Mohon tunggu...
Reka Agni Maharani
Reka Agni Maharani Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

hanya ingin menulis disini, tanpa perlu basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tetanggaku, Luka.

2 Agustus 2011   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_122562" align="alignleft" width="300" caption="image from : redbubble.com"][/caption]

Semenjak kedatangan tetangga baru yang menempati bilik tepat atas tempat tinggalku, setiap malam atap kamarku selalu berdentum keras. Aku tak pernah ambil pusing, ku anggap mereka tetangga baru yang sedang merapikan tempat tinggalnya atau sedang memindahkan meubel-meubelnya. Aku dan Keluargaku memang tinggal di rumah susun padat penduduk dan kami tinggal di dalam bilik yang tidak lebih dari empat puluh meter persegi dan hanya ada triplek sebagai penyekat yang membatasi antara ruangan demi ruangan. Di dalam bilik ini hanya aku dan kedua orang tuaku yang tinggal. Rumah susun ini bertingkat lima, tempat tinggalku di nomor 12 lantai dua. Jarak antara bilik satu ke bilik lainnya saling berhimpitan, atap bilik satu dengan lantai bilik atasku menempel sehingga suara derap langkah atau bantingan pintu dapat terdengar jelas.

Sepulang sekolah, seperti biasa aku mengunjungi temanku, Kairo, yang tinggal di lantai tiga. Aku melewati bilik nomor 32 yang berada tepat diatas bilik tempat tinggalku. Seorang anak sedang menopang dagu di balkon depan pintu. Seorang anak laki-laki seusiaku.Tubuhnya kurus tinggi, kulitnya pucat, rambutnya berwarna coklat tua senada dengan warna matanya yang besar. Ia memakai kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana tiga perempat berwarna coklat tua. Sekejap mata besarnya terlihat seperti mata Dobby, salah satu tokoh peri di dalam novel favoritku, Harry Potter. Bibirnya tampak hanya segaris dengan sudut yang runcing. Wajahnya terlihat sayu. Aku berusaha mendekatinya, tersenyum dan menyapa, “hai!”.

Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Matanya yang lebar menyipit seketika. Aku mensejajarkan tubuhku di samping tubuhnya, ia kembali berpaling dan menatap lurus ke arah luar. “hai, aku baru melihatmu hari ini. Kamu baru pindah ke sini ya?”

Ia mengaggukkan kepala. Wajahnya tidak menoleh ke arahku. Aku mengulurkan tangan, “Lucy! Bolehkah kita berkenalan?”

Tubuhnya ia miringkan, dan sekarang kami saling berhadapan. Ia meraih tanganku dan menyebutkan namanya, “Luka!”. Ia kembali tersenyum. Wajahnya memang dingin, tetapi senyum ramahnya meleburkan kedinginan itu.

“aku mau ke rumah temanku, Kairo. Apakah kamu mau ikut denganku?” ia mengangguk dan mengikuti langkah kakiku. Tiga langkah berjalan meninggalkan pintu bilik, terdengar dari dalam tempat tinggal Luka suara seorang wanita paruh baya teriak memanggil namanya. Teriakannya terdengar agak serak dan besar. Luka menghentikan langkahnya, ia berlari meninggalkanku dan masuk ke dalam biliknya tanpa menoleh ke arahku. Aku berusaha memanggil, tetapi ia tidak mengacuhkannya. Aku melanjutkan langkahku ke tempat Kairo.

Kairo ternyata belum mengenal Luka. Temanku itu, tinggal tiga blok dari Luka. Kairo bilang, ia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Sepulang dari tempat Kairo, aku melewati tempat tinggal Luka. Dari luar tempat itu terlihat damai. Aku mendekati pintu nomor 32 itu dan berusaha untuk mengetuk dan memanggil Luka. Aku memang seorang anak berusia sepuluh tahun yang mempunyai rasa ingin tahu yang lebih. Seketika batinku terketuk agar jangan mengusik daun pintu itu. Akhirnya aku berjalan turun ke lantai dua.

Malam ini, dari plafon kamarku kembali terdengar suara gemuruh seperti jejak kaki tikus yang hilir mudik rusuh di atas loteng. Tidak mungkin itu suara tikus, karena atap kamarku tidak ada loteng. Atap kamarku langsung menempel dengan lantai bilik di atas. Apakah suara itu berasal dari kamar Luka?

Pagi hari sebelum pergi ke sekolah, aku bergegas menuju lantai tiga dan memanggil Luka. Keluarlah seorang Ibu berwajah hangat seperti marshmallow masak dan ramah—sangat ramah—tersenyum kepadaku. Senyumannya seperti saat Luka tersenyum padaku. Bibir tipis yang lebar mengembang dengan sisi yang runcing. Ternyata itu Ibunya. Suaranya serak, seperti saat ia memanggil Luka kemarin sore. Luka ternyata sudah berangkat ke sekolah dan Ibunya tidak memberitahukan kepadaku di mana Luka bersekolah. Aku menjanjikan kepada Ibu Luka, aku akan ke sini sepulang sekolah nanti. Ibu Luka memperbolehkanku datang nanti sore.

Aku kira Luka bersekolah di tempatku, ternyata tidak. Aku tidak menemukan seorang murid baru sama sekali. Semua seperti biasa, tanpa ada murid tambahan. Sepulang sekolah aku mengajak Kairo bertemu dengan Luka. Aku mengetuk pintu biliknya, tidak ada yang membukakan. Aku pun tidak mendengar suara apapun saat aku mencoba menempelkan telinga ke daun pintu nomor 32. Aku gagal mempertemukan Kairo dengan Luka.

Tiga hari kemudian, aku berjumpa lagi dengan Luka. Ia menyilangkan tangan di pinggiran balkon. Wajahnya datar menatap lurus ke depan. Aku menghampiri dan menyapanya. Matanya yang mirip Dobby menatapku. “Hai Luka, tiga hari yang lalu aku mengunjungi tempatmu sebelum aku ke tempat Kairo tetapi kamu tidak ada. Kuketuk pintu tidak ada yang menyapa.”

“Kamu menghampiriku?” tanyanya. Aku mengangguk dan mengembangkan senyum. Waktu itu ia dan Ibunya sedang tidak di rumah. Ibunya lupa memberitahukan bahwa aku akan datang. Padahal, aku ingin memperkenalkan Luka dengan Kairo, sahabatku. Aku ingin mengajaknya bermain. Ia belum mempunyai banyak teman di sini karena ia anak baru. Aku ingin sekali mengenalkan dia dengan Kairo, tetapi hari ini Kairo sedang pergi dengan keluarganya ke luar kota sampai minggu depan.

“Luka, kamu mau main ke lapangan denganku? Nanti ku perkenalkan kamu dengan teman-temanku di sini.”, ajakku. Ia menggeleng pelan.

“aku tidak boleh pergi. Aku hanya boleh berada di sini. Nanti Ibu mencariku.” Jawabnya.

Mendengarnya, aku sedikit kecewa. Tetapi baiklah, aku akan menemaninya, setidaknya di balkon ini. Kami berdua sudah mengenal dengan baik dan tampak akrab. Kami bermain tebak huruf, bercerita tentang buku-buku yang kami baca dan sekolah. Aku senang menceritakan tentang sekolahanku, tetapi ketika aku tanya tentang sekolahnya, ia tidak menjawab apa-apa.

“oiya Luka, apakah kamu punya peliharaan di dalam kamarmu?”, tanyaku. Ia menggeleng. Aku mencibirkan mulut, menyatukan kedua alisku yang seperti ulat bulu. “hmmm… kalau begitu, apakah kamu suka bermain lompat-lompatan atau berlari-lari di dalam rumahmu?”

Luka menggelengkan kepalanya lagi. Ia anak yang jarang mengeluarkan kata-kata. Suaranya yang kecil dan lirih terdengar mahal. Aku selalu mencoba membuatnya buka suara, tetapi ia hanya sering berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ atau hanya tersenyum lebar. Ia selalu memakai kemeja lengan panjang putih yang ia kancingi sampai pergelangan tangan. Aku sering melihat guratan-guratan halus berwarna merah di dekat pergelangan tangannya apabila tak sengaja lengan kemeja itu terangkat. Guratan itu seperti bekas sayatan. Ia juga selalu memakai topi pet berwarna cokelat tua berbahan fanel yang sudah agak usang.

“Luka, setiap malam aku mendengar dari kamarku suara langkah kaki cepat atau dentuman keras dan aku yakin itu dari tempatmu karena aku mendengar dari atas langit-langit kamar. Boleh aku tahu apa yang sedang kamu atau orang tuamu lakukan?”

“Lukaaaa… Luukaaaa…!!!”

Teriakan Ibunya kembali memanggil Luka dari dalam. Lagi-lagi Luka meninggalkanku begitu saja dan segera masuk ke dalam tempat tinggalnya. Aku menghela nafas dan berjalan merunduk menuju tempat tinggalku. Aku masuk ke dalam kamar dan mendengar adakah suara gaduh yang selama ini dia dengar malam hari terdengar lagi?

Malam ini, aku terbangun mendengar suara gaduh semakin jelas di kamarku. Aku mendengar suara Luka seperti anjing kecil yang melolong rintih. Akupun mendengar suara itu antara sadar dan tidak. Dua kali aku mendengar suara Luka merintih histeris. Aku melihat jam, tepat jam dua belas malam. Suara derap kaki berpusat di persis di atas kepalaku. Aku mencoba membangunkan Ibuku. Suara itu membuatku tak bisa tidur. Lima belas menit kemudian, suara itu menghilang. Kamarku kembali sunyi. Kelopak mataku terlanjur menegang, ia tidak mau diistirahatkan kembali. Aku menatap langit-langit kamarku dengan kecurigaan. Apa yang terjadi dengan keluarga Luka? Apa yang selalu dilakukan Luka di tengah malam seperti ini?

Beberapa malam ini, atap kamarku terasa damai. Sudah tiga hari aku tidak berkunjung ke lantai tiga, baik menemui Kairo maupun Luka. Aku berniat besok pagi akan berkunjung ke tempat keduanya. Besok adalah minggu pagi, biasanya di minggu pagi banyak anak-anak yang bermain di lapangan dekat rumah susun. Aku akan mengajak mereka berdua bermain. Rasanya tak sabar ingin cepat-cepat besok pagi.

Minggu pagi yang sangat cerah, aku terbangun dengan perasaan seperti strawberry cheese cake, manis, legit dan segar membuat wajahku sumringah. Aku tak sabar bermain dengan Kairo dan Luka di minggu yang cerah. Aku sudah berimajinasi berlari-lari bersama di lapangan rumput tersebut, bermain petak umpet dan seperti biasa aku dengan Kairo, tidur siang di atas pohon mapel yang rindang sambil mendengarkan kicauan burung-burung saling bersahutan. Sungguh menyenangkan. Sebelum mengunjungi Kairo, aku menghampiri Luka terlebih dahulu. Aku memanggilnya dari luar. Ibunya membuka pintu. Ia tersenyum lebar. Aku menanyakan Luka. Dengan senyum Marshmallow nya, Ibu Luka memberitahuku bahwa Luka sedang pergi dengan pamannya. Katanya, ia pergi kemarin malam. Apa yang aku rencanakan semua gagal.

Selasa pagi aku menemukan keramaian terjadi di lantai tiga. Banyak polisi yang lalu lalang menaiki anak tangga. Ibuku berada di balkon depan bilik kami bersama Bibi Serenada, saling bercerita. Ku dengar Bibi Serenada berkata ada sesuatu terjadi di lantai tiga. Katanya, Ibu yang menghuni tempat nomor 32 ingin melakukan usaha bunuh diri melompat dari lantai lima. Aku berpikir sejenak, nomor 32 adalah tempat tinggal Luka. Berarti yang melakukan usaha bunuh diri Ibunya Luka?

Bibi Serenada kembali bercerita, sudah lama wanita itu mengidap penyakit jiwa dan menganggap anak laki-lakinya itu adalah iblis yang harus dihancurkan. Setiap malam, ia selalu mendatangi kamar anak lelakinya, membuat anak itu tak sadarkkan diri dan mengikat kaki serta tangannya kemudian ia menyayat halus tubuh anak itu. Tidak hanya itu saja, polisi menemukan jasad anak lelaki itu di dalam lemari pakaian. Aku tidak begitu mempercayai perkataan Bibi Serenada. Aku bergegas lari menuju tempat tinggal Luka. Banyak polisi di sana. Aku melihat sesosok jasad tak bernyawa di bawa oleh tim medis. Jasad itu sangat ku kenal. Itu teman lelaki ku, Luka.

________________________________________________

terinspirasi dari lagu "My Name is Luca"- Suzanne Vega

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun