Mohon tunggu...
Rekam Jejak Capres 2014
Rekam Jejak Capres 2014 Mohon Tunggu... -

Arsip Artikel Pilihan Capres 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi dan Semangat Mengurus serta Melayani Rakyat

12 Juni 2014   19:44 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:03 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jokowi adalah sosok yang bisa menerjemahkan pikiran Bung Hatta tentang “negara pengurus” dan bukan sekadar “menjadi pemerintah yang hanya bisa main prentah dan atur sana atur sini”. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Hatta memperkenalkan istilah “negara pengurus”. Kata Bung Hatta: “Kita menghendaki NEGARA PENGURUS, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah memperbarui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberi kekuasaan kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan… sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat…” “Negara pengurus” adalah konsep tentang negara yang diabdikan sepenuhnya untuk mengurusi kebutuhan rakyat, melayani hajat hidup orang banyak, mengurusi hal-hal mendasar yang dibutuhkan rakyat. “Negara pengurus” adalah konsep tentang suatu organisasi pelayanan publik yang memang dijalankan dengan semangat mengurus dan melayani rakyat, bukan malah negara yang minta diurus dan dilayani rakyat. Hanya pemimpin yang mau bekerja keras setiap hari, hanya pemimpin yang sudi melakukan hal-hal yang mungkin dianggap sepele dan remeh (seperti perbaikan birokrasi perizinan KTP, SIM. izin usaha), hanya pemimpin yang terus menerus mengawasi ribuan stafnya dengan berbagai metode dan cara, yang bisa memahami dan mengejawantahkan konsepsi “negara pengurus” ini. “Negara pengurus” adalah terjemahan yang tepat dari “to govern”. Kata “government” sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu “kybernan”, yang artinya kira-kira “to steer” atau “mengemudi”. Kekeliruan bahasa jika “government” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pemerintah” yang berasal dari kata “perintah”. Kekeliruan bahasa itu terbukti berimbas fatal. Sudah sekian lama Indonesia dipimpin oleh orang-orang bertipe “pemerintah”, “tukang perintah”, “tukang atur”. Ujung-ujungnya, kalau ada rakyat yang kritis dan cerdas dan berani mengatakan yang salah itu salah, dan benar itu benar, maka rakyat macam itu biasa diperlakukan buruk oleh pemerintah, si tukang perintah, si tukang atur. Akibat lainnya, banyak pejabat atau penyelenggara negara yang menikmati posisinya sebagai penguasa. Menjadi pejabat sama artinya dengan jadi penguasa, berkuasa, bisa memerintah, bisa main atur, sehingga siapa pun termasuk rakyat harus ikut aturannya. Pemandangan yang biasa biasa, bukan, kantor-kantor pemerintah tidak peduli antrian orang-orang yang menunggu, hanya karena pegawai-pegawai yang bertugas memilih makan siang berlama-lama? Rakyat harus sabar, menyesuaikan dengan aturan yang dimaui oleh si pembuat perintah. “Negara pengurus” adalah istilah yang lebih pas daripada istilah “negara perintah” atau “pemerintah”. Ini penting agar para pejabat atau penyelenggara negara tidak merasa dirinya sebagai pemerintah atau pihak yang memberi perintah. Karena mengurus 200 juta lebih rakyat ini tak bisa hanya main atur, main perintah, main suruh, main komando. Pemimpin negara sebesar Indonesia tak bisa memimpin dengan main pukul, gampang marah, main gampar, dll. Rakyat adalah suara yang harus didengar, suara yang mesti diurus, suara yang mutlak dilayani. Negara dan pemimpinnya haruslah jadi pengurus dan pelayan rakyatnya. Karena rakyat bukanlah anak buah yang mesti 100% manut dengan perintah komandan dan juga harus serba menjawab “siap grak”. Karena Indonesia bukanlah batalion. Jokowi adalah figur yang dekat dengan konsepsi “negara pengurus”, baik dari latar belakang sampai gaya kepemimpinan. Untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah “negara pengurus”, seseorang tidak harus berasal dari keluarga kaya, anak bangsawan, anak jenderal, anak menteri, anak atau menantu presiden. Dalam sistem “negara pengurus”, seorang pemimpin bisa berasal dari keluarga sederhana dan biasa saja, bahkan dari keluarga rakyat jelata. Yang penting bukan asal-usul kekayaan atau darah biru, tapi kesediaan untuk bekerja dan bekerja, mengurusi rakyat terus menerus, melayani publik tanpa henti. Jokowi adalah anak dari keluarga sederhana, tidak kaya raya, bahkan sempat tiga kali mengalami penggusuran. Latar belakang keluarga Jokowi adalah latar belakang mayoritas rakyat Indonesia. Latar belakang keluarga Jokowi adalah latar belakang mayoritas rakyat yang selama ini tidak diurus dan tidak dilayani dengan baik oleh negara. Justru karena Jokowi berasal dari keluarga sederhana dan rakyat jelata inilah dia pasti bisa sangat memahami seperti apa rasanya menjadi orang kecil, bagaimana susahnya jadi rakyat yang rumahnya digusur, dll. Hanya orang yang pernah mengalami pahit dan getirnya digusur dari tempat tinggal yang tidak akan sewenang-wenang melakukan pengusuran. Dan itu dilakukan Jokowi di Solo, di Waduk Pluit, di Waduk Ria Rio. Jokowi selalu membuka mediasi, negosiasi, dan bahkan menyediakan alternatif hunian. Tidak asal gusur, karena Jokowi tahu rasanya digusur, karena Jokowi paham dan pernah mengalami betapa tidak enaknya jadi korban penggusuran. Sementara mereka-mereka yang sejak kecil terbiasa dilayani pembantu, terbiasa diemong oleh mbok emban, terbiasa disiapkan orang lain sampai urusan tetek bengek kaos kaki dan pakaian dalam, sejak kecil sudah sekolah di luar negeri, dll., pasti akan sulit jika harus “turun derajat” menjadi pengurus dan pelayan rakyat jelata. Jika terbiasa dan terdidik memerintah sejak kecil, bagaimana mau jadi pengurus dan pelayan rakyat? Sekali menjadi priyayi, akan selalu menjadi priyayi, dan mustahil mau jadi pelayan dan pengurus jelata. Dari gaya dan fokus kepemimpinannya, Jokowi adalah cermin yang pas tentang semangat menjadi pengurus dan pelayan rakyat. Saat berkampanye di Pilwalkot Solo periode pertamanya pada 2005, dia hanya menjanjikan dua hal: mempermudah proses pembuatan KTP dan mempersingkat jangka waktu mengurus izin usaha. Tidak ada istilah-istilah bombastis tentang “usir Amerika”, “Gantung Jepang”, “Ganyang Inggris”. Kampanye tentang mempermudah izin usaha dan pembuatan KTP adalah contoh semangat mengurus dan melayani kepentingan dan kebutuhan rakyat. Tidak muluk-muluk, tidak sok heroik, dan memilih membenahi hal-hal mendasar (KTP itu kebutuhan dasar warga negara, tanpa KTP harus siap kena razia, tak bisa mencari kerja, dll). Makanya sejak jadi Gubernur DKI, fokus utama Jokowi salah satunya adalah peningkatan kualitas layanan publik. Jokowi tidak lelah-lelahnya melakukan sidak, kontrol bahkan memantau melalui video-cam pejabat dan pegawai kelurahan, kecamatan, dll. Karena merekalah ujung tombak negara dalam melayani dan mengurus rakyat. Jika pegawai kelurahan dan kecamatan baru masuk kantor jam 9, sementara rakyat sudah antri sejak jam setengah 8, itu namanya bukan pelayan publik, tapi juragan yang serba minta dimaklumi. Jika rakyat sudah antri di depan loket sejak jam 8, sementara pegawainya datang jam 9 dan jam 11 sudah istirahat makan siang, itu namanya bukan pengurus dan pelayan rakyat, tapi berakting sebagai majikan atau bangsawan. Masalah Indonesia ini sangatlah kompleks. Tidak bisa diselesaikan hanya oleh seorang presiden. Maka memberi contoh bagaimana menjadi presiden yang mau melayani dan mengurusi orang banyak itu menjadi penting dan mutlak agar birokrasi juga bisa didorong untuk melakukan yang sama, agar mau pelan-pelan berubah menjadi birokrasi yang sehat, akuntabel, dan – sekali lagi—mau menjadi pengurus dan pelayan rakyat Jokowi adalah pilihan yang tepat untuk mengharapkan hadirnya “negara pengurus”, “negara pelayan”, dan bukan “negara perintah, pemimpin yang serba ingin ngatur, pemimpin yang serba ingin dilayani”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun