Dahulu, kata almarhum kakek saya yang ditakdirkan sebagai seorang veteran, suku Sunda terkenal di seantero negeri sebagai suku yang memiliki keutamaan-keutamaan. Dan dalam tulisan ini berbicara ihwal keutamaan maka penulis akan berbicara mengenai sebuah karakter, yaitu ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan yang diterima dari lingkungan (Doni Koesoema, 2007).
Meski pernyataan yang dituturkan almarhum kakek agak terdengar sarat dengan ego kesukuan dan subjektifitas, tetapi sungguh saya bisa memahami dari penjelasannya. Menurut beliau dari dulu suku Sunda itu terkenal nyantri, nyunda, dan nyakola. Nyantri dalam konsep Sunda berarti seorang individu memiliki keutamaan berupa ahlak-ahlak terpuji yang sifatnya transendensi antara dirinya dengan Zat Pemilik Semesta. Bila konsep transendensi itu mengalir secara kaffah dalam diri seorang individu maka boleh dikatakan individu tersebut memiliki sifat nyantri (santri dalam bahasa Indonesia). Maka jangan heran di masa lampau individu-individu yang termanifestasi dalam lingkup sosial suku Sunda, mayoritas begitu giat menjalankan perintah-perintah agama, khususnya Islam. Pagi hingga siang mereka bekerja dengan etos tinggi, tetapi bila mereka sudah mendengar azan berkumandang berbondong-bondong mereka pergi ke masjid terdekat untuk shalat berjamaah, istrirahat dan makan siang berjamaah. Kelelahan yang dialami setelah berkerja seharian tidak menyurutkan mereka untuk pergi lagi ke masjid ketika malam tiba sekadar untuk shalat berjamaah dan mengaji (tadarusan) barang beberapa ayat. Begitu alur kehidupan mayoritas suku Sunda jaman dulu yang kehidupannya tidak lepas dari transendensi antara dirinya dan Tuhannya.
Selain nyantri, almarhum kakek saya mengatakan Suku Sunda harus Nyunda. Artinya bila mengaku sebagai Suku Sunda maka segala tindakan, ucapan, pola pikir, bahkan raut mukanya harus mencerminkan bahwa individu tersebut adalah suku Sunda. Konsep Nyunda yang dimaksud kakek saya dapat digambarkan dalam cerita berikut.
Senyum tidak pernah lekang dalam bibir Asep. Asep memang terkenal santun di kampungnya. Saat ia melihat ada tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan, maka Asep dengan segera akan menyapa dan memberikan senyuman termanis bagi tetangganya tersebut. Bila Asep melihat ada seorang tua yang meminta atau terlihat membutuhkan pertolongan maka dengan segera ia akan menolong meski tanpa diminta. Bila ada tamu datang ke kampungnya, dengan sangat "someah" Asep akan membantu dan menolong memberikan informasi bagi tamu tersebut. Meski Asep seorang perokok berat, Asep juga terkenal rajin dan bersih. Hal itu terlihat dari puntung rokok bekas hisapannya selalu dibuangnya ke tempat sampah. Bahkan tidak lupa setiap pagi menjelang Asep selalu membereskan tempat tidurnya dan menyempatkan beberapa menit untuk menyapu jalanan yang berada di sekitar rumahnya. Ya...Itulah Asep, jejaka kampung idola dan tauladan bagi generasi tua dan muda dikampungnya.
Begitulah konsep nyunda yang dijelaskan almarhum kakek saya, yakni someah yang berarti sopan, santun, dan peduli baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Terakhir adalah konsep nyakola. Nyakola dalam konsep Sunda bukan berarti harus sekolah dan harus lulus sekolah tinggi. Karena faktanya individu lulusan sekolah tinggi adakalanya tidak selalu sejalan dengan semua pola pikir dan perilakunya yang malah mencerminkan perilaku tidak terpelajar. Sebaliknya, ada individu-individu yang sekolah seadanya tetapi tampak dari perilaku dan pola pikirnya ia sebagai seorang terpelajar. Benar, idealnya konsep nyakola ini berarti harus sekolah setinggi-tingginya agar perilaku dan pola pikirnya integral dengan latar belakang sekolahnya. Tetapi yang ditekankan dalam konsep nyakola ini adalah bentuk sikap dan perilaku yang mencerminkan sebagai seorang terpelajar, meski ia tidak pernah belajar di sekolah formal. Mencerminkan seseorang yang berbudaya meski ia tidak pernah mengenyam pendidikan budaya secara formal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H