Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lingkaran Kudeta Elite di Asia Tenggara Masa Lampau

17 Maret 2021   17:49 Diperbarui: 8 April 2022   14:37 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Soeharto beberapa saat setelah peristiwa 30 September 1965 (Koleksi National Security Archives, George Washington University)

Sampai pertengahan bulan Maret 2021, isu beberapa episode perebutan kekuasaan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara tetap mengemuka. Sejak permulaan tahun, kudeta militer di Myanmar (1 Februari 2021) dan gonjang-ganjing perebutan kursi kepemimpinan Partai Demokrat (1 Februari 2021--sekarang) terus menjadi perbincangan di dalam ruang berita dan media sosial. 

Di kala militer Myanmar mulai menyerbu berbagai gedung vital pemerintahan dan kediaman tokoh politik Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD, National League for Democracy)---partai kubu sipil Myanmar di bawah naungan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi (menjabat 2016--21), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY; Ketua Umum Partai Demokrat, 2020--sekarang) mengumumkan siaran pers di Jakarta tentang adanya upaya perebutan posisi ketua umum Partai Demokrat.

Sejak pengumuman AHY tersebut, perhatian media nasional tertuju pada berbagai tindakan, manuver, dan kegaduhan politik seputar Partai Demokrat. Permasalahan permulaannya sebenarnya cukup jelas, Partai Demokrat di dalam tubuhnya telah terbagi menjadi dua suara---orang-orang yang mendukung status quo kekuasaan kelompok Yudhoyono dan orang-orang yang tidak puas dengan perputaran kekuasaan di kalangan keluarga tersebut. 

Namun demikian, suara ketidakpuasan itu tidak berasal semata-mata dari orang-orang tak berkuasa dan tak berpengaruh, tetapi justru dari kelompok yang juga memiliki pengaruh kuat di dalam tubuh Partai Demokrat sendiri. Kubu AHY menggunakan pendirian legalitas dalam mempertahankan posisinya, sedangkan kelompok kontra---yang belakangan disebut sebagai kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang (5 Maret 2021)---menggunakan pendirian bahwa mereka kontra oligarki untuk membenarkan manuver politiknya. 

Bila kita memperhatikan dengan terang, perdebatan di media-media mengemukakan bahwa sebenarnya argumen kedua kubu tidak pernah bertemu dan tidak pula saling mematahkan. Argumen dari kelompok AHY selalu mengungkit adanya keterlibatan kekuatan luar di dalam diri Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan Indonesia, 2018--sekarang) dan legalitas KLB berdasarkan aturan kepartaian. 

Sedangkan, kelompok KLB Deli Serdang selalu mempermasalahkan realita oligarki yang tercermin di dalam konstelasi kepengurusan Partai Demokrat di bawah AHY. Secara ringkas, kedua argumen ini tidak saling menjawab---kubu AHY tidak dapat mematahkan kesan oligarki yang disematkan kepadanya dan kubu KLB Deli Serdang juga tak menunjukkan bantahan meyakinkan terhadap kesan ilegal yang dituduhkan padanya.

Namun, pertanyaan paling penting yang seharusnya diajukan oleh publik awam di tengah kegaduhan politik ini adalah apakah hasil akhir perseteruan kedua kubu akan membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat umum? Taraf pengaruh kontestasi kepemimpinan sebuah partai yang kini bahkan tidak ada di dalam lingkar kekuasaan memang tidak dapat diukur sekelas dengan pengaruh perebutan kekuasaan di tingkat negara. Namun, setidaknya kita dapat membuat analisa tentang bagaimana akhir perseteruan tersebut berpengaruh pada anggota atau kader partai itu sendiri. 

Secara sekilas, kita dapat melihat bahwa perebutan kekuasaan itu terjadi di dalam lingkaran elite. Pada satu pihak, terdapat AHY yang menjabat ketua umum dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat ketua Majelis Tinggi (MT). Sedangkan, di pihak lain, terdapat Jhoni Allen Marbun yang sempat menjadi anggota MT dan akhirnya disusul pula oleh berbagai kader senior partai seperti Max Sopacua dan Marzuki Alie---masing-masing sempat menjabat sebagai wakil ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Demokrat. Kedua kubu sama-sama merupakan representasi elite. 

Baik sejarah Indonesia maupun sejarah kawasan telah memberikan contoh bahwa perebutan kekuasaan di tingkat elite semacam itu sebenarnya tidak akan membawa banyak perubahan. Kekuasaan yang tercipta seusai tamatnya perebutan kekuasaan akan tetap sentralistik sekalipun---secara teori---para penutut perubahan selalu menjadikan revolusi sosial yang menghancurkan oligarki atau sistem sentralistik sebagai pedoman atau tujuan. Dengan demikian, baik kepemimpinan AHY maupun Moeldoko (versi KLB Deli Serdang) tampaknya tidak akan menghasilkan perubahan sistem yang berarti.

Pola kudeta dan perebutan kekuasaan di kalangan elite seperti ini sudah menjadi model yang seringkali terjadi di Asia Tenggara sejak masa pramodern. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun