Mohon tunggu...
reinhart tito
reinhart tito Mohon Tunggu... -

Minerva flies higher. ‘Minerva terbang tinggi mengangkat tubuh SINTESA-nya dengan kedua belah kepak sayapnya; TESIS dan ANTITESIS. Menjadi Minerva berarti menjadi anak zaman, dan, berpikir dengan langgam Minerva melambungkan diri meninggalkan dunia SEBAB AKIBAT dibawahnya.’ Tito

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mitos Tentang Tuhan

11 Agustus 2010   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian Manusia hidup berkelindan dengan Mitos. Namun mereka tak menyadarinya. Mitos itu, karena ia eksis sebagai sebuah Realita yang menudungi keseharian kehidupan, sebagai sesuatu yang terlibat demikian intim didalam Biografi sejarah kehidupan seseorang, sebagai sesuatu yang sangat personal dan privat, dan lebih dari itu, ia bahkan dapat disentuh serta diakses oleh inderawinya dalam wujud yang sangat nyata didunia ini, maka, pada akhirnya, Mitos menyatu didalam penalaran hampir tanpa hambatan, terjadi begitu saja, berlaku otomatis dan sedikitpun tiada memberikan keraguan.

Fragmen dari rampaiankisah tentang gergasi berwajah sepuluh, kera sakti, kuda sembrani, malaikat bersayap sampai kepada laut yang terbelah oleh pecutan sebilah tongkat menjadi sederetan kenyataan yang terhampar dialam Kesadaran Manusia, karena, seantero hikayat itu telah menjadi konkrit didalam kehidupan Sosial umat Manusia. Abstraksi yang menyelimuti sekujur anatomi Mitos, yang kaya didalam corak maupun ragamnya, tatkala menjelma menjadi aneka properti, dalam wujud arsitektur rumah pemujaan, tulisan yang indah, lagu pujian, kakawin, kanon, perangkat ritual sampai kepada perjalanan napak tilas, tak pelak lagi, mematrikannya menjadi REALITA nyata didalam kehidupan, karena ia, sekalian fenomena itu, dapat disentuh serta diakses oleh inderawi Manusia. Mitos yang yang nun jauh tak terjangkau, karena ia mistis serta metafisis, ternyata, ketika terpapar didunia Sosial Manusia untuk menjadi objek konkrit yang hadir didalam ruang serta waktu mereka, sungguh tak terelak-kan, ia menjadi nyata.

Mitos, tak perduli seberapapun abstrak dan mistisnya ia, ternyata adalah seperangkat properti yang dibentuk dengan tujuan agar dapat dipahami oleh pikiran Manusia. IA ADALAH HASIL BUDAYA. Perangkat properti yang membangun sebuah Mitos, selain mewujud sebagai sebuah objek Materil yang dapat disentuh oleh inderawi Manusia, ternyata juga mengandungi pelbagai LEGITIMASI yang bertindak sebagai perangkat proporsinya. Dan justru Legitimasi didalam sederetan aturan inilah yang menjadi MAKNA dari sebuah Mitos, yang pada giliran selanjutnya, diserap oleh pikiran Manusia. Proses penyerapan Makna ini, tak pelak lagi, mengubah Mitos yang tadinya adalah milik Komunitas untuk kemudian menjelma menjadi milik pribadi yang paling intim serta paling hakiki. Dengan demikian, Mitos menjadi nyata didalam kehidupan karena ia merasuk kedalam alam Kesadaran Manusia. Penalaran yang dibangun oleh Manusia keatas kehidupannya, sesungguhnya, sangatlah tergantung dari asupan ‘gizi’ yang memenuhi ruang pikirannya, dan dari situlah kemudian segenap kenyataan menjelma. Mitos memainkan peran yang sangat kuat didalam alam pikiran sebagian Manusia akibat dari keterlibatannya yang sangat intens didalam membentuk Struktur Penalaran mereka keatas kehidupannya. Dan, Struktur Penalaran inilah yang menciptakan ‘dunia’ seseorang.

Ketika Budaya Manusia berhasil melegitimasi Mitos maka lahirlah Agama. Sebagai konsekuensinya, segenap ornamen yang hadir didalam Agama itu, mau tidak mau, menjadi sekumpulan Objek yang Termitologis. Demikian pulalah halnya tentang Tuhan. Situasi ini sungguh tak terelakkan karena sebagai sebuah hasil Budaya, AGAMA ADALAH MITOS YANG DILEGITIMASI. Didalam keseharian kehidupan kita, Tuhan yang disembah oleh Manusia pada hari ini adalah sebuah Objek yang muncul setelah melalui suatu proses Sosio-Historis didalam sejarah kehidupan yang sangat panjang. Tuhan Agama adalah Objek yang dihasilkan dari suatu proses DAUR ULANG disepanjang rentang sejarah kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, ‘Dia’ adalah sesuatu yang diciptakan serta diolah didalam periuk peradaban dunia pada suatu periode tertentu. Tuhan Agama tiadalah menjelma secara tiba tiba. Tuhan Agama tiada jua turun dari langit begitu saja sebagaimana Ia dimitoskan. Tuhan Agama adalah Tuhan yang dihasilkan oleh Budaya Manusia. Itulah satu satunya alasan mengapa seolah-olah Tuhan itu menjadi HIDUP. Tuhan menjadi demikian hidup pada seantero episod kehidupan umatNya karena Ia sangat lekat pada setiap budaya yang menalariNya, Dia senantiasa terlibat didalam setiap peristiwa pada biografi hidup insan yang menyembahNya, Dia menjadi Realita bagi para pemujaNya karena Mitos tentangNya berkelindan didalam keseharian mereka hampir tanpa jeda. Kesemua hal yang telah disebutkan tadi, hampir tak dapat disangkal lagi, adalah Roh juga nafas bagi menghidupkan Tuhan didalam kehidupan umatNya. Tuhan menjadi hidup karena Ia terlibat secara penuh didalam segenap kehidupan yang mampu diakses serta dijamah oleh umatNya yang pada dasarnya memang hidup. Tuhan Agama hidup karena Ia dihidupkan oleh Manusia yang hidup. Manusia yang hidup menghidupkan Tuhannya dengan Struktur Penalarannya.

Struktur Penalaran Manusia yang hidup-lah yang paling bertanggung jawab didalam mempertahankan keberadaan Tuhan Agama didunia ini. Tuhan Agama menjadi KEKAL bukanlah karena karakter Adikodratinya yang Supra membuatnya abadi, namun, kekekalan itu dituai oleh Tuhan Agama sebagai akibat dari LEGITIMASI yang tertancap didalam Struktur Penalaran para umat yang menyembahNya. Tanpa itu maka Tuhan Agama musnah. Disepanjang sejarah kehidupan umat Manusia didunia ini, telah berulangkali disaksikan episod ‘matinya Tuhan Agama’’ akibat pupusnya dukungan serta sokongan dari Struktur Penalaran umat Manusia yang menyembahNya. Tatkala para penyokong Tuhan Agama itu dikalahkan didalam sebuah peperangan, katakanlah demikian, dan keseluruhan dari mereka dipaksa untuk meninggalkan TuhanNya demi beralih kepada Tuhan yang baru maka dengan sendirinya Tuhan Agama yang lama mati sudah. Demikianlah dapat kita saksikan lenyapnya Tuhan Bangsa Mesir Kuno, Tuhan Bangsa Mesopotamia dan juga Tuhan Bangsa Maya. Padahal, sekalian Tuhan itu, bila kita jujur untuk mengakuinya, tiadalah berbeda dengan Tuhan Agama Samawi yang disembah pada zaman ini karena kekhasannya yang sama didalam karakter, yaitu sebagai SUPREME BEING. Seantero fenomena sejarah tersebut semata menandaskan satu hal kepada kita bahwa, sebagai sebuah HASIL BUDAYA, Tuhan Agama sangatlah tergantung dari Struktur Penalaran Manusia yang dipengaruhi oleh Budaya terkait. APABILA PERADABAN YANG MENDUKUNG AGAMA ITU RUNTUH MAKA HILANG LENYAPLAH TUHAN AGAMA ITU.

Manakala Manusia mencari-cari TuhanNya, sesungguhnya ia mencari solusi bagi dirinya sendiri yang gelisah. Ia meneliti serta menelisik setiap sudut ketempat dimana disangkanya Tuhan berada hanya supaya dunia yang dianggapnya asing serta kejam ini segera enyah dari hadapannya. Itulah sebabnya, Tuhan yang dijumpainya, haruslah lebih kuat dari topan, berkuasa keatas angin dan mampu menghela matahari. Dia lalu berlindung dibalik naunganNya. Hanya saja, karena ia adalah mahluk yang pelupa, maka, ia perlu pengingat. Dan, sebagaimana sebuah ingatan, agar ia dapat berlaku kekal, membutuhkan sebuah ancaman. Sebuah Legitimasi. Malangnya Manusia, mengapakah dengan cara demikian ia mengekalkan ingatannya akan Tuhannya?

Yours,

Tito

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun