Fantasi tersebut memang merupakan suatu keadaan yang ideal dan nyaman. Namun demikian, dalam setiap penelitian lapangan yang saya lakukan di Pulau Jawa saja, tidak banyak rumah yang sesuai dengan standar tersebut.
Setelah undang-udang ini berlaku, sebagian besar keluarga di Pulau Jawa akan menjadi subjek hukum yang melanggar undang-undang. Penjelasan ini adalah salah satu contoh yang paling halus dari pemberlakuan undang-undang tersebut.
Contoh subjek yang melanggar undang-undang ini masih dapat dilengkapi dengan pasangan mandul yang menggunakan metode rekayasa reproduksi, golongan homoseks, perempuan pekerja, hingga suami istri yang kurang mencintai satu sama lain.
Dalam pengandaian yang ekstrem, beberapa saat setelah undang-undang tersebut diberlakukan, negeri ini akan terlibat dalam suatu ajang 'pemersihan moral' dan 'perburuan' terhadap orang-orang yang dianggap tidak memenuhi kaidah moral dalam Undang-undang Ketahanan Keluarga.
Bayangan itu membawa saya untuk mengingat kembali monograf yang baru saja selesai saya tulis. Pada akhir 2019, saya selesai menulis monograf mengenai masa pemerintahan gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer.
Oleh sebab itu, dengan mencuatnya isu RUU Ketahanan Keluarga, saya kembali teringat pada satu insiden 'pembersihan moral' yang terjadi di Hindia Belanda pada tahun 1938.
Insiden tersebut bermula pada Oktober 1936 dengan sebuah artikel pendek mengenai peningkatan perilaku homoseksual yang menyasar anak di bawah umur dalam majalah De Ochtenpost.
Artikel ini segera direspons secara serius oleh partai konservatif Kristen, Christelijke Staatskundige Partij (CSP). CSP melayangkan protes keras kepada Gubernur Jenderal Tjarda untuk segera menekan perilaku yang dianggap 'memalukan' tersebut.
Pada masa itu, keadaan Hindia Belanda sedang dalam kekacauan usai depresi ekonomi yang melanda dunia sejak 1929. Gubernur jenderal pada mulanya mengesampingkan permasalahan ini untuk lebih berfokus pada prioritas pembangunan kembali pascaperang. Namun demikian, tekanan populis membawa kembali permasalahan ini ke atas meja gubernur jenderal pada tahun 1938.
Dengan pertautan antara tekanan populis dan pertimbangan wajah pemerintah kolonial, pemerintah pada akhirnya mendengarkan protes ini dan melaksanakan sebuah operasi polisi yang disebut sebagai operasi 'pembersihan moral' atau zedenschoonmaak.
Polisi dipersilakan untuk menangkap siapa saja yang terlibat dalam aktivitas homoseksual dengan anak di bawah umur. Banyak tersangka yang ditangkap merupakan orang-orang Belanda yang memiliki pangkat tinggi dan nama baik. Mereka kemudian dihukum denda hingga penjara ringan.