Manuver politik yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, PKS, PAN dan PPP dalam ‘mengimbangi’ Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura seolah menyajikan tontonan drama yang tidak ada akhirnya. Masih segar dalam ingatan kita ketika kubu KMP mengajukan gugatan Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul pengumuman hasil Pilpres yang dimenangi oleh Ir. H. Joko Widodo dari kubu KIH. Kontan saja aksi ini menimbulkan gejolak politik yang disertai oleh riak-riak ketegangan, menyusul aksi demonstrasi massa yang terjadi di Gedung MK.
Walaupun gugatan tersebut ditolak, namun kubu KMP seolah tidak ingin menyerah begitu saja. Bermodalkan keunggulan perolehan kursi di parlemen, kubu KMP terus bergerak menyusun strategi yang dengan jelas terbaca sebagai upaya ‘menekan’ kubu KIH. Yang hangat belakangan ini adalah keberhasilan kubu KMP menggolkan RUU Pilkada pada tanggal 25 September 2014 yang lalu dan terpilihnya paket Pimpinan DPR yang semuanya berasal dari kubu KMP plus satu orang wakil ketua dari Partai Demokrat.
Lepas dari ambiguitas Partai Demokrat dalam drama politik di DPR tersebut, rakyat sungguh dibingungkan dengan manuver-manuver yang terlihat penuh intrik dan bahkan terkesan licik tersebut. Sementara itu, kubu KIH seolah memberikan perlawanan dengan aksi menggalang massa untuk menggugat RUU Pilkada ke MK yang dilakukan baik melalui media sosial maupun media lainnya. Untuk menjustifikasi aksi ini, kubu KIH melemparkan isu perampasan hak politik rakyat, kematian demokrasi di Indonesia dan sebagainya.
Aksi ini berhasil menggalang dukungan sebagian masyarakat, khususnya para netizen menyusul maraknya kecaman bahkan hujatan yang ditujukan pada Presiden SBY lantaran memerintahkan Partai Demokrat untuk Walk Out (WO) pada saat Sidang Paripurna. Akibatnya, kubu KIH kalah telak dalam voting tentang pengesahan RUU Pilkada.
Uniknya, pada pemilihan Pimpinan DPR, gantian kubu KIH yang melakukan aksi WO. Hal ini tentu saja memuluskan skenario yang telah dirancang oleh kubu KMP sehingga secara aklamasi Pimpinan DPR yang didominasi oleh kubu KMP pun terpilih. Aksi WO kubu KIH ini mengakibatkan aroma perseteruan antara kubu KMP dan kubu KIH makin meningkat. Dengan kata lain, aksi saling menggugat, saling membalas WO dan sebagainya seolah mewarnai kehidupan berdemokrasi di kalangan elit politik negeri ini.
Mencermati situasi tersebut, sebagai rakyat kecil pastilah kita bertanya-tanya “Apakah yang sebenarnya diperjuangkan oleh elit politik negeri ini?”. Pertanyaan yang kedua adalah “Benarkah aksi-aksi yang dilakukan tersebut adalah demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia?”. Setelah membahas kedua pertanyaan itu, kita berharap dapat menjawab puzzle question kita yaitu “KMP vs KIH: Manakah yang benar benar pro-rakyat?”.
Jika kita evaluasi secara menyeluruh, substansi yang diperjuangkan oleh para elit politik tersebut adalah kekuasaan. Kubu KMP menggugat hasil Pilpres karena ingin mendapatkan kekuasaan eksekutif (Presiden), sementara kubu KIH (berencana) menggugat RUU Pilkada karena posisinya di dewan legislatif relatif lemah sehingga khawatir jika Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh anggota DPRD, maka kubu KIH peluang menangnya kecil.
Lantas salahkah jika para elit politik memperjuangkan kekuasaan? Bukankah kekuasaan adalah salah satu tujuan dari berpolitik? Inilah yang perlu diperjelas. Jika kekuasaan tersebut dipergunakan untuk memperoleh kewenangan dalam mengatur Negara dalam rangka mencapai masyarakat adil makmur dan sejahtera, maka perjuangan tersebut telah sesuai. Namun jika kekuasaan tersebut dijadikan prioritas utama sehingga kewajiban moral untuk mensejahterakan rakyat menjadi terpinggirkan, maka yang terjadi adalah elit politik yang haus kekuasaan.
Untuk menentukan apakah kekuasaan tersebut digunakan dengan benar atau tidak sebenarnya cukup mudah. Indikatornya adalah tingkat pendapatan rakyat yang meningkat, pembangunan fasilitas umum dan infra struktur yang memadai, ketersediaan kebutuhan masyarakat (baik sembako maupun BBM) dan penegakan hukum yang konsisten. Selama salah satu dari keempat indikator tersebut masih minus, maka dapat dipastikan telah terjadi kesalahan dalam penggunaan kekuasaan tersebut.
Harus diakui, memang tidak ada Negara yang mampu secara sempurna memenuhi keempat indikator tersebut. Namun ini bukanlah alasan untuk membenarkan kegagalan Negara dalam membenahi keempat indikator tersebut. Artinya, kekuasaan yang dimiliki oleh para elit politik harus diberdayakan secara optimal untuk mencapai terpenuhinya keempat indikator tersebut.
Kembali ke topik KMP vs KIH. Saat ini memang belum bisa diukur seberapa jauh kinerja para elit tersebut dalam mewujudkan terpenuhinya keempat indikator tersebut. Memang, dalam kampanye politiknya mereka telah memaparkan visi misinya dalam membangun Negara ini. Namun dengan adanya drama politik yang disuguhkan para elit politik tersebut, kita patut bertanya apakah kekuasaan yang diamanatkan pada mereka itu akan dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat atau hanya sebatas kepentingan parpolnya? Jawabannya akan terlihat dari seberapa jauh keempat indikator tersebut dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa rakyat adalah central issue sekaligus obyek dari tujuan nasional Negara kita. Dengan kata lain, setiap langkah yang dilakukan oleh elit politik baik dalam wadah eksekutif maupun legislatif semata-mata ditujukan pada kepentingan rakyat. Oleh karena itu, persoalan selanjutnya adalah memahami dan menguji apakah aksi-aksi yang dilakukan oleh elit politik tersebut adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia (pertanyaan kedua kita).
Kehidupan politik Indonesia pasca reformasi sungguh dinamis. Adanya kebebasan pers, penegakan HAM dan lain-lain telah mendorong masyarakat kita tidak hanya menjadi kritis, tapi juga bebas baik dalam berpendapat, berekspresi maupun berorganisasi. Saking bebasnya, setiap orang dapat dengan mudahnya berorasi di muka umum dan menyatakan bahwa dirinya atau pendapatnya itu adalah atas nama/mewakili rakyat.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu membuat batasan tentang kepentingan rakyat. Apakah kepentingan rakyat itu? Apakah ketika Prabowo menggugat hasil Pilpres dengan alasan telah terjadi kecurangan yang mencederai kehidupan demokrasi, dapat disebut membela kepentingan rakyat? Atau sebaliknya, apakah ketika Jokowi menghimbau masyarakat agar ramai-ramai menggugat RUU Pilkada karena dinilai mematikan demokrasi, itu juga disebut demi kepentingan rakyat?
Kalau kita jujur, kepentingan rakyat sebenarnya tidak lepas dari keempat indikator yang telah diuraikan sebelumnya di atas. Seorang nelayan tidak akan perduli apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung selama ia dapat melaut dengan pasokan BBM (solar) yang tersedia dengan cukup. Demikian pula halnya dengan anak-anak yang tidak akan memusingkan siapa presidennya selama mereka dapat bersekolah dengan baik tanpa kekhawatiran bangunannya roboh atau sarana transportasinya sulit.
Jadi, kepentingan rakyat barangkali lebih pas diilustrasikan sebagai terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, perasaan aman dan nyaman serta hal-hal lain yang menunjang kehidupan sehari-hari. Buat orang kebanyakan (rakyat kecil) lebih penting mendapatkan jaminan ketersediaan BBM ketimbang menggugat hasil Pilpres atau RUU Pilkada yang nyaris tidak mempengaruhi roda kehidupan mereka. (Kalaupun ada orang yang mau diajak berdemo untuk menggugat Pilpres atau RUU Pilkada, itu cerita lain)
Dengan demikian, aksi gugat menggugat, WO dan saling jegal yang dilakukan oleh para elit politik tersebut tidak dapat dikatakan demi kepentingan rakyat. Apa yang mereka lakukan itu lebih mengarah kepada konsolidasi posisi demi meraih kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut belum bisa dinilai apakah akan digunakan untuk mengatur Negara ini dalam rangka mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau, hanya untuk kepentingan parpolnya saja.
Khusus bagi kubu KMP (peraih kursi terbanyak di DPR) yang mengemukakan alasan efisiensi anggaran ketika menggolkan RUU Pilkada, rakyat menunggu disahkannya produk UU lain yang mampu menghasilkan efisiensi anggaran di bidang lainnya seperti perjalanan dinas anggota DPR dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan kubu KIH selaku pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden), yang dulu menyoroti masalah intoleransi dalam penyampaian visi misinya, rakyat pun menanti apakah mampu membuat terobosan yang signifikan dengan membubarkan FPI misalnya?
Terobosan-terobosan seperti disebutkan di atas akan membuktikan konsistensi para elit politik dalam menjalani komitmennya untuk membangun dan mensejahterakan negeri ini. Konsistensi inilah yang akan menepis tudingan bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan hanyalah manuver politik yang licik dan penuh intrik. Jadi, konsistensi harus seimbang dengan komitmen agar memberikan kontribusi yang nyata bagi kesejahteraan seluruh rakyat. (Pentingnya keseimbangan antara komitmen dan konsistensi, saya bahas di sini http://politik.kompasiana.com/2014/09/30/pilkada-langsung-vs-pilkada-dprd-manakah-yang-terbaik-691965.html)
Akhirnya, setelah kita memahami bahwa yang sesungguhnya diperjuangkan para elit politik adalah kekuasaan, dan bahwa aksi-aksi seperti gugat menggugat, WO dan saling jegal sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai tindakan membela kepentingan rakyat, maka dapatlah kita menjawab bahwa yang benar-benar pro rakyat adalah para elit politik yang berkomitmen secara konsisten untuk mewujudkan peningkatan pendapatan rakyat, pembangunan fasilitas umum dan infra struktur yang memadai, ketersediaan kebutuhan masyarakat (baik sembako maupun BBM) dan penegakan hukum yang baik.
Ada 5 tahun waktu yang dapat digunakan oleh para elit politik tersebut guna mewujudkan keempat hal tersebut di atas dalam rangka mencapai tujuan nasional Negara ini. Lepas dari intrik dan manuver politik yang dilakukan oleh kubu KMP dan KIH, sebagai rakyat yang telah memberikan mandat, kita wajib mengkritisi para elit politik tersebut dalam konteks pencapaian tujuan nasional dan bukan terjebak dalam perseteruan dan perdebatan sengit seputar isu-isu sektoral yang hanya akan memecah belah keutuhan bangsa dan Negara ini.
Akhirnya marilah kita mendoakan para elit politik baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif, yang akan memulai masa pengabdiannya selama 5 tahun ke depan, agar diberi kekuatan, kebijaksanaan dan hati nurani dalam mengemban amanah demi tercapainya cita-cita perjuangan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H