Mohon tunggu...
Reinhard S
Reinhard S Mohon Tunggu... wiraswasta -

Positive thinker. Social Economy of Agriculture student in Padjadjaran University.. Banyak yang harus kita pelajari, dengarkan dan renungkan. Long life education..

Selanjutnya

Tutup

Money

Giving A New Life (Sebuah Harapan)

5 Juni 2011   22:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Semakin hari dunia ini menuntut sesuatu yang baru. Kerangka berpikir manusia dituntut untuk lebih kreatif dalam menterjemahkan segala sesuatu yang menyangkut hak hidup orang banyak. Dewasa ini, orang yang lemah lebih sering didominasi orang yang kuat. Bila kita berjalan ke pelosok desa, terlihat dengan jelas kemiskinan yang masih menghiasi kehidupan masyarakat kita. Kemiskinan struktural dan didukung kemiskinan cultural berjalan beriringan dalam setiap hari kehidupan masyarakat kita. Keinginan besar untuk mau keluar dari kemiskinan seringkali mematahkan semangat dan motivasi mereka untuk tidak menyerah pada keadaan. Pepatah lama berkata, yang kuat yang mampu bertahan, secara gamblang masih sering kita jumpai. Untuk bertahan hidup dari keadaan yang kronis, tentu sangatlah sulit. Kupu-kupu tak akan mampu terbang sangat tinggi ke awan seperti rajawali yang dengan kekuatan sayapnya mampu terbang bermil-mil jauhnya dan puluhan atau bahkan ratusan meter tingginya. Rajawali itu mampu karena punya sayap yang kuat.

Ketidakadilan selalu terlihat dan terasa dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dan secara sadar atau tidak sadar sudah membentuk pola pikir kita ke arah yang kurang tepat, bahkan cenderung konyol dan tidak baik. Orang yang kaya atau orang yang kuat atau orang yang punya kuasa, di negri inimudah untuk bisa bertahan hidup. Mudah saja untuk mengalirkan uang negara ke kantong pribadi dan sangatlah mudah juga untuk menyingkirkan orang kecil yang menuntut idealisme, sebagaimana dia berhak untuk hidup di muka bumi ini. Dahulu pejuang mengajarkan kita nilai hidup yang sangat berarti dan sangat berdampak bagi kita saat ini. Pejuang kemerdekaan mengorbankan segalanya untuk sebuah kebebasan untuk berbangsa dan bernegara di negri ini. Tidak sedikit diantara beliau yang harus memberikan hidupnya untuk berjuang bagi bangsanya, bahkan harus wafat sebagai orang yang tak dikenal siapa-siapa di medan juang hanya untuk sebuah Kemerdekaan yang memang patut diperjuangkan. Harkat dan mertabat sebagai suatu bangsa dan negara yang utuh diletakkan diatas oleh mereka. Tanah yang sudah merdeka ini adalah milik kita semua secara utuh.

Tapi apa yang terjadi dengan orang-orang kecil di negri kita ini, bisakah mereka hidup semudah orang yang punya kuasa dibangsa ini ?Apa yang harus dilakukan mereka untuk mendapatkan sesuap nasi bagi anak-anak mereka ? Apa karena mereka bodoh, makanya mereka selalu merasa sulit untuk keluar dari kemisikinannya ? Ataukah karena mereka tidak berusaha sekeras orang-orang yang saat ini punya kuasa dan kedudukan ? Terlalu dangkal kalau kita memposisikan mereka lebih rendah dari kita. Terlalu berlebihan juga kalau sepenuhnya kita menyalahkan orang-orang kecil tersebut yang tidak berusaha sekeras orang-orang yang berkuasa sehingga mereka tidak keluar dari kemiskinan dan ketidak berdayaan mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau mayoritas penduduk Indonesia adalah bermata pencaharian sebagai petani. Sebahagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada dunia pertanian. Potret petani di Indonesia masih jauh dari sebutan makmur. Maka tak heran bila Indonesia pun, masih jauh dari sebutan makmur untuk kemampuan ekonominya. Sensus pertanian 2003, sebenarnya sungguh menggambarkan bagaimana sebenarnya wajah petani di negri ini. Persentase petani gurem ( yang menguasai dan mengusahakan lahan kurang dari 0,5 ha) terus bertambah. Tepatnya dari 10,8 juta KK (52,7%) pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK (56,5%) di tahun 2003. Di pulau Jawa sendiri, sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik, jumlah petani gurem ini meningkat dari 69,8% pada tahun 1993 menjadi 74,9% di tahun 2003. Kecenderungan angka tersebut akan semakin meningkat seiring derasnya arus fragmentasi lahan seiring meningkatnya jumlah penduduk dan belum terwujudnya reformasi agraria secara adil.

Secara sosial ekonomi, tingkat pendidikan sebagian besar petani Indonesia terdeteksi sangat rendah. BPS melaporkan 45% tamat SD, 25% tidak tamat SD dan 12 % tidak sekolah. Mereka juga berusia tua, dimana 76,2% berumur antara 50-54 tahun dan 21,46 % berusia diatas 56 tahun. Bila melihat keadaan ini, sangatlah wajar ketakutan kita terhadap pertanian Indonesia akan semakin terpuruk bila tidak segera diregenarasikan. Regenerasi sangat dibutuhkan untuk memajukan dunia pertanian Indonesia saat ini. Sama seperti sebuah klub sepakbola, bila yang pemain dalam sebuah team tersebut berusia diatas 30an tahun, tentu bukanlah hal yang ideal bagi sebuah team, dimana tuntuntan setiap team harus bermain konsisten sepanjang kompetisi sehingga memperoleh hasil yang maksimal. Klub yang sadar akan pentingnya hal ini, biasanya membangun team dengan variasi umur yang beragam, mulai dari umur belasan tahun sampai umur 30an tahun. Proses regenerasi akan terjadi secara alamiah dalam team tersebut.

Presiden SBY meyatakan tentang pentingnya “revitalisasi pertanian” yang diungkap ketika beliau membuka Seminar tentang Ketahanan Pangan di Jakarta. Beliau mengutarakan pentingnya revitalisasi pertanian untuk membangun pertanian Indonesia. Bila mengutip pemahaman berdasarkan webster, revitalisasi bermakna giving a new life, yang dalam bahasa Indonesia bermakna “memperlihatkan / menterjemahkan / mengorbankan / memberikan hidup yang baru”. Yang terlihat selama ini, seperti nya masih jauh dari harapan. Sebagai anak bangsa, tentu petani memiliki hak yang sama dengan para pejabat tinggi bangsa ini, yang sama-sama hidup di tanah merdeka. Perlu digaris bawahi bahwa, para pejuang kita dulu berjuang untuk memerdekakan bangsa ini, tidak hanya untuk keamanan dan kenyamanan hidup keluarga pejuang tersebut, ataupun tidak hanya untuk mempertahankan kepemilikan lahan mereka sendiri supaya tidak seenaknya direbut bangsa penjajah lalu mereka mau mengangkat dan menggenggam bambu runcing untuk melawan senjata mesin, tankbahkan pesawat tempur penjajah menjadi lawannya. Itu keputusan yang sulit bagi pejuang kita untuk berani melakukannya.

Kalau kita sadar, petani kita sebenarnya sangat terpinggirkan di bangsa ini. Keberadaan petani sangat sering dijadikan objek pembangunan dan korban kebijakan oleh petinggi negri kita. Salah satu contohnya adalah kebijakan mengenai Revitalisasi Pertanian. Pemerintah kita seringkali tidak mampu menterjermahkan secara menyeluruh apa pentingnya dan apa urgensi penerapan Revitalisasi Pertanian. Tentu sangatlah sayang bila pemahaman dan kesadaran akan hal ini hanya menjadi bahan atau materi pidato yang mendalam untuk mencuri hati dan memikat calon pemilih. Tragis memang, tapi nyatanya di tanah merdeka ini, ini lazim dilakukan dan mereka tidak malu untuk mengabaikannya begitu saja setelah terpilih. “semangatnya” harusnya tetap sama dan dipupuk semakin besar.

Titik kuatnya terletak pada perbaikan kualitas hidup petani. Petani yang selama ini terkesan sebagai anak bangsa yang selalu “menyerah pada nasib”, mengalami perubahan yang mendasar dan menjadi mampu berbicara banyak untuk memperbaiki nasib dan dan masa depannya. Hidup yang baru bagi dunia pertanian menjadi sebuah tuntutan yang baik untuk menyelamatkan dunia pertanian Indonesia. Hal ini penting agar dunia pertanian tidak lagi terkatung-katung hidupnya didalam keserakahan dan praktek kepentingan masing-masing pribadi yang tidak bertanggung jawab. Mengajarkan petani agar bisa menjadi teladan hidup, akan menjadi kunci pembangunan pertanian kedepanya.

Lalu, apakah wajar bila yang kita kerjakan hanyalah menuntut dan menuntut dan berharap begitu saja agar dengan sendirinya petani memperoleh ‘hidup’ dalam pertanian. Sebagai Mahasiswa pertanian, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kenyataan ini. Tidak bijak bila hanya berhenti untuk berpikir untuk mencari-cari kesalahan instansi ataupun pribadi, tanpa memberikan kontribusi untuk menghidupkan pertanian kita. Sesungguhnya pembenahan dalam sosial ekonomi pertanian masih sangat banyak yang menjadi tugas dan menjadi bahan pemikiran kita bersama. Begitupun kalau mau berbicara dengan varietas unggul suatu produk pertanian, teknologi budidaya secara menyeluruh yang sehat dan ramah lingkungan, dan juga penanggulangan hama dan penyakit tumbuhan masih sangat dibutuhkan untuk menghidupkan pertanian kita. Tak bisa dilupakan juga peran sarana input pertaniaan yaitu lahan, sangat terkait erat dengan disiplin ilmu tanah, banyak yang masih perlu diungkap dan juga banyak yang masih perlu diajarkan kepada dunia pertanian. Dunia ini terlalu berharga untuk diabaikan begitu saja. Bersama kita membangun kehidupan baru di dunia pertanian ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun