagu adalah tameng kecil bernama salawaku. ” Ini tameng pak dulunya digunakan untuk berperang. Dengan ini kami berharap bapak dapat bertarung dalam pilpres dan keluar sebagai pemenang. Dan yang terakhir pak, tikar paluas yang bermakna kami siap melindungi dan menjamin keamanan bapak selama berada di wilayah kami dari berbagai macam ancaman. Dan ini telah mengikat bapak dalam keluarga besar suku adat pagu.” Tikar yang berukur besar itu dilingkarkan ke tubuh HT.

Begitulah ungkapan terima kasih suku adat Pagu kepada pihak, yang dalam hal ini Hary Tanoeseodibdjo, yang telah membantu melestarikan dan mengangkat hak – hak mereka atas tanah yang dieksploitasi asing dengan seizing pemerintah.

Kasus yang dialami suku adat Pagu adalah salah satu contoh hilangnya hak – hak masyarakat atas budaya dan kehidupan sosial. Masih banyak lagi konflik sosial yang terjadi akibat alih fungsi lahan di berbagai penjuru Indonesia. Namun, konflik demi konflik yang terjadi tampaknya belum membuka mata pemerintah untuk meluangkan sedikit perhatian pada persoalan ini.

Semoga pemerintahan berikutnya tidak mengulang kesalahan yang sama dan memperbaiki berbagai kesalahan yang sudah terjadi.

Sumber: http://roeslyblog.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun