Beberapa hari ini, publik cukup dihebohkan dengan berita-berita tentang UU Pilkada 2014 yang dinilai mencederai makna dan hakekat demokrasi. Dalam beberapa media sosial, ungkapan kekecewaan, kemarahan bahkan hujatan mengemuka secara meluas dan mengarah pada sosok Presiden SBY yang dianggap sebagai penyebab gagalnya para pendukung Pilkada Langsung dalam menolak RUU Pilkada, menyusul perintah Walk Out yang diberikannya pada petinggi Demokrat tatkala Sidang Paripurna. Uniknya, Presiden SBY justru mengeluarkan pernyataan akan menggugat UU Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi beberapa saat setelah Sidang Paripurna usai.
Terlepas dari sikap Presiden SBY yang terkesan "cuci tangan", pertanyaan krusial yang muncul adalah "Apakah yang menjadi pokok persoalan dari UU Pilkada yang baru disahkan pada tanggal 25 September 2014 tersebut?" Pertanyaan kedua yang tak kalah pentingnya adalah "Mengapa resistensi terhadap UU Pilkada tersebut begitu kuat sehingga mampu mendorong masyarakat, terutama para netizen untuk ramai-ramai menghujat Presiden SBY melalui berbagai media sosial serta menggalang aksi penolakan terhadap UU Pilkada?" Akhirnya setelah menjawab kedua pertanyaan tersebut dapatlah kiranya menjawab puzzle question kita yaitu “Pilkada Langsung vs Pilkada DPRD, manakah yang terbaik?"
Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada baiknya kita mengulas sejenak pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Denny Indrayana yang mengatakan bahwa sekitar 70 persen Kepala Daerah yang terpilih melalui Pilkada Langsung terjerat kasus korupsi. Angka tersebut didapat dari Data Kemendagri sejak 2004 hingga Februari 2013 (http://www.jpnn.com/read/2014/02/15/216728/318-Kepala-Daerah-Terjerat-Korupsi-).
Selanjutnya, masih menurut Denny, pada zaman pelaksanaan Pilkada Tidak Langsung ternyata kasus korupsinya sangat besar pula. Hanya saja pada waktu itu belum ada institusi KPK, sehingga data dan statistik pejabat yang terjerat kasus korupsi tidak bisa ditampilkan. Dengan kata lain, baik pada masa Pilkada Tidak Langsung maupun Pilkada Langsung, jumlah pejabat yang korupsi terbilang sangat tinggi sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada manfaat yang signifikan yang dapat diperoleh masyarakat melalui kepemimpinan korup seperti itu.
Mengacu data tersebut, dapat dengan mudah kita simpulkan bahwa persoalan pokoknya bukanlah pada sistem Pilkadanya. Terbukti bahwa baik sistem Pilkada Langsung maupun Tidak Langsung ternyata menghasilkan pemimpin-pemimpin yang korup, walaupun tidak sedikit pula pemimpin-pemimpin brilian yang muncul melalui Pilkada Langsung. Fenomena money politics, jual beli suara, politik transaksional, kasus suap MK dan praktek-praktek KKN lainnya begitu marak sehingga tak salah jika kita menyoroti Manajemen Partai Politik, Penegakan Hukum dan Mentalitas Aparatur/Pejabat.
Bicara tentang Manajemen Partai Politik, sepertinya kita tidak belajar dari pengalaman Pemilu 1955 yang pada waktu itu diikuti oleh banyak parpol sehingga sulit untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang ada. Perlahan-lahan jumlah parpol yang ada dikurangi dan puncaknya di zaman Orde Baru, terjadilah peleburan parpol hingga menjadi 3 parpol saja. Yang terjadi saat ini pun seolah mengulangi proses penciutan parpol menjadi beberapa parpol yang electoral threshold-nya memenuhi persyaratan untuk mengikuti Pemilu. Namun di sinilah letak persoalannya. Tarik ulur mengenai angka electoral threshold menjadi isu sentral dan bahan negosiasi antar parpol sehingga tumpah tindih kepentingan pun tidak terelakkan. Dengan kata lain, parpol yang ada lebih disibukkan untuk melakukan lobi-lobi politik ketimbang berpikir untuk menyelesaikan program kerja/pembangunan. Kalau sudah begini, pembangunan apa yang bisa diharapkan oleh masyarakat?
Selain itu, banyaknya jumlah parpol memberikan beban tersendiri bagi siapa pun pejabat yang terpilih karena mau tidak mau, pejabat tersebut harus mampu mengakomodir kepentingan parpol-parpol tersebut. Beban ini menjadi semakin berat manakala pejabat tersebut mendapatkan dukungan yang tidak begitu dominan di legislatif. Fenomena koalisi/pasangan yang putus di tengah jalan pun bermunculan di berbagai daerah sehingga memberikan beban kerja yang tidak terselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah parpol berbanding lurus dengan banyaknya kepentingan yang belum tentu sejalan satu sama lain. Bukan hal yang baru lagi jika seorang Kepala Daerah terkesan maju mundur dalam membuat sebuah kebijakan strategis hanya karena berseberangan pendapat, entah dengan wakilnya atau salah satu parpol koalisinya. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa manajemen parpol di Indonesia perlu ditata ulang sehingga jumlah parpol peserta Pemilu cukup 2 atau 3 saja. Dengan demikian, tarik ulur kepentingan dapat diminimalisir sehingga memudahkan Kepala Daerah dalam menjalankan programnya dan merumuskan kebijakan-kebijakan strategisnya.
Lalu muncul pertanyaan, apakahdengan jumlah peserta Pemilu yang sedikit akan menjamin terciptanya Pemilu yang demokratis dengan pemimpin yang baik? Bukankah di zaman Orde Baru hal ini sudah dilaksanakan dengan hasil yang tidak dapat dikatakan baik? Pertanyaan tersebut dapat terjawab jika persoalan yang kedua, yaitu penegakan hukum dapat dibenahi pula secara simultan. Evaluasi vonis terhadap para Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi mengindikasikan tidak adanya efek jera bagi mereka. Berdasarkan data dan fakta yang ada, pejabat daerah mendapat predikat paling korup (http://www.globalindo.co/2014/08/03/pejabat-daerah-disebut-paling-korup). Ironisnya, vonis yang dijatuhkan pada para koruptor tersebut justru sangat ringan, dimana 74,7% terdakwa hanya divonis antara 1 sampai 4 tahun penjara (http://www.beritasatu.com/nasional/200393-icw-vonis-kasus-korupsi-masih-terlalu-ringan.html). Dengan kondisi ini, wajarlah jika 'animo' pejabat daerah untuk korupsi makin tinggi. Dengan bertamengkan otonomi yang diplesetkan menjadi automoney, jadilah gelombang korupsi yang masif, terstruktur dan sistematis (meminjam istilah salah satu tokoh kita).
Tingginya angka korupsi dan praktek-praktek KKN yang dilakukan oleh para Kepala Daerah tidak lepas dari tuntutan situasi yang mereka hadapi. Seperti telah diuraikan sebelumnya, para Kepala Daerah ini harus mampu mengakomodir kepentingan baik parpol koalisinya maupun parpol lainnya di dewan legislatif. Di samping itu, mereka pun harus melakukan balas jasa terhadap pihak-pihak yang dianggap berjasa dalam kampanye politiknya. Ini di luar biaya-biaya yang mereka keluarkan dalam proses kampanye politik, baik berupa atribut-atribut, pengerahan massa, jasa iklan, termasuk 'serangan fajar'. Dengan demikian, fenomena-fenomena seperti iming-iming proyek, mark-up anggaran dan lain-lain menjadi opsi yang umumnya ditempuh oleh para Kepala Daerah tersebut.
Melihat keadaan tersebut di atas, sangatlah mendesak untuk segera melakukan penguatan fungsi penegak hukum. Mulai dari aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai KPK harus memiliki komitmen yang kuat untuk menghukum bahkan memiskinkan para koruptor. Tidak hanya itu, seluruh institusi tersebut juga harus memiliki konsistensi dalam melaksanakan komitmennya sehingga tidak ada kesan tebang pilih atau "anget-anget tahi ayam". Komitmen dan konsistensi tersebut haruslah seimbang karena selama ini begitu banyak pihak yang mampu berkomitmen tapi ternyata tidak konsisten dalam pelaksanaannya. Inkonsistensi ini merupakan salah satu celah dalam sistem penegakan hukum di negara ini. Dengan penegakan hukum yang fully committed dan konsisten, maka apa pun sistem Pilkadanya niscaya akan memberikan outcome yang jelas dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas.