Mohon tunggu...
Reka Agni Maharani
Reka Agni Maharani Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

hanya ingin menulis disini, tanpa perlu basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Batu Tidak Selamanya Keras

20 November 2010   16:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:26 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.donnabellas.com/image2/family/daddy-girl-brunette.jpg

Inhale… Exhale…

Emosi jiwa membuncah sudah semuanya. Kepenatan yang selama ini dipendam akhirnya tumpah juga. Selama ini aku bingung, kenapa aku selalu dianggap salah? Kenapa ia selalu saja menuduh aku anak yang tidak pernah mau tahu keadaan keluarga? Sekarang, aku sedang melakukan hal besar dan kalau pencapaian ini berhasil, toh aku bisa membanggakan keluarga aku dan membanggakan orang tua. Tetapi kenapa aku selalu dianggap dan dicap sebagai anak yang egois, maunya menang sendiri dan tidak peduli keadaan sekitar? Padahal sebenarnya, ia yang tidak tahu masalahku. Ia tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Ia yang tidak mau tahu persoalan apa yang sedang aku hadapi.

Ditambah masalah eksternal yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku tidak tahu lagi harus mencurahkan kepenatan ini dengan siapa. Satu-satunya jalan, aku hanya melakukan kontak batin dengan Zat yang tak dapat disentuh dan diraba tetapi aku yakin dan aku bisa merasakan bahwa diriNya mendengarkan segala keluh kesahku.

Aku banting sekencang-kencangnya buku-buku tebal yang ada dihadapan kami berdua. Aku tidak berkata apa-apa, hanya diam dan membanting buku. Sedangkan, matanya terbelalak dan mengucapkan kata-kata umpatan kepadaku. Tidak tahan dengan situasi tersebut, aku pergi menuju kamar dan membanting pintu keras-keras. Hanya diam. Tanpa disadari air mata menetes, menetes dan semakin deras. Aku tak tahu apa yang membuatku seperti ini. Aku berdiam diri di dalam kamar tanpa ada penerangan sama sekali. Diam, menangis tanpa suara dan termenung. Oke, aku akui aku salah. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Hal yang sepele memang, tapi itu sudah beberapa kali terjadi. Aku tidak suka kalau usahaku selalu dianggap sia-sia. Dia tidak mengerti bagaimana kerasnya yang aku lakukan, tetapi dia selalu mengeluh dengan keadaanku.

Dua jam berlalu…

Masih mendekam di dalam kamar tanpa penerangan. Senja berubah menjadi malam.Perut meraung-raung ingin diisi, tetapi aku tetap tidak ingin beranjak dari pojok kamar. Lama-lama aku berpikir, bodoh juga aku seperti ini. Masih ada hal lain yang perlu dilakukan, tetapi kenapa aku masih diam seperti ini? Aku kembali pada pekerjaanku dan menyalakan lampu kamar. Tanpa kusadari, ternyata ia membuka sedikit pintu kamarku dan mengintip apa yang sedang aku lakukan. Ketika aku tersadar, aku melihat wajahnya.Walaupun datar, entah kenapa aku merasakan bahwa sesungguhnya ia benar-benar menyayangiku dan tidak ingin membuatku merasa sedih dan kecewa. Aku menatapnya, dan tersenyum kecil seolah-olah semua sudah beres. Seumur hidupku, tidak pernah ada kata maaf yang terlontar baik dariku maupun darinya. Ya, dia, Ayahku, sekeras batu. Akupun juga begitu. Kami berdua, Ayah dan anak yang egois dan keras. Kami tidak pernah bisa bersatu, berbicara dan berdiskusi pun hampir bisa dihitung kapan dan dimananya. Tetapi sebenarnya, kami saling menyayangi dan kami sangat gengsi untuk menunjukkan rasa sayang. Hubungan anak dan Ayah yang sangat aneh.

Ia tidak mau membalas senyumanku. Yang ada, ia langsung menutup pintu kamarku rapat-rapat kembali. Ketika aku membuka pintu, aku melihat ia masih berada di depan kamarku. Matanya berlinang, tetapi ia tidak mau menunjukkannya kalau ia sedih. Aku benar-benar merasa bersalah. Tapi tetap, aku tidak bisa berucap “maaf”. Sampai akhirnya, lidahku yang kelu untuk mengeluarkan kata-kata itu, aku paksakan untuk mengucap. “Maaf ya, Pa!”. Wajah Ayahku yang datar dan dingin seketika itu berubah. Air matanya tidak dapat dibendung lagi. Ia menangis dihadapanku. Seumur hidup, aku tidak pernah melihatnya menangis. Ayahku yang dingin dan keras seperti es batu, akhirnya dapat luluh juga.

--dedicated to my beloved Dad--

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun