Sebenarnya, keberpihakan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja pada golongan pengusaha dan golongan modal telah dapat dibaca dari frasa yang membentuk judul RUU tersebut.Â
Golongan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan 'cipta lapangan kerja' tentu adalah golongan pengusaha. Dengan demikian, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan narasi pemerintah yang menjunjung kemudahan bagi 'penciptaan lapangan kerja'.Â
Keterlibatan golongan modal dan keterpinggiran golongan pekerja juga bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat diramalkan.Â
Golongan pekerja jelas merupakan objek pasif karena dianggap hanya berfungsi sebagai pihak yang 'terimbas' oleh penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian, mungkin kita akan terlihat terlalu banyak berharap bila mengadvokasikan kepentingan pekerja dalam sebuah RUU yang sedari awal jelas memiliki judul yang tidak berfokus pada pekerja.Â
Hal ini mungkin terlihat terlalu menegasikan maksud pemerintah. Namun demikian, penilaian saya tersebut dapat dilegitimasi oleh sejarah pembuatan peraturan kita sejak zaman kolonial.Â
Pada masa Hindia Belanda, Ordonansi Kuli (Koeli Ordonnantie) juga disusun tanpa melibatkan golongan pekerja. Berlainan dengan kenyataan itu, pemerintah kolonial melalui pamflet politiknya selalu menarasikan bahwa ordonansi tersebut bertujuan untuk melindungi pekerja.
Pada akhirnya, kita sekarang dapat membaca dengan jelas riwayat kelam para pekerja yang terimbas oleh ordonansi tersebut.Â
Dengan demikian, bukankah narasi 'perlindungan pekerja' yang dibawa oleh pemerintah kolonial tidak berbeda sama sekali dengan narasi yang dibawa oleh pemerintah Indonesia?Â
Keduanya sama-sama beralasan melindungi pekerja tanpa melibatkan mereka dalam penyusunan naskah peraturan yang akan mengikat mereka.
Ordonansi Kuli diciptakan pada mulanya untuk mengatur ketersediaan pekerja bagi perkebunan, tambang, dan pabrik yang dimiliki oleh para pemodal asing setelah dibukanya Hindia Belanda untuk penanaman modal asing pada tahun 1870.Â
Dalam penelitian Prof. Gregor Benton dan saya, ordonansi ini pada mulanya dibuat untuk mengikat pekerja perkebunan di Sumatra Timur yang didatangkan dari luar Hindia Belanda, utamanya dari Cina bagian selatan.
Pengikatan pekerja (atau yang disebut 'kuli' dalam terminologi kolonial) tersebut dilakukan melalui kontrak yang secara teoretis mengikat pihak pekerja dan pemberi kerja. Dengan demikian, seharusnya kedua belah pihak memiliki kewajiban dan akan terbeban sanksi bila gagal untuk memenuhi kewajiban itu.