Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pintu Harmonika Pengaman Tionghoa

10 Agustus 2019   16:56 Diperbarui: 18 April 2022   21:27 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petjinan Koelon te Soerabaja (G. Furukawa, circa 1925) - Koleksi Universiteit Leiden

Ketika beberapa daerah di Pulau Jawa mengalami mati listrik pada 4 Agustus 2019, saya sedang mengadakan pengamatan di sejumlah wilayah Pecinan Jakarta. Wilayah Pecinan sesungguhnya telah sejak lama menjadi penyangga ekonomi utama suatu kota. Bila kita menelusuri arsip dan catatan perjalanan masa lalu, wilayah permukiman orang-orang Cina telah menjadi pusat ekonomi sejak abad kedelapan. Tren semacam ini terus berlanjut hingga hari ini.

Kondisi mati listrik yang dimulai pada siang hari memang nampaknya tidak menghentikan kegiatan ramai di berbagai wilayah Pecinan Jakarta. Namun, kondisi ini mulai sangat mengganggu ketika matahari terbenam. Penerangan yang mati menyebabkan kepanikan dan paranoia menghantui jalan-jalan yang dipenuhi deretan toko-toko.

Sekalipun dalam gelap, saya tetap melaksanakan pengamatan hingga malam hari. Terdapat satu hal menarik yang terlihat di setiap wilayah Pecinan. Semua toko-toko pada wilayah ini pasti ditutup oleh pintu besi, baik yang berbentuk harmonika maupun pintu gulung. Hal ini mengingatkan kita pada perubahan bertahap pengamanan toko dari masa lalu hingga masa kini.

Wilayah Pecinan adalah wilayah yang sangat rawan menjadi sasaran amuk massa. Hal ini dapat dimengerti menyoal kedudukan etnis Cina, atau dalam ranah kebahasaan Indonesia disebut Tionghoa, yang menempati posisi golongan perantara sejak masa kolonial. Kenyataan bahwa toko-toko tersebut ditutup rapat oleh pintu besi menimbulkan kegelisahan akademik terhadap aspek kesejarahan yang menyertainya.

Dalam arsip-arsip kolonial, wilayah Pecinan ditampilkan sebagai rentetan pertokoan yang ditutup oleh papan-papan kayu. Hal ini sama sekali berbeda dengan kenyataan masa kini. Perubahan ini erat kaitannya dengan konstruksi sosial yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda.

Kelompok penguasa Eropa tadi pada mulanya memang sengaja membuat pengelompokan masyarakat berdasarkan etnis untuk memudahkan pengaturan. Segregasi semacam ini sesungguhnya juga mengindikasikan pembedaan fungsi dan peran yang dibebankan pada masing-masing etnis. Orang-orang Cina misalnya, difungsikan sebagai agen perdagangan eceran yang menjual barang-barang ke penduduk bukan Eropa. Dengan demikian, sesungguhnya bangsa Eropa di kota-kota metropolitan tidak pernah berdagang secara langsung dengan kelompok etnis lain. Posisi untuk menyambungkan rantai ekonomi itu dibebankan pada orang-orang Cina.

Dalam aspek ekonomi, hal ini tentu menguntungkan orang-orang Cina. Namun, hal ini membebani eksistensi mereka secara sosial kemasyarakatan. Dalam beberapa keadaan, orang-orang Cina dianggap sebagai wakil langsung dari tekanan bangsa Eropa. Kebencian yang ditujukan pada mereka disebabkan baik oleh kedudukan mereka yang istimewa maupun kekayaan yang mereka hasilkan. Kesan eksklusif yang tersemat pada kelompok orang Cina dikonstruksikan secara lebih kuat dengan kebijakan permukiman kolonial.

Para penguasa Eropa mengatur dengan ketat bahwa orang-orang Cina harus bertempat tinggal di wilayah yang telah mereka tentukan. Untuk mengamankan kebijakannya, penguasa Eropa memberlakukan dua sistem utama, yaitu passenstelsel atau sistem kartu pas jalan dan wijkenstelsel atau sistem desa tersegregasi. Dengan dua sistem itu, seseorang harus membayar untuk keluar dan masuk suatu wilayah permukiman yang telah dikelompokkan pemerintah.

Seluruh rangkaian kebijakan kolonial dan pelaksanaannya melengkapi label yang menyatakan bahwa orang-orang Cina adalah orang yang eksklusif dan tidak menjadi bagian dari masyarakat bumiputra. Hal ini sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Banyak dari orang-orang Cina sesungguhnya telah mengalami asimilasi yang hebat sehingga telah meninggalkan ciri kebudayaan dari negeri asalnya. Namun, ciri fisik tentu tidak dapat mengelabuhi mata para penguasa kolonial. Mereka yang telah berasimilasi tetap harus patuh pada aturan kolonial dan hidup di wilayah yang ditentukan. Demikianlah kehidupan tersegregasi masyarakat dibangun di kota-kota kolonial.

Setelah lebih dari dua abad, pola permukiman tersegregasi itu menjadi mapan. Masyarakat Cina, baik Peranakan maupun Totok, pada akhirnya tetap menempati tempat-tempat yang ditentukan pada masa kolonial itu. Tempat-tempat permukiman inilah yang pada masa kini dikenal sebagai Pecinan. Setiap kota metropolitan pasti memiliki Pecinan kota yang menjadi pusat ekonomi, umumnya perdagangan.

Sepanjang masa kongsi dagang Eropa hingga masa kolonial, satu-satunya kericuhan yang cukup besar untuk mengagetkan orang-orang Cina adalah kerusuhan Cina di Batavia pada masa VOC. Setelah itu, kehidupan sosial orang Cina cenderung stabil dan tidak menjadi sasaran serangan kelompok lain. Hal ini menyebabkan sistem pengamanan Pecinan tidak banyak mengalami perubahan selama masa kolonial. Penutup kayu dirasa cukup untuk mengamankan barang dagangan.

Kondisi ini langsung berubah setelah kemerdekaan. Label bahwa orang-orang Cina merupakan wakil langsung para penguasa Eropa menimbulkan stigma negatif yang menyulitkan kehidupan sosial mereka. Stigma yang mapan sejak abad ketujuh belas itu terkadang menyingkirkan peran mereka dalam pergerakan kebangsaan, pers nasionalis, pembentukan bahasa Indonesia, dan bidang lainnya.

Setelah proklamasi, setidaknya Pecinan-pecinan dijadikan sasaran amuk massa sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1948, 1965, 1974, dan 1998. Sebagian disebabkan oleh kericuhan ideologis, namun yang terbanyak adalah krisis ekonomi. Jatuhnya kemapanan keamanan ini membuat orang-orang Cina mengubah sistem pengamanan mereka. Pintu harmonika dipasang di sepanjang jalan Mangga Besar sejak dekade 1980. Pada wilayah Glodok dan Mangga Dua, perubahan ini telah dimulai pada permulaan dekade 1970. Ingatan yang memaksa masyarakat Cina mengubah sistem keamanan mereka adalah peristiwa kerusuhan 1965.

Pecinan-pecinan di kota lain juga memasang pintu-pintu besi mereka pada dekade yang sama. Mulai wilayah Pecinan Bandung hingga Surabaya, pintu-pintu besi mulai bermunculan sejak 1970 hingga 1990. Kemunculan ini sesungguhnya menandakan trauma dan perwujudan ketakutan. Namun demikian, hal ini semakin lama semakin dianggap umum. Pada akhirnya, tren pemasangan pintu besi ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Cina, namun oleh masyarakat umum.

Melalui episode perubahan bertahap itu, kita dapat melihat bahwa perubahan bentuk dan bahan pintu bukan sekadar perubahan arsitektur. Ingatan dan pengalaman kesejarahan turut andil dalam perubahan-perubahan fisik yang nampak sangat jauh kaitannya dengan ilmu sejarah. Aspek kesejarahan pintu-pintu besi di Pecinan dapat mengisahkan memori mengenai kebijakan kolonial, segregasi permukiman, hingga konflik-konflik etnis di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara.

Dengan demikian, topik penelitian kesejarahan sesungguhnya dapat pula dimulai dari objek mati pintu-pintu besi. Melalui kenyataan ini, muncul pertanyaan mengenai apakah akan terjadi perubahan sistem keamanan yang lebih hebat lagi? Bila hal itu terwujud, memori apa yang membentuk perubahan itu? Itu akan menjadi kerja dari sejarawan masa depan.

Daftar Sumber

Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia.

Noordjanah, Andarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1910-1946. Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah.

Ong, Hok Ham. 2017. Migrasi Tionghoa, Kapitalisme Tionghoa, dan Anti Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Suryadinata, Leo. 1997. The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times.

Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.

Suryadinata, Leo. 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Turner, Sarah dan Pamela Allen. 2007. Chinese Indonesians in a Rapidly Changing Nation: Pressures of Ethnicity and Identity. Wellington: Victoria University.

Vlekke, Bernard M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun