Di era digital saat ini, informasi  mudah diakses dan disebarluaskan. Hanya dengan satu klik, siapa pun bisa memperoleh berbagai jenis ilmu dari belahan dunia mana pun. Jejaring sosial, portal, dan situs web menyediakan arus informasi yang tak terhentikan setiap detiknya.Â
Dulu, kita harus pergi ke perpustakaan atau membeli koran untuk mendapatkan informasi, namun kini, dengan ponsel di tangan, kita dapat membaca artikel ilmiah dan mengikuti berita tanpa harus keluar rumah. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pertanyaan mendasar. Apakah kemudahan mengumpulkan informasi membantu kita memperdalam pemahaman  atau  sekadar membanjiri otak dengan kebisingan?
Jika kita membandingkan cara orang mengumpulkan informasi di masa lalu dengan cara orang mengumpulkan informasi saat ini, terdapat perbedaan yang mencolok. Dahulu, untuk mengakses ilmu pengetahuan atau informasi, seseorang harus berusaha lebih keras. Membaca buku, berbicara dengan para ahli atau menghadiri seminar adalah  cara yang populer untuk melakukan hal ini.Â
Proses ini memerlukan waktu, tenaga dan dedikasi, sehingga informasi yang diperoleh seringkali lebih bermakna dan lebih diingat. Di sisi lain, saat ini kita dihadapkan pada arus informasi yang sangat cepat dan seringkali dangkal. Algoritma di media sosial dan platform online lainnya cenderung menyajikan informasi yang mudah dipahami namun seringkali kehilangan konteks atau kedalamannya. Akibatnya, meskipun kita menerima banyak informasi, namun jarang sekali kita menyerap dan memahaminya secara mendalam.
Bayangkan seseorang  berada di sebuah ruangan dengan ribuan buku  diletakkan di rak yang  mudah dijangkau. Setiap buku di ruangan  berisi informasi  berbeda: berhubungan dengan topik sains, politik, budaya, dan bahkan peristiwa terkini. Setiap kali orang  mengambil sebuah buku, mereka membolak-baliknya, lalu meletakkannya  dan segera mengambil buku lainnya.Â
Meski Anda sudah menyentuh banyak buku dan  sekilas melihat informasi di setiap buku, apakah Anda benar-benar memahami isinya? Situasi ini mirip dengan cara kita mengonsumsi informasi di era digital. Kita terus-menerus berpindah dari satu sumber informasi ke sumber informasi lainnya tanpa benar-benar menyerap dan memahami esensi dari apa yang kita baca atau lihat.
Ambil contoh media sosial. Kita sering kali melihat orang-orang membagikan artikel, gambar, atau video viral yang menarik perhatian. Namun, seberapa sering kita benar-benar membaca atau menonton keseluruhan konten tersebut sebelum membagikannya? Sebuah penelitian menemukan bahwa sebagian besar pengguna media sosial hanya membaca judul atau bagian awal dari sebuah artikel sebelum membagikannya kepada orang lain.
 Artinya, informasi yang disebarkan sering kali tidak dipahami secara utuh, dan ini menyebabkan tersebarnya informasi yang dangkal, salah, atau bahkan hoaks. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun informasi  mudah diakses, seringkali informasi tersebut tidak mempunyai makna  mendalam karena tidak diproses dengan benar.
Menurut saya, fenomena ini menunjukkan bahwa tingginya akses terhadap informasi  tidak selalu sebanding dengan  pemahaman atau kualitas informasi yang lebih baik. Di satu sisi, kemudahan ini membuat kita bisa belajar dan mengetahui hal-hal baru dalam waktu singkat. Namun di sisi lain, kita cenderung menjadi konsumen pasif, hanya menelan informasi tanpa dicerna atau diproses lebih lanjut.Â
Akibatnya, sebagian besar informasi yang kita terima hanya untuk hiburan atau sensasi sesaat tanpa benar-benar berdampak signifikan terhadap pemikiran atau pemahaman kita. Oleh karena itu kita harus berupaya untuk memilih dan mengolah informasi secara lebih selektif agar informasi yang kita gunakan dapat memberi nilai tambah dan memperkaya pengetahuan kita.
Kondisi ini mungkin mirip dengan makanan cepat saji. Meski mudah ditemukan dan mengenyangkan, seringkali makanan cepat saji  tidak mengandung nutrisi yang cukup untuk tubuh. Kita mungkin kenyang dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang kita berisiko mengalami malnutrisi.Â