Pada tanggal 11 April 2020, Majalah Tempo menerbitkan edisi terbarunya yang di dalamnya mengandung sebuah artikel tentang keris Diponegoro.Â
Pembahasan ini merupakan sebuah kelanjutan dari kabar luar biasa kedatangan keluarga kerajaan Belanda yang turut serta membawa sebuah pusaka untuk dikembalikan.Â
Pusaka yang dikembalikan tadi adalah sebuah keris milik Pangeran Diponegoro bernama "Kiai Naga Siluman". Pengembalian pusaka tersebut pada akhirnya tidak hanya membawa kegembiraan, tetapi juga rasa skeptis dan keraguan di kalangan para sejarawan dan ahli keris.Â
Untuk menjawab keraguan akan keaslian keris ini, Tempo tampaknya memilih untuk mewawancarai sejarawan Peter Carey yang merupakan otoritas utama dan ahli Diponegoro.Â
Wawancara tersebut kemudian disarikan dan diterbitkan dalam bentuk artikel berjudul "Peter Carey: Saya Percaya Kesaksian Raden Saleh". Masalah kemudian muncul ketika Tempo hendak menyebarluaskan artikel yang diproduksinya ini. Tempo, pada laman Twitter resminya, merilis sebuah tautan dengan keterangan yang berbunyi "Sejarawan Peter Carey: Pangeran Diponegoro tidak selurus itu. Dia minum wine dan gin juga ...". Hal ini kemudian menimbulkan kehebohan dan berakhir dengan banyak komentar yang menyudutkan Prof. Peter Carey.
Ketika saya membuka tautan yang dicantumkan oleh Tempo, jelas terbaca bahwa judul artikel berbunyi "Peter Carey: Saya Percaya Kesaksian Raden Saleh".Â
Dengan demikian, saya membaca dengan seksama satu per satu kata yang ditulis oleh Tempo. Saya kemudian memang menemukan keterangan yang dimaksud bahwa Prof. Carey menyinggung wine dan 'tidak lurus'nya Pangeran Diponegoro. Namun, hal ini bukan merupakan inti pembahasan.Â
Artikel tersebut jelas menarasikan bahwa selain merupakan seorang penganut Islam, Pangeran Diponegoro juga merupakan seorang penganut Kejawen yang kuat.
Dengan demikian, kata 'tidak lurus' di sini berkaitan dengan negosiasi kebudayaan di dalam diri Diponegoro untuk mendamaikan Islam dan Kejawen.Â