Oleh: Hamid Ghozali Adalah suatu negeri di mana tidak sedikit pejabat yang duduk di kursi baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif suka 'mencuri'. Apa saja disikatnya. Entah mengembat data serta informasi, mengambil hati rakyat, membujuk para investor, meraih empati negeri lain agar diberi utang, menggelapkan saham, hingga mencuri kekayaan milik negara. Dinamika rakyatnya terlihat tinggi sebab berpijak 'agama' bertitel demokrasi. Ia diyakini sebagai rute pintas meraih gemerlap duniawi sehingga unjuk rasa hampir menjadi warna sehari-hari. Terkadang aneh. Massa bergerak tanpa tahu tujuan pasti. Ibarat menggiring bebek-bebek di sawah yang penting berbunyi. Murah lagi meriah. Amboi, dengan 20-an ribu bisa hura-hura. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah slogan lama dihembus berulang-ulang. Kendati prakteknya tidaklah demikian. Tidak apa. Belum ada yang mempertanyakan. Juga tatkala dogma "suara rakyat ialah suara Tuhan" pun ditiupkan. Timbul retorika itu Tuhannya siapa --rakyat yang mana. Jawaban berputar-putar entah di mana. Munculnya "tukang kibul" di sana sini. Menebar janji mendulang simpati. Namun, keagungan nilai gotong-royong yang 'doeloe' membuat jaya negeri sendiri kenapa dianggap usang --justru dimasukkan ke kantong safari. Betapa ironis. Praktek nilai gotong-royong-pun ditafsirkan sebagai bokong sing dioyong-oyong (maaf : pantat yang dibawa-bawa). Makanya banyak pejabat tertangkap di hotel sedang oyong-oyong pantat wanita. Demkian juga dengan kedahsyatan nilai musyawarah-mufakat pun di-pleset-kan menjadi 'berapa harga sepakat' di luar sidang. Biar aman tidak banyak orang. Mungkin lebih nyaman ketimbang beradu argumen. Mulut berbusa belum tentu 'hitung-hitungan'-nya nyata. Inilah episode demi episode di negeri ini yang tersebar di berbagai benua. Ada di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan di tempat-tempat lainnya. Masyarakat di sana mudah terbius oleh gebyar warna dunia. Sesuatu atas nama teknologi ditelannya tanpa basa-basi. Kadang berlagak sok pintar tetapi mudah termakan janji. Dibohong-bohongi. Pemuja modernisasi pengabdi sekulerisasi sehingga nilai luhur bangsa sendiri cenderung dikhianati. Tatkala uang dan popularitas mengalahkan segalanya. Orang-orang berlomba menuju (kekuasaan) dengan segenap cara. Tidak perduli modal tak ada moral entah ke mana. Biarlah sabet kanan kiri. Kalau duduk pasti kembali. Asal pandai-pandai menyikapi. Semua mimpi bakalan jadi. Begitulah tafsir demokrasi merebak kian ke mari. Manakala usai pesta demokrasi silakan menghitung berapa jumlah orang sakit gigi, stress, bahkan ada pula bunuh diri. Itulah dampak yang memang sudah diprediksi. Pola one man one vote untuk kesederajatan ternyata cuma janji. Sebab, jangankan bidang sosial ekonomi. Di depan hukum dan politik saja mustahil terjadi. Demokrasi "memilih langsung" butuh wawasan dan kearifan. Tak semata-mata memenuhi hasrat global. Apalagi dengan iming-iming uang. Pola (politik) suatu bangsa rujukan utama semestinya adalah benang merah kejayaan masa lalu dan tujuan negara. Bukannya tren. Apalagi cuma meniru cara bangsa lainnya. Kalau sudah begini maka ketiga pilar kekuasaan niscaya ditempati oleh "preman-preman". Dipilih bukan karena kepintaran dan keahlian. Tidak pula sebab punya komitmen moral. Atau terpilih alasan kemampuan mengatasi persoalan bangsa. Ia dipilih karena jago berhias. Mempercantik diri melalui uang dan popularitas. Bila perlu dengan ancaman. Maka ibarat hajatan di hari raya korban. Negeri ini adalah milik para makelar: rakyatnya harus bersedia dijual, siap untuk disembelih, dan juga dibuat korban saat perayaan. Itulah yang terjadi. Hampir semua negeri penganut "agama" demokrasi hukum sering dijual-beli. Masalah pendidikan seolah-olah sulit diatasi. Korupsi seperti ilalang ditebas tumbuh lagi. Sengaja ada pembiaran kemiskinan bermodus penggusuran di sana sini. Sebab, katanya itu paket komoditi untuk jualan saat kampanye nanti. Alhasil para pemilik modal tetap memegang kendali. Me-'remote' hiruk-pikuk politik dari kejauhan saja. Merumus permufakatan berujung 'kapling-kapling' untuk negeri. Ada penggadaian tambang. Ada pula sewa pulau-pulau. Bahkan, tidak sedikit melelang Ibu Pertiwi. Masya-Allah. Negeri ini adalah tempat konspirasi di mana para makelar dan pemilik modal lupa sejarah masa lalu: bahwa setiap zaman emas bangsanya dahulu selalu dipimpin sosok panglima. Tetapi, hal demikian tidak diperdulikannya. Lihatlah. Mereka membuat coup bermerek koalisi terhadap sosok terpilih nanti. Saling jegal, berebut kursi kekuasaan mengatasnamakan kepentingan rakyat berlogo wong cilik, wong lali, wong edan, dan masih banyak lagi. Suatu hari pada temaram senja. Ketika surya purnama jatuh di tengah gelap samudera. Nun jauh di sana terdengar sayup nyanyian tua 'Bagimu Negeri, jiwaraga kami'. Itulah yang kini tengah terjadi. Entah hingga kapan. Sumber; https://www.facebook.com/note.php?note_id=219082101440464
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H