Bukan bermaksud ingin mencari, tetapi hanya ingin mengetahui... Berkunjung ke daerah Surabaya memang sangat menyenangkan. Makanannya enak-enak, tempat wisatanya juga banyak. Belum lagi jembatan baru Suramadu yang menghubungkan antara Jawa Timur dengan kepulauan Madura yang membelah Selat. Sebenarnya saya datang ke Surabaya untuk bekerja tanpa ada maksud dan tujuan lain. Sehari-hari saya bekerja sebagai seorang jurnalis di salah satu media cetak di Jakarta dan di lain sisi saya juga seorang peneliti sosial serta aktivis salah satu LSM anak. Meneliti berbagai macam manusia itu unik dan berbeda-beda. Dari situlah saya bisa membuka pikiran bahwa setiap isi kepala manusia itu tidak ada yang sama melainkan hampir sama. Mungkin hampir sama dari sifat dan keegoisannya atau mempunyai visi maupun misi yang sama. Tetapi tidak ada secara keseluruhan manusia yang sama dalam sifat sekalipun mereka kembar. Hari ini sampai empat hari yang akan datang saya ada liputan di sini, tepatnya di hotel Majapahit Surabaya yang dahulu bernama hotel Yamato atau hotel Oranje menjadi saksi sejarah perobekan bendera Belanda dan akhirnya menjadi bendera Indonesia sekarang dengan hanya dua warna, merah dan putih. Sebenarnya liputan hanya berlangsung 3 hari, dan dua hari setelah liputan digunakan khusus untuk jalan-jalan mengitari kota Surabaya dan sekitarnya. Saya jalan-jalan dari daerah Tunjungan yang terkenal dengan Tunjungan plazanya dan museum kapal selam sampai menikmati sejuknya Batu, Malang. Menikmati kuliner khas Jawa Timur yaitu tahu campur dan rujak cingur. Mampir sebentar ke Pecinan dan berjalan-jalan ditengah bangunan bersejarah yaitu Jembatan merah. Sekitar jam delapan lewat lima belas malam, saya ingin mencoba berjalan-jalan ke daerah Pasar Kembang. Banyak tersiar kabar, di sana merupakan tempat lokalisasi sekaligus wisata prostitusi yang lumayan besar dan berada di dalam sebuah gang. Ya, Gang Dolly. Tempat lokalisasi Gang Dolly ini adalah salah satu tempat lokalisasi terbesar se Asia Tenggara. Konon katanya, nama ini diambil dari seorang perempuan keturunan Belanda yang bernama Tante Dolly ketika Belanda menginvasi Surabaya. [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="| reflection |"][/caption]
Bukan berniat untuk mencari , tetapi hanya ingin mengetahui. Saya berjalan menyusuri gang tersebut. Sudah seperti toko baju saja, penuh dengan etalase. Tetapi bedanya, mannequin yang dipajang di etalase bukanlah boneka, tetapi benar-benar seorang perempuan dengan pakaian mini hampir tak berbusana. Ada yang tersenyum centil, menggoda dan ada yang hanya diam saja. Seorang tante girang ataupun germo menunggu dipinggir pintu. Gaya merokoknya sedikit angkuh, terkadang ada yang menarik tangan setiap lelaki yang melewati depan "toko"nya.
"Mas, mampir mas! Stocknya masih banyak niih. Ijih akeh, seger-seger, ono sing ijih prawan pisan. Monggo maas."
Satu persatu mencoba untuk menawarkan saya seorang perempuan yang kalau ditilik dari usianya, mereka masih sangat muda. Muda sekali. Terbilang masih termasuk anak kecil. Yaa, sekitar 12 sampai 18 tahun. Ada juga yang sudah dewasa, biasanya mereka bergaya lebih sembrono. Sayup-sayup di keramaian gang, saya mendengar sedikit lirik : ...ooh apa yang terjadi, terjadilaah. Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya Ooh apa yang terjadi, terjadilaah. Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa... Lirik itu sangat familiar dan sengaja ataupun tidak, keadaannya sesuai dengan kenyataan. Tak hanya "toko-toko" yang menawarkan "barang" yang ada di etalase, di pinggiran jalan banyak penjual yang menjual makanan, minuman, rokok maupun kondom. Tiba-tiba ada rasa keingin tahuan yang sangat besar mengalir deras di darah, ketika saya melihat seorang anak perempuan yang pemalu duduk di dalam etalase. Tidak seperti yang lain, ia hanya duduk diam tanpa rokok ataupun bincang-bincang genit dengan teman-temannya. Akhirnya saya memasuki toko itu dan merujuk kepada si anak perempuan yang duduk di sana. "Mau pilih yang mana, oom? Yang handal dalam ngeseks, yang cantik, yang bohay, apaa yang masih lugu dan perawan? Tinggal pilih, Oom. Dijamin deh, pelayanan dari anak buah Tante sangat memuaskan dan oke punya." Germo itu menawarkan saya perempuan-perempuan yang ada disana, layaknya barang dagangan yang didagangkan di lapak-lapak pinggiran. "hmm... Eh-anu. Saya pilih yang itu saja!" saya menunjuk kepada anak yang sedari tadi menyita perhatian saya. "Iiihh.. Oom tau aja deh kalo itu barang baru! Masih bersegel, Oom. Presh prom di open. Sing iku jenenge Lala, Oom. " Germo itu berkata dengan centil. "LALAAAA, iki lhoo ono pelanggan!!" germo itu berteriak dan kemudian menghampiri anak perempuan yang bernama Lala itu. "yowis kono, kae pelangganmu mbok urus dhisik, ojo lali dandan maneh, mundak tambah ayu!" Anak perempuan itu menghampiri saya dengan jalan yang kaku. Ia tersenyum kecil. Wajahnya manis dan lugu, rambutnya panjang, lurus dan halus. Kulitnya kuning langsat dan saya perkirakan ia masih berusia dua belas tahunan. Masih sangat muda. Seperti melihat adik sendiri. Saya dibawanya ke atas, dimana terdapat kamar-kamar petak khusus untuk melayani pelanggan. Jujur, ini kali pertama saya datang ke tempat prostitusi. Agak khawatir dan nervous. Anak perempuan itu mempersilahkan saya masuk ke dalam kamar yang berwarna putih pucat dan berukuran sekitar 2x3 meter. Di sana hanya terdapat satu tempat tidur king size seadanya dan kipas angin yang ditempelkan di dinding. -->bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H