Tahun 2017 akan segera berlalu. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang gagal dituntaskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga superbody ini seperti sudah mulai kehilangan taji. Mereka berjaya di kasus-kasus recehan, tetapi tak kuasa menghadapi skandal besar. Maka, tak berlebihan rasanya jika di tahun ini, lembaga antirasuah ini kita hadiahi rapor merah.
Tak banyak prestasi membanggakan KPK selama 2017. Sedikit di antaranya adalah menggiring mantan Ketua DPR Setya Novanto ke meja peradilan. Mantan ketua umum Partai Golkar itu diduga sebagai otak di balik skandal korupsi pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Meski Novanto sempat melawan, hingga memenangkan sidang praperadilan, namun akhirnya tetap bisa dijebloskan ke penjara. Kini nasibnya tinggal menunggu ketukan palu hakim.
Kemudian, KPK juga meringkus tujuh kepala daerah yang diduga korup di beberapa daerah. Mereka adalah Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Wali Kota Tegal Siti Masitha, Bupati Batubara Sumatera Utara OK Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi dan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari.
Tetapi selain itu, hanya kasus-kasus recehan yang dikerjakan KPK. Dibandingkan dengan kewenangan dan anggaran besar yang mereka terima -di 2017 lembaga ini mengantongi alokasi dana Rp734,2 miliar dari APBN- kinerja KPK tentu sangat jauh dari kata memuaskan. Berapa banyak uang yang telah diselamatkan KPK dari tangan para koruptor? Apa sudah sebanding dengan uang rakyat yang sudah mereka habiskan? Tentu saja tidak.
Selama ini, KPK terkesan mengejar target kuantitas dalam bekerja. Tidak berpatokan kepada kualitas kasus yang ditangani. Mereka berlomba mengungkap banyak kasus, meski itu kasus ecek-ecek sekalipun. Yang penting banyak. Biar mereka terlihat tetap bekerja. Penanganan kasus itu pun didramatisasi dengan bungkus operasi tangkap tangan (OTT). Seolah-olah operasi besar yang teramat wah, padahal kasusnya hanya suap Rp10-20 juta. Akibatnya, publik mulai menggelari KPK sebagai lembaga OTT recehan.
Baca juga Politik Today Isu TerkiniÂ
Contohnya, OTT terhadap pejabat Kejaksaan Tinggi Bengkulu yang diduga menerima uang suap pada 8 Juni lalu. Sejumlah penyidik diturunkan ke lapangan selama beberapa hari. Namun hasilnya, KPK hanya berhasil menyita uang suap sebesar Rp10 juta. Jumlah uang yang jauh lebih sedikit dibanding biaya operasional petugas di lapangan. Bukan bermaksud membela koruptor, tetapi jika KPK terus menerus melakukan hal yang sama, bisa-bisa negara ini tak hanya bangkrut oleh korupsi, tetapi juga merugi oleh lembaga penegakan hukumnya sendiri.
Beberapa waktu lalu, pengamat hukum pidana Umar Husin mengungkapkan KPK tidak terlihat memiliki agenda yang jelas dan jitu dalam soal pengelamatan uang negara. Lantaran, negara lebih banyak mengeluarkan uang untuk membiayai operasional KPK daripada uang yang bisa diselamatkan. Berdasarkan data, KPK periode sebelumnya, (periode 2009-2015), lembaga ini hanya berhasil mengembalikan uang korupsi ke kas negara sebesar Rp728.45 miliar. Padahal uang negara yang dipakai KPK untuk diminta menyelamatkan negara telah mencapai triliunan. Ini menjadi bukti betapa tidak efisiennya kinerja KPK selama ini.
Namun, kebobrokan KPK yang membuatnya layak mendapat prediket rapor merah, adalah kegagalan lembaga ini menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan orang-orang berkuasa. Contohnya kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia karena merugikan negara sekitar Rp4 ribu triliun rupiah itu, bermula dari adanya Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap 21 obligor yang dikeluarkan oleh presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri.
Jika penegakan hukum di negeri ini jujur dan aparatnya berani, tentu ketua umum PDI Perjuangan itu harus diperiksa. Ia menjadi orang yang paling bertanggungjawab menelorkan Inpres No 8 tahun 2002. Nyatanya, KPK tak punya nyali sebesar itu. Kasus ini dibiarkan mengendap. Jikapun diusut, tetapi tak pernah sampai menyentuh Megawati.
Lalu ada kasus kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta. Meski Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah resmi menyatakan ada kerugian uang negara di sana, sebesar Rp191 miliar, tetapi KPK bergeming. Bahkan ketika gubernur Ibu Kota kala itu, yang merupakan orang dekat penguasa, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyambangi KPK guna memberikan klarifikasi, ia disambut ramah. Ujung-ujungnya, pimpinan lembaga antirasuah itu tanpa malu-malu mengeluarkan pernyataan yang terasa amat janggal, bahwa pemprov tidak memiliki niat jahat dalam pembelian lahan itu.