Telah menjadi pengetahuan umum bahwa dunia tata busana selalu dihadapkan pada garis tren yang siklis. Sebuah model pakaian yang menjadi tren pada abad ke-19 dapat saja muncul kembali ke permukaan setelah dua abad.Â
Tren bahan jin (jeans) yang kini digunakan pada celana, jaket, dan pelengkap busana lainnya telah menjadi sangat terkenal pada masa Revolusi Industri. Dengan demikian, bahan ini kembali muncul ke permukaan setelah tiga abad. Menyaksikan siklus tren mode yang hampir selalu kembali terulang, sejarah dan ilmu mode adalah dua ilmu yang beraliansi dengan sangat erat.Â
Hubungan kedua ilmu tidak berlangsung secara satu arah, namun saling melengkapi dan dapat saling memberikan inspirasi. Tidak saja ilmu mode yang dapat membuat produk dari informasi yang diperolehnya dari sejarah, namun sejarah dapat menciptakan refleksi atas tren mode yang sedang dan pernah berlangsung.
Sejarah wilayah Asia Tenggara pada abad ke-15 memunculkan tren busana yang memiliki beberapa kemiripan ciri dengan tren pada masa kini. Sumber sejarah yang memberikan banyak informasi mengenai kebudayaan fisik manusia Asia Tenggara umumnya diperoleh dari catatan perjalanan orang-orang asing yang singgah ke negeri-negeri bawah angin ini.Â
Dari sekian banyak catatan perjalanan, dapat dilihat bahwa terdapat dua macam kecenderungan penyampaian para penulis. Pada satu sisi, terdapat penulis yang menceritakan catatan mereka secara mendetail, namun terbatas pada interaksi dan kegiatan ekonomi mereka di negeri-negeri ini.Â
Sedangkan, terdapat pula penulis yang selain berfokus untuk mencatat kegiatan ekonomi, juga berfokus untuk mencatat penggambaran fisik kebudayaan yang mereka lihat. Kelompok pedagang dari India, Cina, dan Asia Barat masuk pada kelompok yang pertama. Sedangkan orang-orang Eropa justru masuk pada kelompok yang kedua.
Orang-orang Asia telah sejak lama berhubungan dengan negeri-negeri Asia Tenggara sehingga tidak begitu terkesima dengan kebudayaan fisik masyarakat di sana. Namun, kebudayaan fisik masyarakat Asia Tenggara adalah hal baru yang sangat mengajaibkan bagi orang-orang Eropa.Â
Beberapa dari mereka memandang itu dengan takjub --seperti para pedagang Prancis, dan beberapa dari mereka memandangnya secara ngeri. Jelasnya, mereka disuguhkan dengan "keajaiban" Asia Tenggara, mulai dari istana penuh emas Sultan Aceh hingga jazirah penuh rempah milik raja-raja di Maluku. Salah satu yang menjadi pokok perhatian para pengelana Eropa adalah ciri pakaian masyarakat Asia Tenggara.
Dalam catatan orang-orang Prancis yang mencapai Sumatra pada akhir abad ke-15, pria dan wanita di daerah ini tidak membedakan model pakaian yang mereka kenakan. Bentuk pakaian itu terdiri dari kain yang dililitkan hingga pinggang dan perhiasan emas --yang paling umum berupa kalung.Â
Pakaian bagian atas tubuh yang dijahit dan berlengan baru masuk ke Sumatra pada abad ke-16 dan 17, setelah baju model ini mulai diproduksi di Asia Tenggara bagian daratan. Satu hal yang paling mencengangkan orang Eropa pada masa itu adalah ketiadaan perbedaan model pakaian antara golongan elite dan golongan rakyat biasa.Â