Maskodon dan Burung Kondor adalah sebuah naskah teater karya W.S. Rendra yang fenomenal. Di pertengahan Januari 2012 kemarin saya berkesempatan menyaksikan pementasan teater tersebut di Gedung Sanusi Unpad. Mungkin orang masih agak asing dengan naskah ini, karena naskah ini sudah 38 tahun ‘tertidur’ di lemari penuh kenangan W.S. Rendra. Sebelum diistirahatkan lama, naskah ini pernah dipentaskan oleh Rendra sendiri di tahun 1973 dan 1975. Kali ini bukan WS Rendra yang jadi sutradaranya tetapi Ken Zuraida, istri WS Rendra. Pementasan ini dimulai dengan alunan musik, kolaborasi alat musik tradisional dengan modern. Aku juga belum pernah melihat tontonan musik yang seperti ini. Alunan musik yang sangat nyaman didengar. Jose Karosta, itu nama pemeran utama nya. Sosok yang sangat menjiwai sajak dan syair. Seorang mahasiswa yang penuh dengan idealisme, yang menjiwai perjuangan dengan karya dan kemampuannya melihat permasalahan secara menyeluruh.
Mastodon dan Burung Kondor adalah sebuah gambaran tentang dua sosok yang berbeda. Mastodon ini digambarkan sebagai pemerintah yang rakus, yang menguras sumber daya alam, yang membiarkan masyarakatnya tertindas oleh perkembangan fisik negaranya. Mastodon ini orang yang lapar akan kekuasaan, kepuasannya tak kenal batas. Sementara itu burung kondor adalah sebuah penghiburan bagi masyarakat. Hiburan atas sepinya pembelaan terhadap masyarakat yang miskin dan tertindas. Hiburan atas kerasnya hidup yang harus masyarakat jalani dan juga hiburan atas sulitnya mempertahankan hidup dibalik kerakusan penguasa.
Max Carlos, seseorang yang sedang berada dalam puncak kepemimpinannya. Sudah lama negeri ini tertindas, masyarakatnya menderita, kekacauan terjadi dimana-mana. Dengungan pemerintah akan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% sama sekali tidak serta merta membuat masyarakat menjadi sejahteraha. Politisi berjanji untuk menyejahterahkan masyarakatnya tetapi yang terjadi malah mengacaukan masyarakatnya. Hal ini seperti sedang mendeskripsikan Indonesia wajah masa kini. Saya sering merasa miris kalau melihat kelakuan para politisi Indonesia. Pencitraan terus berjalan sendirian tanpa sebuah penetrasi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Semakin diagungkan pencitraan oleh para politisi kita, akan semakin telinga kita dibisingkan tentang janji-janji palsu. Max Carlos, adalah sosok yang menangkap dan memenjarakan Jose Karosta. Dia beranggapan bahwa Jose Karosta telah mengganggu ketertiban dan keamanan dengan syair dan sajak-sajak nya yang semakin hari semakin menyadarkan masyarakatnya.
Jose Karosta merupakan seorang yang menolak lembaga-lembaga agama, menurutnya lembaga agama hanya menjadi lahan bisnis dari sabda yang agung. Sosok ini merupakan sosok burung kondor, sosok yang memberikan banyak kesaksian tentang apa yang menjadi pergulatan bangsanya pada saat itu. Ia menawarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk menggugah sekaligus mematangkan kesadaran masyarakatnya. Baginya kesaksian harus tetap hidup agar kehidupan benar-benar terjaga.
Sebuah perenungan didapatkan ketika Frederico, seorang aktivis kampus yang membakar semangat teman-teman mahasiswa di kampusnya. Dia mengkritik keras kampus yang tidak mendidik mereka untuk menyusun kebijakan, mengolah kebijakan dan menguji kebijaksanaan. Menurutnya 3 hal tersebutlah yang akan membuat mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap negaranya. Saat ini menurutnya kampus hanya mencetak generasi pengiyaan. Generasi yang hanya turut saja pada setiap kebijaksanaan, padahal sebenarnya butuh kekritisan. Menurutnya sistem lah yang mengakibatkan mahasiswa menjadi generasi pengiyaan. Dia bersama teman-temannya dari berbagai propinsi di negaranya menjadi motor penggerak revolusi kekuasaan di negaranya.
Yang menarik dari teater ini adalah pengolahan konflik yang terjadi dikalangan mahasiswa. Secara garis besar antara Jose Karosta dan Frederico. Frederico mengatakan yang dibutuhkan negaranya saat ini adalah revolusi. Revolusi jadi satu-satunya obat penyembuh luka bagi bangsanya yang sudah bertahun-tahun menderita. Mereka menyebutnya Revolusi Semesta Bersatu. Berbeda dengan Jose Karosta, dia konsisten dengan idealismenya, masyarakat harus memiliki kematangan kesadaran akan sebuah perubahan. Jose sama sekali menolak revolusi yang diagung-agungkan oleh frederico dan teman-teman kampusnya. Menurutnya betapa besar kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh Revolusi. Rumah-rumah masyarakat banyak yang terbakar, kerusuhan dimana-mana, ketakutan yang sangat besar, dan lumpuhnya beberapa sumber-sumber penggerak perekonomian masyarakat. Hal itu menjadi bayaran yang mahal untuk sebuah revolusi, butuh bertahun-tahun untuk menyembuhkannya.
Drama tentang Mastodon dan Burung Kondor ini secara implisit sedang menggambarkan keadaan Indonesia. Teguran-teguran yang dialamatkan kepada pemerintah seakan menusuk tepat dijantung para pemangku kekuasaan. Sebagai sebuah refleksi, sudah seharusnya pemerintah lebih peka lagi terhadap kesusahan masyarakatnya. Dulu tahun 1998, Indonesia pernah mengalami penggulingan kekuasaan. Hal itu sebagai bentuk akumulatif kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Kekecewaan terhadap taraf hidup yang masih jauh dari sebutan sejahtera juga kekecewaan terhadap korupsi yang semakin merajalela. Revolusi memang berawal dari luar kekuasaan, di Indonesia tahun 1998 dimulai dari mahasiswa kemudian tertular ke masyarakat banyak. Sebuah peringatan yang sangat penting bagi para pemangku kekuasaan untuk benar-benar memperjuangkan kesejahterahan masyarakatnya. Hal ini tergambar persis dalam pementasan drama Mastodon dan Burung Kondor ini. Mungkin ini juga lah yang menjadi ketakutan penguasa pada tahun 1970an dulu yang sempat melarang pementasan drama ini. Untuk Indonesia saat ini, beberapa politisi ataupun tokoh partai di televisi sering sekali mendengung-dengungkan revolusi, tidaklah kita lantas setuju begitu saja. Perlu kedewasaan bagi kita masyarakat untuk tidak gampang terprovokasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI