Berlanjut ke persoalan yang ketiga yaitu mentalitas aparatur/pejabat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparatur/pejabat Indonesia umumnya menggunakan prinsip aji mumpung dan pantang mundur (walaupun gagal di mana-mana). Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan mentalitas pejabat di Jepang yang akan serta merta mengundurkan diri tatkala gagal memimpin atau menjalankan tugasnya. Bicara tentang mentalitas, sangatlah luas cakupannya karena seorang Kepala Daerah tidak hanya dituntut cakap memimpin tapi juga memiliki integritas, kejujuran dan tanggung jawab. Fenomena yang ada saat ini terkesan sangat ironis dan memprihatinkan. Kalau dulu Jenderal Sudirman rela menjual perhiasan istrinya demi membiayai operasional perjuangan melawan penjajah, maka yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Kerap kali dijumpai seorang Kepala Daerah yang menjual aset atau memanfaatkan aset negara untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, orientasi seorang Kepala Daerah umumnya cenderung mengarah pada kekuasaan, ketenaran dan materi. Hampir tidak ditemui seorang Kepala Daerah yang murni bekerja untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kalaupun ada yang mirip-mirip seperti itu, umumnya hanya pencitraan sehingga outcome-nya tetaplah tidak baik. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memikirkan langkah-langkah pembentukan mentalitas aparatur/pejabat yang baik.
Sebenarnya kita memiliki nilai-nilai Pancasila yang begitu luhur, dimana nilai-nilai ketaqwaan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan telah tertata dengan baik sehingga siapa pun yang menghayati dan mengamalkan Pancasila, niscaya akan memiliki karakteristik yang kuat, berintegritas, jujur dan bertanggung jawab. Ironisnya, Pancasila (melalui PMP, Pendidikan Moral Pancasila) yang dulu menjadi pelajaran wajib mulai dari SD sampai dengan SMU telah dihapus dan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan yang esensinya kurang mengena jika dihadapkan dengan nilai-nilai luhur Pancasila tersebut. Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dulunya wajib diikuti oleh seluruh jajaran aparatur negara menjadi terpinggirkan dengan alasan identik dengan rejim Orde Baru.
Rasanya Pancasila hanya menjadi suatu cerita lama peninggalan sejarah yang cukup untuk diketahui tapi tidak perlu dihayati dan diamalkan. Makin banyak orang yang seolah alergi mendengar kata Pancasila. Alhasil, bangsa kita menjadi bangsa yang pemahaman ideologinya lemah sehingga mudah sekali disusupi pengaruh-pengaruh luar yang tidak cocok dengan jati diri bangsa kita seperti radikalisme, hedonisme, liberalisme dan sebagainya.
Mentalitas aparatur/pejabat tidak terlepas dari proses pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup. Oleh karena itu, di samping membenahi pola-pola dan kebiasaan yang selama ini kurang tepat, sangatlah penting untuk menggalakkan kembali peran ideologi Pancasila agar apa pun kebijakan, keputusan dan langkah yang ditempuh oleh para aparatur/pejabat akan senantiasa sejalan dengan cita-cita perjuangan bangsa tanpa disusupi pengaruh-pengaruh luar yang berniat mencari keuntungan dari negara kita.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah kita jawab pertanyaan pertama tentang pokok persoalan dari UU Pilkada 2014. Sangat jelas bahwa persoalannya bukan terletak pada sistem Pilkadanya, akan tetapi lebih kepada masalah Manajemen Parpol, Penegakan Hukum dan Mentalitas Aparatur/Pejabat. Tanpa adanya pembenahan yang serius di ketiga bidang tersebut, rasanya apa pun sistem Pilkada yang diterapkan di negara ini akan tetap menyisakan sejumlah persoalan yang ujung-ujungnya akan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Setelah kita memahami bahwa persoalan pokok Pilkada bukanlah pada sistemnya, melainkan pada 3 faktor yang telah diuraikan di atas, maka tentu kita akan bertanya-tanya mengapa timbul resistensi yang kuat terhadap UU Pilkada 2014? Jawaban dari pertanyaan ini boleh jadi 'tendensius' karena pada dasarnya resistensi identik dengan adanya pihak-pihak yang berkepentingan. Namun sebelumnya perlu kita cermati tentang mekanisme Pemilu sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2 yang berbunyi "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah".
Jika kita cermati dengan seksama, sangatlah jelas bahwa Pemilu yang diselenggarakan di negara ini hanya untuk memilih keempat unsur tersebut tanpa mengikutsertakan Kepala Daerah. Untuk pemilihan Kepala Daerah sendiri, UUD 1945 telah mengaturnya dalam Pasal 18 ayat 4 yang berbunyi "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Kata demokratis ini, menurut penafsiran MK bisa berarti secara langsung ataupun tidak langsung (http://news.liputan6.com/read/2110827/pandangan-mk-terkait-pilkada-melalui-dprd).
Dengan demikian, sebenarnya tak ada yang patut dipersoalkan dengan UU Pilkada 2014 ini. Apalagi sila keempat Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", mengindikasikan tentang sistem perwakilan yang bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Bahkan Bung Karno pun pernah membatalkan pelaksanaan Pemilihan Langsung karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (http://www.intriknews.com/2014/09/mahfud-md-dulu-bung-karno-cabut-undang.html?m=1).
Nah, kalau sudah begini lantas apa yang membuat sebagian masyarakat menjadi reaktif terhadap UU Pilkada 2014 ini? Di sinilah letak tendensiusnya. Di satu sisi, kita perlu mencermati parpol mana saja yang menyetujui UU ini. Di sisi lain, terlihat jelas parpol mana yang 'meradang' dengan adanya pengesahan UU ini. Dengan kata lain, persoalan resistensi ini tidak lepas dari kepentingan politik, dimana yang satu merasa diuntungkan dengan UU ini lantaran koalisinya menguasai legislatif, sementara yang satu lagi merasa terancam karena posisinya di legislatif tidak dominan walaupun memenangkan posisi eksekutif (Presiden).
Reaktifnya sebagian masyarakat, dapat dipahami pula sebagai bentuk ungkapan terusiknya 'kenyamanan' dari pihak-pihak tertentu yang selama ini merasa diuntungkan atau mendapat berkah dari pelaksanaan Pilkada Langsung. Sebut saja jasa iklan/media, penyedia atribut-atribut kandidat, jasa pengerah masa, pengamat politik sampai kepada Lembaga Survey/Quick Count. Boleh jadi pihak-pihak ini berkolaborasi dengan kubu yang kalah voting sehingga terciptalah opini publik yang mengemuka seperti saat ini.