Mohon tunggu...
Reka Agni Maharani
Reka Agni Maharani Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

hanya ingin menulis disini, tanpa perlu basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kami Pekerja Profesional, Bukan Pekerja Asal

30 April 2010   06:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_129970" align="alignright" width="199" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sebagai mahasiswiyang akan memasuki tingkat akhir, sebelum tahap yang di tunggu-tunggu yang dinamakan “skripsi”, saya harus magang selama dua semester terlebih dahulu di LSM maupun Yayasan sosial. Karena saya adalah mahasiswi jurusan kessos atau kesejahteraan sosial FISIP-UI (terkadang banyak yang bertanya, “kessos? Apaan tuh?” atau “kessos emang nantinya kerjanya jadi apaan?”), maka kegiatan magang di namakansebagai kegiatan praktikum.

Sebelum menceritakan kegiatan praktikum yang saya lakukan, saya mau membahas sedikit tentang jurusan yang saya tempuh ini. Masih banyak orang-orang di luaran sana yang tidak tahu apa itu jurusan kesejahteraan sosial dan mereka pun masih mengannggap remeh para pekerja sosial. Alasannya, pekerja sosial kan biasanya volunteer jadi mereka bekerja dengan Cuma-cuma. Yah, waktu awal kuliah, saya hanya bisa tersenyum. Terus terang, memang ketika SMA, saya juga tidak begitu paham apa itu jurusan Kesejahteraan sosial. Ketika pemilihan PTN untuk SPMB, pilihan pertama saya yaitu komunikasi dan pilihan keduanya memang saya “agak ngasal” (cap cip cup belalang kuncup, yang penting bisa masuk UI, hehehe). Akhirnya saya memilih Kessos, karena rasa sosial saya yang sangat tinggi dan sepertinya menarik. Tetapi sekarang, setelah kurang lebih empat tahun saya kuliah di kessos, ternyata banyak hal menarik yang saya ambil dari jurusan ini.

Rata-rata banyak orang Indonesia memandang menjadi pekerja sosial itu mudah. Membagi-bagikan sembako ke orang-orang yang tidak mampu, membantu orang-orang yang terkena bencana alam, membantu menolong orang dari kesusahan. Memang semua benar, tapi yang saya dapatkan di mata kuliah selama ini, kita di ajarkan bagaimana menjadi seorang pekerja sosial yang professional. Merancang program, membentuk strategi dalam memberikan kesejahteraan, memberikan gagasan-gagasan yang baik pada perusahaan untuk mensejahterakan para pekerjanya, menjadi change agent dan melakukan corporate social responsibility bagi perusahaan. Selain itu, pekerja sosial professional juga bisa menjadi seorang konselor atau konsultan dalam menangani masalah-masalah disfungsi sosial, seperti konselor dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ya, itulah pekerjaan saya selama melaksanakan kegiatan praktikum.

Sekarang saya memang sedang praktikum di salah satu Women Crisis Center di RSCM, yaitu Pusat Krisis Terpadu (PKT). PKT merupakan pusat pelayanan bagi anak maupun perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik penderaan, pelecehan seksual, kekerasan seksual, pemerkosaan maupun KDRT yang buka 24 jam non stop. Staf-staf yang ada di PKT terdiri dari Dokter (Obgyn, forensik dan pskiatri) yang bertugas apabila ada pasien yang butuh untuk visum et repertum; Psikolog yang bertugas sebagai konsultan apabila si pasien merasa membutuhkan masukan-masukan dalam memulihkan kondisi psikis mereka dan pekerja sosial professional yang bertugas sebagai konselor yang membantu pasien dalam memanage kasus yang menimpa dirinya.

Ketika pasien datang ke PKT, awalnya mereka bertemu dengan pekerja sosial untuk dilakukan in-depth interview agar dapat diketahui apa yang terjadioleh pasien. Mendengar cerita tragis yang berbeda-beda dari pasien yang berbeda-beda pula, selalu membuat saya merasa miris atau tidak tega. Tetapi di sisi lain, saya pun harus menunjukkan empati kepada mereka dan menjadi seorang pendengar yang baik. Selama saya melaksanakan kegiatan praktikum selama kurang lebih 4 bulan, saya pernah menangani lima orang pasien dengan kasus yang berbeda-beda. Dua orang kasus sodomi, dua orang kasus kekerasan seksual dan satu orang kasus KDRT.

Mungkin saya hanya anak magang saja sehingga saya masih belajar dalam menangani pasien. Saya juga banyak belajar kepada para pekerja sosial professional yang ada di sana. Mereka telah bertemu berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus pasien yang menjadi korban kekerasan. Mereka pernah bercerita kepada saya, pasien yang datang ke PKT, tidak mengenal usia, tidak mengenal kasta dan tidak mengenal waktu. Yang muda, yang tua, yang kaya, yang miskin, dari pagi sampai tengah malam, ada saja yang datang dengan kasus yang mereka bawa. Setiap harinya, pasti ada satu pekerja sosial maupun dokter yang berjaga di PKT. Jadi apabila ada pasien yang datang tengah malam, mereka bisa langsung memberikan pelayanan konseling. Pernah pada suatu malam sekitar jam tiga dini hari, datang 13 orang pasien sekaligus yang menjadi korban sodomi oleh satu pelaku. Malam itu pun pekerja sosial hanya satu dan dokternya kebetulan tidak ada yang berjaga. Pekerja sosial yang menceritakan kejadian itu berkata betapa repotnya ia melakukan konseling satu persatu dan ia pun tidak bisa tidur.

Saya salut dengan mereka. Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Para pekerja rela untuk setiap saat membantu orang-orang dalam menyelesaikan masalahnya. Selain itu, para staff PKT hampir di dominasi oleh wanita (walaupun ada satu psikolog dan satu dokter pria). Saya juga senang praktikum di sana. Saya dapat membantu perempuan dan anak-anak keluar dari lingkaran kekerasan.

WOMEN AGAINST VIOLENCE!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun