Syeikh Nuruddin ar-Raniri, sosok cendekiawan muslim awal yang datang ke Indonesia, bukan hanya sebegai pendakwah tetapi juga sejarawan yang menulis tentang sejarah Islam di Indonesia abad ke-16. Ia memiliki nama lengkap Nur al-Din Muhammad ibn 'Ali Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisy Asy-Syafi'i. diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India. Meninggal dunia pada tanggal 21 September 1685 M di India. Ibunya adalah seorang Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadrami.
Pada tahun 1637, Syeikh Nuruddin ar-Raniri pergi ke Aceh dan menetap selama tujuh tahun, saat itu suasana politik dan agama di Aceh sedang bergejolak. Syeikh Syamsuddin yang merupakan mufti kerajaan Aceh telah meninggal. Saat itu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani dan memberikan kedudukan yang baik kepada Nuruddin di Istana. Selain dipercaya oleh Sultan, ia juga mendapat kedudukan istimewa sebagai mufti pengganti dari Syeikh Syamsuddin.
Syeikh Nuruddin ar-Raniri menentang paham Wujudiyah yang saat itu berkembang pada masa Sultan Iskandar Muda yang merupakan Sultan sebelum Iskandar Tsani dan dianut oleh masyarakat setempat. Ketika sudah menjabat sebagai mufti ia mencoba untuk menentang paham Wujudiyah ini setelah sebelumnya ia pernah tidak diberi penerimaan dan sambutan yang layak oleh Sultan Iskandar Muda.Â
Setelah digantikan oleh Iskandar Tsani, dalam penentangannya ia mendapatkan dukungan dari Sultan, ia mendapatkan kesempatan untuk menyerang dan membasmi ajaran Wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin. Nuruddin ar-Raniri menganggap mereka sesat bahkan mempercayai banyak Tuhan.
Selain sebagai seorang ulama yang bersemangat dalam membela ajaran ahlus sunnah wal jama'ah, Ar-Raniri juga merupakan seorang penulis yang sangat produktif, banyak membaca dan mengarang kitab. Hingga pemikiran Ar-Raniri pun tersebar ke daerah Nusantara lainnya. Salah satu karyanya ialah dalam sejarah Melayu yaitu Bustan al-Salatin (taman para raja). Merupakan karya terbesar yang dihasilkan orang dalam Bahasa melayu. Kitab ini ditulis setelah Ar-Raniri berada di Aceh tujuh bulan lamanya.
Sejarah Melayu sendiri adalah bentuk historiografi kronik yang menjelaskan Nasab dan Silsilah Dinasti yang menjadi Raja di tanah Melayu. Sejarah Melayu juga merupakan cikal bakal lahirnya historiografi Nusantara dalam terminilogi modern.
Karya dari Nuruddin ar-Raniri ini merupakan salah satu penulisan yang popular pada historiografi tradisional. Dalam bait 12 dan 13 versi Perpustakaan Nasional Indonesia maka pembahasannya berkisar pada silsilah dan sejarah perkembangan kerajaan Melayu, dimulai dari kemunculan tiga keturunan Iskandar Zulkarnain di Bukit Siguntang Palembang. Mereka adalah Sang Sapurba, Sang Binaka dan Sang Nila Utama, dari ketiganyalah raja-raja Melayu berasal. Pemaparannya ini terus berlanjut hingga pendirian kerajaan-kerajaan Melayu seperti Malaka, Aceh Darussalam, Paham, Siak dan lain-lain. Segala yang disampaikan ar-Raniri umumnya adalah kemajuan atau kejayaan, perang, perebutan tahta serta hal-hal lain yang hanya melibatkan raja dan keluarganya.
Apabila dibandingkan dengan karya-karya sejarah yang ditulis bangsa Eropa. Seperti karya dari Snouck Hurgronje yaitu Aceh di Mata Kolonialis Jilid I & II, karya F. W. Stapel yaitu Geschiedenis van Nederland Indie, serta karya H. J. De Graaf yaitu mengenai Mataram sekitar 6 jilid. Ketika membacanya, maka akan terasa betul superioritas bangsa Eropa atas penduduk Nusantara. Betapa bangsa asing memandang rendah kaum pribumi akan mudah dijumpai. Beberapa ada yang tegas menyatakannya, namun yang lain menyelipkan subjektivitas tersebut dalam suatu penilaian pribadinya.
Apabila membaca karya-karya ketiga sejarawan kolonialis tersebut, maka akan terasa betapa penulisan sejarah mereka hanyalah didasari oleh semangat ingin menginformasikan dan bukan pada tahap membentuk persepsi kebangsaan Indonesia. Penulisan sejarah kolonial dipandang sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan mereka atas Nusantara
Karya dari Nuruddin ar-Raniri pada perkembangan historiografi selanjutnya menjadi rujukan oleh Buya Hamka, yang merupakan salah satu sejarawan dalam historiografi Islam Indonesia kontemporer, sebagai bahan mengkaji Islam Indonesia dalam karyanya yang berjudul Sejarah Umat Islam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H