Kamis, 10 Oktober 2019 Menkopolhukam RI diserang oleh seorang oknum dengan senjata tajam saat melaksanakan kunjungan kerja di Pandeglang, Banten.Â
Dalam wawancara dengan wartawan tanggal 25 Oktober 2019, pelaku mengaku melakukan perbuatan tersebut karena merasa keyakinannya dihina. Menurutnya, Rasulullah dan agama Allah telah lama dihina di negeri ini namun tidak ada orang yang bertindak atas kondisi tersebut.
Ia menjelaskan bahwa perbuatannya adalah luapan kemarahan karena Pemerintah membuat hukum dan aturan bukan berdasarkan syariat (Islam). Padahal Pak Wiranto pun beragama Islam.Â
Pasca peristiwa tersebut aparat kepolisian melaksanakan operasi penangkapan teroris (10-17 Oktober 2019) dan telah mengamankan 40 terduga teroris.
Meski sebagian orang menilai peristiwa tersebut adalah rekayasa, faktanya pelaku benar-benar telah melakukan penyerangan yang mengancam keselamatan Pak Wiranto.Â
Bahkan dalam sebuah acara dialog yang disiarkan langsung di stasiun tv nasional seorang ustadz (entah dalam kapasitas apa beliau menyampaikan pandangan tentang isu keamanan nasional) menyatakan bahwa Indonesia saat ini tidak darurat radikalisme, tapi darurat ekonomi.Â
Pejabat tinggi negara adalah simbol negara dan penyerangan terbuka oleh anggota kelompok radikal terhadap negara merupakan masalah yang sangat serius. Indonesia tidak dalam kondisi darurat radikalisme/terorisme, benarkah?
-Â Infiltrasi ISIS di Asia Tenggara -
Radikalisme bukanlah merupakan fenomena yang baru muncul, namun sejak adanya kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di awal tahun 2000-an dan penyebarannya di berbagai kawasan di dunia saat ini isu radikalisme menjadi ancaman nyata bagi semua negara, tak terkecuali Indonesia.
Berbeda dengan kelompok teroris yang bertujuan utama menciptakan teror atas dasar misintepretasi perintah 'jihad' dalam Al Quran, tujuan utama ISIS adalah murni untuk mendirikan kekhilafahan Islam sebagai buntut dari rasa tidak terima dengan sistem pemerintahan/politik dalam penyelenggaraan negara saat ini.Â
ISIS memerintahkan pendukungnya untuk melakukan amaliyah sebagai bentuk jihad melawan Pemerintah, sehingga negara (pemimpin, pejabat, kantor pemerintahan, pasukan tentara dan kepolisian, dan simbol negara lainnya) menjadi target radikalis ISIS dalam menjalankan aksinya.
Pada awalnya teritori ISIS di Irak dan Suriah seluas wilayah Inggris (Britain). Setelah dilakukan operasi militer selama 4 tahun terakhir di Suriah oleh berbagai pihak dengan dukungan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, teritori ISIS menjadi terus mengecil hingga di tahun ini menjadi seukuran desa di Suriah bagian Tenggara.Â
Bahkan pada akhir Oktober 2019 Pemerintah AS secara resmi menyatakan telah berhasil menewaskan pimpinan ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi.Â
Meski demikian, bukan berarti ISIS telah lumpuh karena organisasi dan gerakan radikal berdasar ideologi ISIS telah menyebar di berbagai wilayah di seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara.
- Peristiwa Marawi, Filipina Selatan (2017) -
Dua tahun sebelum terjadi peristiwa penusukan Menkopolhukam RI, negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Filipina, mendapat serangan yang sangat serius oleh para radikalis ISIS.Â
Kelompok teroris/radikalis Maute Group sempat menduduki Kota Marawi, serta melakukan penyanderaan dan pembunuhan terhadap pendeta dan warga sipil. Presiden Duterte pun memberlakukan status darurat militer kurang dari 24 jam setelah gencatan senjata antara kedua pihak dimulai.
Tak dapat dielakkan, kontak senjata antara Armed Forces of the Philippines (Angkatan Bersenjata Filipina) melawan Maute Group beserta kelompok teroris dan separatis yang menjadi afiliasinya (ISIS, Bangsamoro Islamic Freedom Fighters dan Abu Sayyaf Salafi) berlangsung selama 5 bulan terhitung sejak 23 Mei 2017.
Sebagai akibatnya, terdapat 1.233 korban jiwa dari kedua pihak (87 di antaranya warga sipil), lebih dari 1.400 korban luka, dan hampir 1,1 juta warga sipil mengungsi ke wilayah di sekitarnya.Â
Setelah peristiwa berakhir, terdapat lebih dari 5.000 gedung/bangunan rusak, dan kerugian secara ekonomi diperkirakan mencapai US$ 1,4 milyar (20 triliun rupiah).
Dalam peristiwa tersebut, terdapat 8 teroris/radikalis asing yang terbunuh, diantaranya telah teridentifikasi merupakan warga negara Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, Yaman dan Chechnya. Selain itu, terdapat 12 teroris/radikalis yang tertangkap hidup-hidup, termasuk diantaranya warga negara Indonesia.
Peristiwa Marawi tersebut menandakan regionalisasi ISIS di Asia Tenggara. Pelaku yang terlibat diketahui berasal dari multi negara, begitu juga aliran pendanaan (yang diketahui kemudian) berasal dari multi negara.Â
Meskipun Peristiwa Marawi pada akhirnya dapat tertangani dan tidak sampai sepenuhnya melumpuhkan Filipina, namun dilihat dari skala serangannya, jumlah korban dan penduduk sipil yang terdampak, serta tingkat keparahan yang diakibatkannya.
Peristiwa Marawi merupakan tragedi keamanan yang cukup menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan infiltrasi ideologi radikal ISIS.
- Memahami Akar Masalah dalam Peristiwa Marawi (Lessons Learned) -
Seperti Indonesia, Filipina juga merupakan negara kepulauan dan terdiri dari berbagai etnis, suku, ras dan agama yang berbeda.Â
Salah satu masalah utama yang dihadapi negara tersebut adalah gagalnya Pemerintahnya dalam mengelola isu separatisme dan insurjensi oleh sejumlah kelompok minoritas Muslim di Filipina Selatan yang muncul sejak tahun 1970-an hingga kini.
Mereka adalah: Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Islamic Liberation Front (MILF), Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF), dan New People's Army (NPA).
Selain itu, wilayah Filipina Selatan yang rawan konflik juga menjadi daerah persembunyian sekaligus daerah operasi sejumlah kelompok teroris seperti Abu Sayyaf Group (ASG), Maute Group, Ansar el-Khalifah Philippines (AKP).Â
Catatan: ASG adalah kelompok teroris yang secara berulang menculik WNI dan merompak di perairan Sulu (perbatasan Filipina-Indonesia-Malaysia) sepanjang tahun 2016.Â
Singkatnya, peristiwa Marawi bukan merupakan suatu isolated case, melainkan bagian dari eskalasi konflik yang berkepanjangan di Filipina Selatan.
Faktor kedua yang mendukung ISIS bisa tumbuh subur di wilayah Filipina Selatan adalah faktor geografis dan sosial ekonomi. Filipina Selatan memiliki pulau-pulau kecil dan hutan-hutan sehingga sulit dijangkau oleh pasukan Pemerintah Filipina.Â
Hal ini pula yang membuat kelompok insurjen, kelompok separatis dan kelompok teroris menjadikan Filipina Selatan sebagai markas dan basis pelatihan.Â
Filipina Selatan juga menjadi wilayah termiskin di negara tersebut, dengan tingkat pendidikan penduduknya yang termasuk terendah.
Telah lama isu kesenjangan sosial ekonomi antara Mindanao dengan wilayah lain seperti Luzon dan Visayas menjadi masalah yang tak terselesaikan oleh Pemerintahnya.Â
Hal ini juga menjadi faktor penyebab kelompok insurjen, kelompok separatis dan kelompok teroris begitu mudah merekrut anggota/pendukung dengan memanfaatkan ujaran kebencian terhadap Pemerintah yang berkuasa maupun negara-negara yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi radikalisme.
Perlu dicatat bahwa peristiwa Marawi terjadi hanya setahun setelah ISIS melakukan rekrutmen besar-besaran di Filipina Selatan melalui video online.
Video yang disebar melalui platform facebook pada tahun 2016 itu berisi ajakan kepada para militan yang tidak bisa pergi di Irak dan Suriah untuk berjuang demi kekhalifahan Islam agar melakukan perjuangan di wilayahnya/daerahnya.Â
Peristiwa Marawi juga terjadi setelah sebulan sebelumnya kelompok teroris Maute Group menyatakan berafiliasi dengan ISIS. Adapun kelompok radikal lainnya di Filipina yang berafiliasi dengan ISIS yaitu ASG, BIFF, Ansar el-Khalifah Philippines (AKP).
Kondisi Filipina Selatan yang rawan konflik merupakan ladang subur bagi masuknya dan berkembangnya ideologi radikal ISIS di negara tersebut. Konflik horisontal, baik berupa insurjensi, separatisme, maupun kekerasan karena isu SARA, ibarat luka yang menganga.Â
Apabila tidak ditangani dan dikelola dengan baik oleh Pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat, maka radikalisme/terorisme dapat dengan mudah masuk (menginfiltrasi) dan berkembang di dalamnya.Â
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Disclaimer:
* Penulis adalah ASN (2008 - 2018) yg pernah bertugas menangani isu keamanan internasional (penanggulangan terorisme) dan bertugas di Fungsi Politik KBRI Manila
** Isi tulisan adalah opini pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H