Meskipun Peristiwa Marawi pada akhirnya dapat tertangani dan tidak sampai sepenuhnya melumpuhkan Filipina, namun dilihat dari skala serangannya, jumlah korban dan penduduk sipil yang terdampak, serta tingkat keparahan yang diakibatkannya.
Peristiwa Marawi merupakan tragedi keamanan yang cukup menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan infiltrasi ideologi radikal ISIS.
- Memahami Akar Masalah dalam Peristiwa Marawi (Lessons Learned) -
Seperti Indonesia, Filipina juga merupakan negara kepulauan dan terdiri dari berbagai etnis, suku, ras dan agama yang berbeda.Â
Salah satu masalah utama yang dihadapi negara tersebut adalah gagalnya Pemerintahnya dalam mengelola isu separatisme dan insurjensi oleh sejumlah kelompok minoritas Muslim di Filipina Selatan yang muncul sejak tahun 1970-an hingga kini.
Mereka adalah: Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Islamic Liberation Front (MILF), Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF), dan New People's Army (NPA).
Selain itu, wilayah Filipina Selatan yang rawan konflik juga menjadi daerah persembunyian sekaligus daerah operasi sejumlah kelompok teroris seperti Abu Sayyaf Group (ASG), Maute Group, Ansar el-Khalifah Philippines (AKP).Â
Catatan: ASG adalah kelompok teroris yang secara berulang menculik WNI dan merompak di perairan Sulu (perbatasan Filipina-Indonesia-Malaysia) sepanjang tahun 2016.Â
Singkatnya, peristiwa Marawi bukan merupakan suatu isolated case, melainkan bagian dari eskalasi konflik yang berkepanjangan di Filipina Selatan.
Faktor kedua yang mendukung ISIS bisa tumbuh subur di wilayah Filipina Selatan adalah faktor geografis dan sosial ekonomi. Filipina Selatan memiliki pulau-pulau kecil dan hutan-hutan sehingga sulit dijangkau oleh pasukan Pemerintah Filipina.Â
Hal ini pula yang membuat kelompok insurjen, kelompok separatis dan kelompok teroris menjadikan Filipina Selatan sebagai markas dan basis pelatihan.Â