Mohon tunggu...
Reki Pasti
Reki Pasti Mohon Tunggu... wiraswasta -

like audio visual, traveling, and coffee ;-)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Libya, Cermin Perubahan Politik Global?

31 Oktober 2011   12:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh. M. Arief Pranoto Catatan ini diilhami asumsi Mahdi Darius Nazemroaya, sosiolog dan peneliti pada Central for Research on Globalization (CRG) di Montreal, bahwa sebuah skenario kekacauan seperti di Afghanistan doeloe, kini tengah berlangsung di Benua Afrika. Ia menyebut sebagai kisah yang berulang.Ya. Manakala Amerika Serikat (AS) dan sekutu “menciptakan” Taliban, akhirnya justru dikobarkan perang global terhadap Taliban itu sendiri. Itulah yang sering terjadi. AS dan sekutu asyik membuat berbagai skenario “musuh masa depan” --- sedang sebelumnya saling bekerja sama, kemudian “musuh ciptaan”-nya distigma sebagai penabur benih kekacauan di internal negara dan kawasan negeri sekitarnya untuk kemudian dijadikan lawan. Mungkin yang perlu dikaji secara tajam ialah motivasi kenapa ia berbuat demikian? Sedang asumsi lain yang mendasari coretan ini berasal dari Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times. Ia mengatakan bahwa politik praktis itu bukanlah apa yang tersurat tetapi apa yang tersirat. Kemudian dicontohkan, ketika Bush Jr menyatakan terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), genosida, atau tidak demokratis terhadap suatu pemerintahan negara tertentu, maka sesungguhnya negara dimaksud (mungkin) tengah diincarnya sebab memiliki kandungan emas, minyak dan gas bumi. Dalam politik praktis, isue-isue seperti HAM, korupsi, demokratisasi dan lain-lain hanyalah dalih. Pada konstelasi kekuasaan sebagaimana kini bergolak di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara), isue yang diusung sesungguhnya cuma kulit luar guna merasuk pada agenda lebih dalam yakni destabilisasi, pergantian rezim, dan berujung kolonialisme gaya baru. Retorikanya, apakah hal ini terjadi juga pada banyak negeri di dunia yang saat ini tengah bergolak akibat terpaan isue di atas? Geostrategi dan geopolitik di Afrika menarik disimak bersama. Mulanya Prancis dianggap sebagai Polisi Regional di benua tersebut, namun masuknya pengaruh Cina menyebabkan hegemoni Prancis ---master ex penjajah di Afrika--- menurun. Inilah persoalan. Bagi AS dan sekutu, ancaman asimetris Cina yang berupa ekspansi ekonomi, politik, budaya dan lainnya telah mampu mengubah kebijakan serta mapping politiknya. Dan perubahan langkah politis negara-negara Barat terindikasi jelas, antara lain: (1) masuknya kembali Prancis ke struktur NATO tahun 2009 setelah 30-an tahun lebih (sejak 1966) melaksanakan “cuti” panjang; dan (2) methode kolonialisme kini tidak lagi mengkedepankan hard power (invasi militer) tetapi cenderung menggunakan smart power melalui gerakan rakyat via media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di internal negeri yang diincar, walau untuk beberapa target, misalnya di Libya terdapat sinergi (smart and hard power) keduanya. Tak boleh dipungkiri, meskipun Perang Dingin dianggap usai 1992-an dengan runtuhnya Uni Sovyet selaku “mbah”-nya komunisme, agaknya benturan peradaban antara kapitalis versus komunis belum rampung dan terus berlangsung di beberapa negara dengan ragam kemasan. Akhirnya muncul asumsi bahwa konflik lokal adalah bagian konflik global. Dua pertanyaan timbul, apakah ancaman Cina mengakibatkan militer Prancis rela menjadi subordinasi dari Pentagon, ataukah Afrika cuma lapangan tempur (proxy war) bagi AS dan sekutu melawan hegemoni Cina? Ini memang sebuah premis (minor) prematur. Terlalu terburu-buru. Tetapi setidaknya bisa dijadikan catatan sementara, bahwa ancaman Cina mampu mengintegrasikan kembali kebijakan dan langkah politik AS dengan beberapa negara Uni Eropa yang dulunya saling bersaing. Adalah National Endowment for Democracy (NED), sebuah LSM-nya Pentagon yang  didanai Kongres AS dengan “1000-an proyek” per tahun. Sebagai LSM negara superpower, sering dijuluki sebagai organ spesial ganti rezim. Dan sudah barang tentu ia “banyak kaki” yang nota bene adalah para LSM juga di  berbagai belahan dunia. Inilah yang akan didiskusikan dalam tulisan sederhana ini, dimana Afrika cq Libya sebagai salah satu contoh aktual. Terkait menurunnya hegemoni Prancis, terlihat AS hendak mengambil-alih peran tersebut. Entah apa motivasinya. Namun bagi Nicolas Sarkozy, sang presiden pemrakarsa kembalinya Prancis dalam struktur NATO, keinginan AS untuk take over Afrika sepertinya tak menjadi masalah. Artinya kebijakan Sarkozy pun ternyata selaras dengan semangat itu, oleh karena melalui LSM Federasi Internasioal untuk HAM (FIDH) asal Prancis justru bermitra dengan NED, termasuk merangkul LSM internal yakni Liga Libya HAM (LLHR) dan lainnya. Gayung bersambut. Lalu NED pun menghibahkan dana pertama sebesar $ 140.186 US untuk “proyek” di Afrika. Intinya adalah: menuntut adanya intervensi internasional dan menghadirkan pasukan asing di Libya! Untuk proyek ganti rezim di Libya, sejatinya NED telah melangkah jauh sebelum bermitra dengan FIDH-nya Prancis. Misalnya menjadikan LSM Front Nasional Keselamatan Libya bahkan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai kakinya, termasuk beberapa warga Libya yang menjadi anggota NED seperti Ashur Shamis, tercatat sebagai salah satu direktur di NED pada Forum Pembangunan Manusia dan Politik di Libya bersama-sama Aly Ramadhan Abuzakuk; kemudian Norman Benotman mantan pendiri dan pemimpin Kelompok Pejuang Islam Libya (LIFG) yang terkait dengan jaringan televisi Al Jazeera. Ketiganya merupakan burunon Interpol dalam kasus narkoba, kejahatan pemalsuan bahkan terorisme namun selama ini aman-aman saja tinggal di Inggris. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa agenda NED di Libya juga difasilitasi oleh MI-6 dan CIA, badan Intelijen Inggris dan AS. Selanjutnya ialah Beta Wozniak, warga Libya yang senantiasa hadir selaku dewan di semua LSM dan organisasi kaki NED, misalnya di webb Akbar bersama Aly dan Ashur, kemudian di Transparacy Libya Limited serta beberapa perusahaan Inggris. Peristiwa penting yang layak dicermati adalah konferensi tahun 1994 di London yang akhirnya melahirkan Dewan Peralihan di Libya hingga saat ini. Ya. Konferensi London diselenggarakan oleh Pusat Studi Internasional dan Strategis (CSIS) bersama dengan Ashur Shamis dan Aly Abuzakuk dengan judul: “Libya-Pasca Gaddafi: Prospek dan Janji”. Inti pertemuan ialah membangun rencana perubahan rezim di Libya. Bahwa sepanjang 20 tahun terakhir, setiap pemberontakan yang di dukung CIA guna menggulingkan Gaddafi tidak pernah berhasil. Seperti upaya National Front for the Salvation of Libya (NFSL) dekade 1984-an hendak menggulingkan Gaddafi dalam kudeta bersenjata pun mengalami kegagalan. Tercatat tahun 2005 Ibrahim Sahad mendirikan National Conference of Libyan Opposition (NCLO) di London. Dan awal 2011-an, berdasarkan konferensi tersebut, maka panggilan atau slogan gerakan-gerakan massa di Libya adalah “Hari Kemarahan”. Ya. Konflik Libya menjadi bukti riil bahwa antara smart dan hard power bergerak secara simultan dengan intensitas berbeda tergantung perkembangan situasi di lapangan. Merujuk judul di atas, bahwa perubahan peta politik global memang ada dan nyata, terutama di Afrika yang tengah mengalami pergeseran, dari sebelumnya di bawah komando Prancis kini berubah dalam kendali AS meski tidak secara langsung; sedang perubahan methode politik cenderung menggunakan smart power via gerakan massa menggunakan LSM setempat (internal) berkolaborasi dengan NED mengusung isue HAM, korupsi, transparansi, demokratisasi dan lainnya. Langkah dan kiat gerakan menggunakan media massa untuk membentuk opini supaya (rakyat) publik tidak percaya kepada pemerintahan syah; lalu diciptakan lambang-lambang tertentu dan sebaris slogan pemersatu serta penyemangat gerakan! Disadari oleh penulis bahwa sajian ini memang belum komprehensif. Kurangnya referensi, waktu dan keterbatasan kemampuan penulis menjadi kendala utama, sehingga banyak faktor penting lain tidak terbahas. Apaboleh buat, tulisan ini hanya mengupas pada kajian perubahan peta politik global yang kini tengah berlangsung. Dan sebelum mengakhiri catatan ini, retorika menarik yang menyeruak ialah: adakah gelombang NED bersama para kakinya kini juga menerpa banyak negara dan beberapa kawasan di dunia dengan isue sama dan langkah-langkah yang sama pula? Silahkan saudara-saudara mencermatinya. Sumber: https://www.facebook.com/notes/m-arief-pranoto/konflik-libya-cermin-perubahan-politik-global/230431457019899

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun