Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sistem Kuli Kolonial yang Dibangkitkan Pemerintah Indonesia

4 Maret 2020   01:08 Diperbarui: 12 April 2022   11:10 4443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun demikian, praktik kontrak ini menunjukkan bahwa kecerdikan para pemberi kerja atau golongan pengusaha dan 'kebodohan' (serta keadaan buta huruf) pekerja membuat kontrak tersebut banyak dicari kelemahannya sehingga hanya berlaku sanksinya bagi golongan pekerja.

Motivasi diciptakannya peraturan kolonial tersebut tidak jauh beda dengan motivasi pemerintah Indonesia pada masa kini. Pemerintah kolonial pada prioritasnya yang paling utama ingin menciptakan suatu sistem yang menjamin masuknya investasi dengan jalan memudahkan arus ketersediaan pekerja bagi perusahaan-perusahaan baru yang bermunculan. 

Sekalipun demikian, pemerintah kolonial tidak ingin membuat sistem yang menjamin kemudahan ini terlihat tidak bermoral. Oleh sebab itu, diciptakan pula pasal-pasal yang sedikit menjamin keamanan pekerja. Hal ini dilakukan untuk menghindari kritik internasional yang pada akhir abad ke-19 sedang dalam euforia liberalisme. 

Namun, pasal-pasal penjamin keamanan tersebut merupakan peraturan yang lemah dan penuh celah karena memang sejatinya bukan merupakan fokus utama dari pembuatan ordonansi tersebut. 

Kini, kita juga dapat melihat bahwa pasal-pasal RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja banyak merevisi pasal Undang-udang (UU) Ketenagakerjaan yang justru lebih melindungi keamanan pekerja. Dengan demikian, bukankah kita mengalami kemunduran hingga serupa dengan peraturan pada masa kolonial?

Salah satu pasal RUU Omnibus tersebut yang cukup membuat kita terheran-heran adalah adanya aturan pembayaran gaji per jam untuk sifat pekerjaan tertentu. 

Hal ini menurut banyak pihak akan mengancam pekerja yang absen karena sakit, melahirkan, atau dalam keadaan luar biasa lainnya. Peraturan seperti ini bukan hal baru bagi saya. 

Peraturan nomor 138 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlansch-Indie) tahun 1889 misalnya, telah mengatur peraturan gaji per jam kerja untuk pekerja tambang di Belitung. 

Pekerja yang tidak hadir atau tidak memenuhi jam kerja bukan saja tidak dibayar, melainkan dapat dikenai hukuman oleh polisi atau perusahaan yang bertindak atas nama polisi. 

Peraturan semacam ini sebenarnya diperbaiki oleh pemerintah beberapa tahun setelahnya menjadikan pekerja dapat menaikkan statusnya dari pekerja yang terikat kontrak (seperti pada nomor 138 tadi) menjadi pekerja 'bebas' yang seharusnya tidak terbeban sanksi seperti sebelumnya. 

Namun demikian, ketika seorang pekerja telah memenuhi syarat untuk membebaskan diri dari ikatan kontrak dan menjadi pekerja 'bebas', perusahaan dapat memilih untuk memberhentikannya dan mengangkat pekerja lain yang terikat kontrak. Pada akhirnya, pekerja yang seharusnya sudah dapat 'bebas' tadi diberikan pilihan untuk tetap pada kontrak atau berhenti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun