Mohon tunggu...
Reka Agni Maharani
Reka Agni Maharani Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

hanya ingin menulis disini, tanpa perlu basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dijual: Kemaluan #2

23 Agustus 2010   16:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lala, begitu panggilannya, dengan sedikit gugup mulai membuka kancing kemeja ketatnya satu persatu dan segera melucuti pakaian luarnya. Sekarang ia hanya memakai kutang saja. Tak dapat dipungkiri, tubuhnya halus dan berisi. Sebagai lelaki, saya sangat terangsang dengan tubuhnya. Tetapi, saya tidak tega untuk meniduri dirinya. "mau apa kamu?" "eehh - anu, Om. Aku lak arep melayani om, dadi klambiku mulai tak uculi" Ia segera mendekatkan dirinya ke saya. Jujur, saya gemetar. Seumur-umur saya belum pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ia selalu berbahasa Jawa, sedangkan saya tidak begitu fasih  bahasa Jawa. Sedikit mengerti dan paham apa yang ia katakan, tetapi saya tidak bisa membalas ucapannya. "Lala, kamu bisa bahasa Indonesia?" "hmm... Bisa Om, tapi Lala ndak begitu lancar" jawabnya dengan logat yang masih medhok. "Lala, Engg- kamu tidak usah membuka baju kamu. Pakai kembali saja bajumu itu. Saya hanya ingin berkenalan dengan Lala saja. Saya tidak ingin berhubungan seks denganmu, apa boleh?" "Lala di sini bertugas untuk melayani Om, kata  Tante Gina. Kalau tidak pasti Lala dimarahi dan dipukul." Jawabnya. "Tante Gina itu siapa?" "Ituu lhoo, yang tadi di luar yang mengajak Om mampir ke sini." "Oohh.. Tapi saya tetap tidak mau mengajakmu berhubungan seksual. Saya ingin berkenalan dengan kamu, apa tidak boleh? Jangan bilang-bilang Tante Gina kalau begitu" Ia memasang tampang curiga kepada saya. "kenapa Oom tidak mau berhubungan dengan saya? Si Om Aneh tenan. Biasane laki-laki yang memanggil akan meniduri Lala. Kenapa Oom ndak mau?" Saya tidak tahu mesti bagaimana. Lucu. Lucu dan lugu sekali anak ini. Geli saya mendengar perkataannya dan dengan wajah yang datar ia mengatakan bahwa saya ini aneh. "ehh-Hahahaha. Kamu itu lucu! Saya tidak bisa menahan tawa. Hahaha. Tidak apa-apa, Lala. Saya memang tidak ingin, kenapa? Tenang saja, Lala, saya tidak akan mengumbarkan identitasmu kepada siapapun." Ia menganggukkan kepalanya dan segera memakai kemudian mengancingi lagi kemejanya itu. Saya sangat tidak bisa kalau saya disuruh berhubungan dengan dia. Sungguh ia adalah gadis yang sangat lugu dan polos. Apalagi melihat gaya bicaranya yang sangat datar. Saya sebenarnya tidak tega melihat dirinya di tempat seperti ini. Sekarang yang saya lakukan hanya bisa menghela dan menghembuskan nafas. Teringat kepada adik perempuan saya di rumah yang baru berusia tiga belas tahun. Adik saya bisa bersekolah dan bermain dengan teman-teman seusianya dengan riang. Mendapat perhatian dari kakaknya dan kedua orang tua. Kehidupannya hampir sempurna. Beda dengan Lala, yang sudah berada di tempat seperti ini. Tidak tahu arah dan tujuan hidupnya. "hmm... kamu di sini dari kapan, La?" "engg-baru Om. baru kemarin siang, Oom." "daritadi apakah kamu sudah mendapat pelanggan?" pertanyaan itu membuatnya menggelengkan kepala. "Jadi saya orang pertama?" "he-ehh!" "eengg-maaf Lala, Om mau tau, kenapa Lala bisa sampai di sini?" Mungkin ini pertanyaan yang sangat sensitif. Tapi pertanyaan ini adalah keingintahuan saya. Mimik wajahnya sekeitika berubah. Tetapi ternyata ia mau angkat bicara. "Eeengg.. Hmmm... Sebenarnya Lala ndak mau dadi lonte seperti ini to Oom.  Sopo sing mau dadi lonte. Lala terpaksa Oom. Ibuk Lala sakit keras. Pak Kempul yang minjemi Lala uang buat berobat Ibuk. De'e sing nggowo ibuk nang omah sakit." "Jadi, sekarang ibu Lala diopname di rumah sakit?" "he-ehh" "Pak Kempul itu siapa?" "Dia tetangga Lala, Om. Yang suka minjemi uang tapi pake bunga sampai dua puluh persen. Istilah kata yoo koyo lintah darat gitu sebutanne." "Terus, kamu bekerja di sini agar kamu bisa bayar biaya rumah sakit ibumu?" "yaa ndak gitu juga sih, Oom. Lala di sini dibawa sama Pak Kempul. Karena Ibuk sudah ia bantu biayane, yoo aku disuruh dadi lonte." Ia menundukkan kepalanya. Tatapannya kosong. "Ibumu sakit apa?" "anu Om, katanya sakit TBC. Katanya sudah kronis, Oom. Kata Pak Kempul, sudah kamu yang harus mengganti biaya ibukmu. Tapi awas kalo kamu macam-macam, Ibukmu kenapa-napa." [caption id="" align="alignleft" width="240" caption=""kupu-kupu" malam (blogspot.com)"][/caption] Malangnya Lala. Membuat saya tidak bisa menyembunyikan wajah iba kepada dia. Tidak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaan saya melihat kepolosan wajahnya. Benar-benar mengingatkan saya kepada adik perempuan saya satu-satunya itu. Saya tidak bisa berpikir, apabila adik saya dijual seperti ini, betapa murkanya saya kepada mereka yang tega dengan seenaknya menjual anak yang tidak berdosa seperti dirinya. Anak seusia dia yang seharusnya masih mengenyam pendidikan sekolah, tetapi sekarang mau tidak mau harus banting tulang dan menerima pahit getirnya kehidupan. "semalam Lala mendapat pelanggan?" Ia mengangguk, wajahnya kembali merunduk. Tidak dapat ditutupi, air matanya jatuh ke tangannya. Sesegera mungkin ia usap. "Lala takut, Om. Kemarin Lala sudah mendapat tiga pelanggan. Tiga orang pelanggan pertama, Om. Lala..." dengan sesugukan ia mencoba untuk melanjutkan ucapannya, "... Lala sudah ndak perawan lagi, Om!!" Ia menangis dengan histeris. Sesugukan tidak berhenti. Saya memberikannya tissue yang kebetulan ada di saku celana. Air mata saya pun ikut menetes. Ya, saya lelaki, tetapi saya masih punya hati. Jadi, tidak ada salahnya kan saya mengeluarkan air mata? "mereka mencoba merayu dan memaksa saya Om. Saya awalnya tidak mau pas diajak sama pelanggan pertama kali. Tapi kalo Lala ndak mau Tante Gina nanti ndak kasih uang ke Lala. Kemaren mereka memasukkan itu nya dengan paksa. sakiit! Periih! Sampai sekarang pun ini Lala masih merasa perih." katanya sambil menunjuk ke arah kemaluannya. Saya diam mendengarkan ceritanya. Diam dan menganga. Tidak mengerti harus berkata apa. Tidak bisa saya bayangkan, anak sepolos ini. "mereka juga ndak mau pake itu, Om!" "Itu apa?" tanya saya "plastik yang buat sarungin burung mereka, Om!" Lugunya, bahkan kata-kata kondom pun ia tidak mengerti. Ia mengatakan 'plastik-yang-buat-sarungin-burung. "Kalau Lala hamil bagaimana, Om? Lala takut, Om!" Ia menangis sesugukan kembali dan menutup erat-erat wajahnya. "sebelumnya Lala sekolah?" Ia menganggukkan kepala "I-iya om, sekolah. kelas 6, SD di kampung Lala." Kelas enam? Ia baru kelas enam Sekolah dasar? "kelas enam? memangnya umur kamu berapa?" "eengg- umur Lala tiga belas tahun, Om." Anak ini sangat kooperatif sekali. Setiap saya bertanya, ia selalu menjawabnya dengan jelas. Sebenarnya ia anak yang pintar. "Lala, dengarkan Om. Lala mau keluar dari sini?" mendengar pertanyaan saya, ia mengangguk dengan pasti. "tapi Lala tidak tahu bagaimana caranya." Saya memutar otak dan saya berniat untuk mengeluarkannya dari tempat ini sesegera mungkin. Saya tidak menjanjikan apa-apa kepadanya, sebelum ia terlanjur terjerumus, saya harus membawanya keluar dari sini. "Lala, minggu depan saya akan ke sini menemui Lala kembali. Nanti saya akan usahakan secepatnya kamu untuk keluar dari sini." Saya memberikannya uang, sejumlah uang yang membuatnya terbelalak. Padahal menurut saya, jumlah uang itu tidak begitu besar. "Terima kasih ya, Om! Biasanya Lala hanya dikasih paling banter seratus ribu. Ini lebih dari cukup, Om." Seratus ribu? Harga diri hanya di beli dengan uang senilai seratus ribu? Teramat sangat murah. "Ya sudah, simpan uang itu baik-baik untuk Ibumu ya? Hapus dulu air mata kamu, perlihatkan wajah senang agar Tante Gina tidak mencurigai" Saya dan Lala turun dari kamar di atas "toko". Jam sebelas lewat lima belas. Tidak terasa sudah tiga jam saya di dalam kamar dengannya. Tanpa melakukan apa-apa. Hanya bertanya. Dan berbicara. Perempuan-perempuan di etalase makin sedikit karena sudah banyak yang booking. Lala mencoba untuk tertawa sumringah, padahal hatinya gerah. Saya berusaha memperlihatkan wajah puas, padahal tidak ada satu pun yang saya rampas. Germo yang bernama Tante Gina itu menghampiri kami berdua. "bagaimana Om, servisnya? Servis segel! Hihihihihihi" katanya sambil berbisik dan tertawa genit. Saya hanya tertawa dan mengacungkan jempol. Hidup memang di setting untuk drama, semua berpura-pura. Saya tiba di hotel jam setengah dua belas. Saya harus tidur dengan segera. Besok pagi saya harus terbang ke Jakarta. Sesegera mungkin saya harus membuat rencana untuk membantu mengeluarkan Lala dari praktik prostitusi. Lala harus bisa bersekolah kembali dan mendapatkan haknya kembali. Ia tidak layak untuk  menjadi pelacur. Gadis pemalu menjual kemaluan dengan malu-malu karena ia tidak mau...

--Selesai--

cerita sebelumnya : Dijual : Kemaluan #1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun