Mohon tunggu...
Reizy Bulu
Reizy Bulu Mohon Tunggu... -

Buah Hati Lama, menyukai prosa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mari Sini Kita Mengobrol Sejenak

8 Juli 2017   02:10 Diperbarui: 8 Juli 2017   03:34 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mari sini, diluar masih hujan, kita mengobrol dulu sejenak. Mungkin cerita penghabisan dari runut panjang seri hujan dan romansa didalamnya. Ayo ku ajak minum kopi, masih ada coklat panas jika kau tidak suka kopi. Oke, dari mana kita akan memulainya. Bagaimana dari waktu itu saja, hari dimana kamu menungguku di depan sekolah, saat kau dan aku mengkampanyekan sebuah gelaran amal dari atap-keatap sekolah. Oh, itu terlalu panjang ku kira, sebuku tebal pun tak menampung, jelaganya saja pun tidak, mungkin masih manis-manis nya saja yang tertulis.

Mari bercerita tentang satu masa dimana kita ingin bersegera, tapi aku harus membangun 4 hal secara bersamaan sesuai permintaanmu. Yang pertama kau pinta aku membangun sebuah hunian yang nyaman, sebuah hunian yang jika kita punya banyak keturunan, maka anak-anak kita dapat berlarian disana. Maka ku sisihkan tiap tetes keringatku untuk itu. 

Kedua, kau pintaku membuat titah ilmu pada ujung namaku, maka ku kumpulkan serpihan keringat di tambah bantuan banyak orang baik, aku menuntut kembali ilmu-ilmu dari tetua-tetua, agar lengkap ujung namaku sesuai kehendakmu. Yang ketiga, kau pinta aku lengkapi sujudku kepada Tuhan. Maka perlahan tapi pasti, aku melengkapinya. Keempat, kau pinta bersegera ini melebihi perayaan saudarimu. Kau akan kenakan gaun biru serupa putri entah berantah, dan aku akan mengenakan kostum manusia salju ucapku sambil tertawa. Dan, tiada keringatku yang tak kusisihkan untuknya.

Dari hal demikian, kaupun berjanji akan menunggu dan tidak akan pergi, lalu bersabar didalam penantian. Dan tujuan hidup berangsur jelas, bertitik pada bersegera yang ku segerakan.

Kamu berubah secepat angin berlalu. Kamu hanya jenuh ketika itu, aku tahu benar. Petang dimana aku kelelahan dan kamu butuh teman mengobrol. Kita bertengkar perihal ini (lagi), lalu ku biarkan ini seperti biasanya, ku beri jeda waktu, agar kamu bisa kembali tenang. Tapi silam waktu berganti hari, dua kali jum'at ku temui kabar kau telah berdua. Sungguh parodi waktu untuk risalah yang telah beralamatkan. Takdir sedang bercanda ucapku.

Kini kau pergi sambil bergumam ; "Tak ada sedikitpun kebaikan dari yang telah lalu."

Aku hanya tersenyum perihal tiada kebaikan, sementara telah ku luruskan kembali kerudungmu, kupinta kau hilangkan busana singkatmu, ku ingatkan kau menjaga harta orang lain dalam dua setengah persenmu, ku bopong bahumu ketika lelah menjagalmu, ku angkat dagumu ketika percaya diri dan pesimis itu membebanimu, ku dukung kain-kainmu dari tepian sungai, hingga pelanggan yang mencarinya kini.

Itulah janji manusia. Secepat angin menderu, sekilas hujan berlalu, sedangkal genangan berangsur.

Yah, sudahlah. Seperti itulah ujung ceritanya. Hujan di luar sudah reda, kopiku sudah habis, coklat panasmu juga. Mari keluar, kau pergi ke timur membangun pagi yang baru, biar aku yang pergi ke barat, menjemput senja, merenungi parodi waktu, janji manusia, dan ketetapan Tuhanku.

Tanggal 7. Tahun ini, musim hujan di bulan juli.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun