Sejak awal tahun 2020, masyarakat Indonesia banyak dihadapkan pada usulan-usulan peraturan baru yang dibawa oleh pemerintah dan administrator negara.Â
Artikel yang saya tulis sebelum ini misalnya dipicu oleh munculnya Rancangan Undang-undang (RUU) baru usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita. Sebelum RUU Ketahanan Keluarga tersebut muncul ke permukaan, rumor tentang RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja telah mengemuka.Â
Perancangan calon undang-undang ini banyak melibatkan pengusaha dan pemodal, namun tidak banyak menyentuh kalangan pekerja. Ketika ide RUU Omnibus tersebut dibawa ke depan umum, banyak suara yang justru meresonansikan keberatan dan ketidaksetujuan.Â
Tanggapan negatif ini berdiri pada landasan bahwa RUU tersebut sangat mungkin justru banyak merugikan golongan pekerja dan lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dan pengusaha.
Beberapa saat setelah kegaduhan ini terjadi, naskah RUU tersebut sampai ke muka publik. Banyak pakar dan aktivis yang segera melakukan penelusuran hingga sampai pada temuan-temuan yang sebelumnya telah diduga.Â
RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja tersebut dianggap cukup bermasalah dalam bidang "perlindungan terhadap pekerja".Â
Kegaduhan lanjutan ini pada akhirnya membuat saya sekali lagi merasa perlu untuk menciptakan suatu "mesin waktu" agar pemerintah Indonesia dan para administrator negara dapat mengingat kembali sejarah kita.Â
Selama lebih dari setengah tahun, saya terlibat dalam sebuah penelitian di bawah guru besar emeritus Universitas Cardiff.Â
Penelitian tersebut membahas tentang sistem kerja dan keadaan pekerja pada masa kolonial. Dengan pengetahuan awal mengenai aspek masa lampau golongan pekerja, saya dapat memperkirakan bahwa RUU kita yang baru ini akan menciptakan suatu keadaan pekerja yang tidak jauh berbeda dengan masa kolonial.Â
Sekalipun saya bukan seorang yang memiliki otoritas untuk membicarakan keadaan pekerja pada masa kini, saya dapat memberikan sumbangsih untuk memproyeksikan dan membandingkan peraturan pekerja pada masa lalu dan masa kini.
Sebenarnya, keberpihakan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja pada golongan pengusaha dan golongan modal telah dapat dibaca dari frasa yang membentuk judul RUU tersebut.Â
Golongan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan 'cipta lapangan kerja' tentu adalah golongan pengusaha. Dengan demikian, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan narasi pemerintah yang menjunjung kemudahan bagi 'penciptaan lapangan kerja'.Â
Keterlibatan golongan modal dan keterpinggiran golongan pekerja juga bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat diramalkan.Â
Golongan pekerja jelas merupakan objek pasif karena dianggap hanya berfungsi sebagai pihak yang 'terimbas' oleh penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian, mungkin kita akan terlihat terlalu banyak berharap bila mengadvokasikan kepentingan pekerja dalam sebuah RUU yang sedari awal jelas memiliki judul yang tidak berfokus pada pekerja.Â
Hal ini mungkin terlihat terlalu menegasikan maksud pemerintah. Namun demikian, penilaian saya tersebut dapat dilegitimasi oleh sejarah pembuatan peraturan kita sejak zaman kolonial.Â
Pada masa Hindia Belanda, Ordonansi Kuli (Koeli Ordonnantie) juga disusun tanpa melibatkan golongan pekerja. Berlainan dengan kenyataan itu, pemerintah kolonial melalui pamflet politiknya selalu menarasikan bahwa ordonansi tersebut bertujuan untuk melindungi pekerja.
Pada akhirnya, kita sekarang dapat membaca dengan jelas riwayat kelam para pekerja yang terimbas oleh ordonansi tersebut.Â
Dengan demikian, bukankah narasi 'perlindungan pekerja' yang dibawa oleh pemerintah kolonial tidak berbeda sama sekali dengan narasi yang dibawa oleh pemerintah Indonesia?Â
Keduanya sama-sama beralasan melindungi pekerja tanpa melibatkan mereka dalam penyusunan naskah peraturan yang akan mengikat mereka.
Ordonansi Kuli diciptakan pada mulanya untuk mengatur ketersediaan pekerja bagi perkebunan, tambang, dan pabrik yang dimiliki oleh para pemodal asing setelah dibukanya Hindia Belanda untuk penanaman modal asing pada tahun 1870.Â
Dalam penelitian Prof. Gregor Benton dan saya, ordonansi ini pada mulanya dibuat untuk mengikat pekerja perkebunan di Sumatra Timur yang didatangkan dari luar Hindia Belanda, utamanya dari Cina bagian selatan.
Pengikatan pekerja (atau yang disebut 'kuli' dalam terminologi kolonial) tersebut dilakukan melalui kontrak yang secara teoretis mengikat pihak pekerja dan pemberi kerja. Dengan demikian, seharusnya kedua belah pihak memiliki kewajiban dan akan terbeban sanksi bila gagal untuk memenuhi kewajiban itu.
Namun demikian, praktik kontrak ini menunjukkan bahwa kecerdikan para pemberi kerja atau golongan pengusaha dan 'kebodohan' (serta keadaan buta huruf) pekerja membuat kontrak tersebut banyak dicari kelemahannya sehingga hanya berlaku sanksinya bagi golongan pekerja.
Motivasi diciptakannya peraturan kolonial tersebut tidak jauh beda dengan motivasi pemerintah Indonesia pada masa kini. Pemerintah kolonial pada prioritasnya yang paling utama ingin menciptakan suatu sistem yang menjamin masuknya investasi dengan jalan memudahkan arus ketersediaan pekerja bagi perusahaan-perusahaan baru yang bermunculan.Â
Sekalipun demikian, pemerintah kolonial tidak ingin membuat sistem yang menjamin kemudahan ini terlihat tidak bermoral. Oleh sebab itu, diciptakan pula pasal-pasal yang sedikit menjamin keamanan pekerja. Hal ini dilakukan untuk menghindari kritik internasional yang pada akhir abad ke-19 sedang dalam euforia liberalisme.Â
Namun, pasal-pasal penjamin keamanan tersebut merupakan peraturan yang lemah dan penuh celah karena memang sejatinya bukan merupakan fokus utama dari pembuatan ordonansi tersebut.Â
Kini, kita juga dapat melihat bahwa pasal-pasal RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja banyak merevisi pasal Undang-udang (UU) Ketenagakerjaan yang justru lebih melindungi keamanan pekerja. Dengan demikian, bukankah kita mengalami kemunduran hingga serupa dengan peraturan pada masa kolonial?
Salah satu pasal RUU Omnibus tersebut yang cukup membuat kita terheran-heran adalah adanya aturan pembayaran gaji per jam untuk sifat pekerjaan tertentu.Â
Hal ini menurut banyak pihak akan mengancam pekerja yang absen karena sakit, melahirkan, atau dalam keadaan luar biasa lainnya. Peraturan seperti ini bukan hal baru bagi saya.Â
Peraturan nomor 138 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlansch-Indie) tahun 1889 misalnya, telah mengatur peraturan gaji per jam kerja untuk pekerja tambang di Belitung.Â
Pekerja yang tidak hadir atau tidak memenuhi jam kerja bukan saja tidak dibayar, melainkan dapat dikenai hukuman oleh polisi atau perusahaan yang bertindak atas nama polisi.Â
Peraturan semacam ini sebenarnya diperbaiki oleh pemerintah beberapa tahun setelahnya menjadikan pekerja dapat menaikkan statusnya dari pekerja yang terikat kontrak (seperti pada nomor 138 tadi) menjadi pekerja 'bebas' yang seharusnya tidak terbeban sanksi seperti sebelumnya.Â
Namun demikian, ketika seorang pekerja telah memenuhi syarat untuk membebaskan diri dari ikatan kontrak dan menjadi pekerja 'bebas', perusahaan dapat memilih untuk memberhentikannya dan mengangkat pekerja lain yang terikat kontrak. Pada akhirnya, pekerja yang seharusnya sudah dapat 'bebas' tadi diberikan pilihan untuk tetap pada kontrak atau berhenti.Â
Bukankah hal ini adalah realita yang terjadi pada masa kini di Indonesia? Pemberi kerja seringkali memperpanjang kontrak pekerja alih-alih mengangkatnya sebagai pegawai tetap.Â
Bukankah hal semacam ini tetap diakomodasi oleh RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja kita? Saya gagal untuk memahami kemajuan apa yang telah kita capai dibandingkan masa kolonial.
Usaha kita untuk memfalsifikasi gagasan kolonial pada akhirnya mewujud pada sikap pengabaian. Kita selalu memandang bahwa kolonialisme yang sering kita rujuk sebagai penjajahan adalah hal yang buruk dan semua praktik penjajah adalah buruk.Â
Namun demikian, tanpa ada kesadaran untuk mempelajari dengan benar mengenai hal-hal yang telah mereka lakukan, kita akan dihukum sejarah untuk mengulang praktik-praktik yang sama. Â
Pada satu sisi, saya memuji bahwa konsep omnibus berusaha mengurai peraturan yang bertumpang tindih. Namun demikian, bila peraturan perundang-undangan digunakan sebagai alat pelancar investasi, kita tidak akan berbeda dengan Hindia Belanda pada tahun 1870.Â
Parlemen Kerajaan Belanda di Eropa dengan bersemangat menggelorakan aspirasi untuk membuka Kepulauan Indonesia kepada penanaman modal asing. Pada masa itu, berbagai peraturan dibuat untuk meregulasikan dan mendukung usaha itu.Â
Pihak yang paling terdampak dan yang sama sekali tidak dilibatkan pada penyusunan peraturan-peraturan itu adalah golongan 'pekerja'. Tidakkah kita pada masa kini boleh merasa bahwa pola yang sama telah berulang?
 Saya cukup merasa takut pada implementasi yang mungkin terjadi. Ordonansi Kuli yang diciptakan dengan pola dan tujuan yang sama dengan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja tadi telah memperkuat kaum pengusaha pada masa kolonial hingga tingkat yang mengkhawatirkan.Â
Dalam penelitian Prof. Benton, para pengusaha dapat bertindak secara polisionil karena memiliki dasar kontrak.
Selain itu, pekerja yang bersifat tidak tetap pada akhirnya juga sangat mudah dimanipulasi. Apakah masa depan semacam ini yang akan terjadi?Â
Ketika membayangkan kemungkinan yang terjadi, saya teringat pada tulisan De Kat Angelino yang kritis terhadap penciptaan Ordonansi Kuli bahwa sekalipun kemajuan ekonomi sangat penting, namun 'kepentingan kaum modal tidak boleh diberi kekuatan pelicin dari peraturan negara'.
Daftar Sumber
- Angelino, A. D. A. de Kat. 1931. Colonial Policy. Den Haag: Martinus Nijhoff.
- Booth, Anne. 2007. Colonial Legacies. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Breman, Jan. 1989. Taming the Coolie Beast: Plantation Society and the Colonial Order in Southeast Asia. London: Oxford University Press.
- Brown, Ian. 1997. Economic Change in Southeast Asia c. 1830---1980. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- Vandenbosch, Amry. 1931. "Colonial Labor Problem: The Labor Contract with Penal Sanction in the Dutch East Indies". Pacific Affair No. 4, pp. 318---324.
- Vlekke, Bernard H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Kini menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H