Di sela-sela mengajar, dosen saya yang ditakdirkan kuliah pascasarjana di Amerika Serikat dan lulus dengan gelar MA., mengisahkan romantismenya kala ia masih menjadi mahasiswa di Negeri Paman Sam dulu. Di sela-sela deskripsi kisahnya, ia menuturkan bahwa ia dulu ke Amerika mengambil jurusan spesialisasi membaca. Artinya, ia jauh-jauh ke Amerika dan kuliah 2-3 tahun tahun lamanya untuk meraih gelar spesialisasi membaca. Hah…? Maksudnya…? Bukankah membaca itu mudah? Bukankankah mayoritas manusia di dunia bisa membaca? Kenapa harus jauh-jauh belajar membaca ke Amerika? Wong anak SD di Indonesia juga sudah mampu membaca…?
Pertanyaan-pertanyaan orang awam seperti itu melintas di kepala saya yang kebetulan juga memang orang awam. Dengan susah payah lantas saya berpikir hingga memeras keringat, dan Eureka…! Ouw…barangkali memang itulah perbedaannya. Saya berasumsi itulah perbedaan antara negara maju dan berkembang.
Terlepas dari kekurangannya, sebagai negara maju Amerika tidak diragukan lagi adalah gudang dari segala ilmu. Riset tumbuh pesat di sana. Meski pada jaman dahulu kiblat ilmu pengetahuan adalah Islam, dengan ilmuwan-imuwan sekaliber Ibnu Sina, Al-jabar, Nijam Mulk, dan masih banyak lagi lainnya. Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa mayorutas negara-negara di dunia, sekarang keilmuannya berkiblat ke Amerika. Apalagi harus kita akui, umat Islam sekarang sedang mengalami degradasi keilmuan. Umat Islam lupa dengan perintah Tuhan yang pertama yaitu “Iqra!”. Bahkan Arab Saudi pun sebagai negara Islam, meski menyandang sebagai negara kaya, tapi seolah enggan untuk berusaha menyandang sebagai negara maju. Konon katanya salah satu variabelnya barangkali karena sudah kaya, banyak warga Arab enggan untuk kuliah, meskipun biaya kuliah disana murah.
Kembali ke sebuah pertanyaan, kenapa harus ada disiplin ilmu membaca? Nah, itulah ciri khas negara maju. Negara maju adalah negara yang cinta akan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Demi Iptek mereka rela melakukan riset terus menerus untuk menemukan sesuatu hal yang baru meski bagi orang awam terkesan biasa. Misalnya, ketika sebuah negara berkembang hanya berambisi untuk mampu membaca. Negara maju tidak akan puas hanya dengan mampu membaca, mereka akan berusaha mencari bagaimana strategi membaca yang baik, bagaimana indikasi membaca yang baik, bagaimana mencari rumus-rumus membaca cepat, dan sebagainya. Singkatnya, pertanyaan-pertanyaan filsafat yang bersifat ontologis (apa itu sesuatu?), epistimologis (bagaimana cara mencari sesuatu?), dan aksiologis (apa nilai sesuatu tersebut?) memang sudah mampu diejewantahkan oleh negara maju.
Karena terbiasa mendalami hal-hal yang dianggap “biasa” hingga melahirkan hal-hal yang luar biasa akhirnya pemikiran mereka tidak biasa lagi tetapi luar biasa. Mimpi mereka pun bukan mimpi biasa lagi tetapi mimpi luar biasa. Dan alhasil negara mereka pun bukan negara biasa lagi (berkembang) tetapi negara luar biasa (maju).
Nah, sedangkan negara berkembang karena sebagian masyarakat pemikirannya awam (seperti saya) cukup hanya mempertanyakan saja atau cukup hanya dalam tataran ontologis saja, tanpa adanya pengejewantahan dalam tataran epistemologis, dan aksiologis. Akibatnya masyarakat di negara berkembang hanya bisa melihat dan mempertanyakan kulit luarnya saja namun enggan untuk memasuki kedalaman maknanya. Karena enggan untuk memasuki kedalaman maknanya, masyarakat negara berkembang cenderung apriori dan sering bersifat merendahkan terhadap sesuatu yang menurut mereka biasa.
Perendahan-perendahan itu tampak dalam pertanyaan-pertanyaan orang-orang awam seperti. Lho, kok kenapa belajar membaca? Kan kamu sudah mampu membaca? Atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering penulis dengar seperti, lho kok kenapa ambil kuliah jurusan sastra daerah kan sekarang lagi ramai sastra asing? Lho masak ayahnya insinyur anaknya jadi seniman? Dan seabreg pertanyaan-pertanyaan awam lainnya.
Apakah pertanyaan-pertanyaan awam seperti itu wajar? Yaa…wajar saja kalo memang masih betah hidup sebagai manusia berkembang di negara berkembang. Tetapi kalo mau menjadi manusia maju dan hidup di negara maju mulai dari sekarang mari berhenti merendahkan. Mari mulai belajar untuk mengapresiasi tindakan posistif orang lain. Dan tentu saja…jangan lupa untuk terus belajar dan mendalami disiplin keilmuannya masing-masing tanpa ego membabi dan membuta alias membabibuta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H