Mohon tunggu...
Reka Agni Maharani
Reka Agni Maharani Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

hanya ingin menulis disini, tanpa perlu basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

08.08.08 20:08 Gerbong 8

16 September 2010   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ternyata benar apa yang aku duga. Novel itu benar miliknya. Kami berjanji bertemu di dalam kereta. Gerbong delapan jam delapan lewat delapan malam. Awalnya, sesampainya di kantor, aku segera mengirim pesan singkat kepada pemilik buku itu. Takut-takut ternyata itu buku pinjaman dan bukan milik si gadis cantik itu. lima menit kemudian, ia membalas pesan yang aku kirim. Ternyata benar, buku yang terjatuh di kereta  adalah buku miliknya. Aku berusaha menelponnya dan membuat janji bertemu untuk mengembalikan buku itu. Ia menyetujuinya.

Nama gadis cantik itu sangatlah indah, seindah nirwana. Ya, memang nama gadis itu adalah Nirwana. Nirwana yang berarti surga. Nirwana yang berarti khayangan, yang didalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik nan mempesona. Pantas saja aku merasa teduh melihatnya seperti melihat surge diatas khayangan. Aku tidak bisa menunggu lama untuk segera bertemu dengannya dan mengembalikan buku novel itu. Jantungku berdegup kencang, seakan lama menanti seorang gadis pujaan hati. Entah kenapa aku merasa percaya diri, bahwa ia bisa menjadi tambatan hati. Kereta yang ku tumpangi akhirnya menuju stasiun Tebet juga. Aku mencari-cari keberadaannya. Di dalam kereta yang penuh sesak manusia-manusia pulang dari kegiatan duniawi mereka. Ia mengirim pesan kepada saya bahwa ia sudah naik kereta, tepatnya di gerbong delapan. Gerbong delapan adalah gerbong terakhir kereta.

Aku tetap berusaha mencari dia di dalam gerbong delapan. Akhirnya, terlihat juga sosok dirinya di pinggir pintu. Aku berusaha berada di sisinya, dengan menerjang orang-orang yang berada disekitarnya. Ku sapa dia. Ia tersenyum. Senyumannya membuatku ingin pingsan. Gadis itu sangat ramah. Ramah sekali. Kami akhirnya berkenalan dan saling berjabat tangan. Walaupun sudah malam, wajahnya masih saja cerah seperti siang. Kecantikannya tidak ada yang pudar. Jantungku teramat sangat berdetak dengan cepat. Untung saja aku tidak lemah jantung.

"terima kasih ya sudah menemukan dan menyimpan novel saya." Ucapnya dengan sangat ramah. Suaranya lembut dan aku merasa bergetar setiap ia berbicara. Aku terdiam, hanya bisa tersenyum kikuk. Ku berikan novel itu kepada dia, dan kita memulai perkenalan dengan percakapan yang mengalir apa adanya. Di tengah perjalanan, kereta tiba-tiba berhenti dan mati lampu. Gelap dan tidak terlihat apa-apa. Orang-orang berteriak dengan panik. Gelap, pengap dan tiba-tiba mengepul asap yang membuatku sesak nafas. Apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat sama sekali yang terjadi. Aku tak sadar diri.

Aku tersadar dan berada di tempat berbeda. Mulutku terpasang selang oksigen, tanganku penuh dengan infus yang menusuki pergelangan. Kenapa tiba-tiba aku berada di sini? Dimana Nirwana? Ternyata kereta yang ku tumpangi mengalami kecelakaan. Semenjak itu, aku tidak bisa menghubungi Nirwana dan aku tidak tahu kemana Nirwana pergi. Pertemuan dengan gadis pujaan hati yang sangat singkat, bahkan terlalu singkat.

--selesai--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun