Kasus penganiayaan yang melibatkan seorang pegawai toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, menjadi perhatian publik lagi. Insiden ini melibatkan seorang pegawai, Dwi Ayu Dharmawati (DAD) yang menjadi korban kekerasan fisik oleh George Sugama Halim (GSH), anak pemilik toko. Kejadian ini bukan hanya memperlihatkan kekerasan yang terjadi di tempat kerja, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang sejauh mana perlindungan terhadap pekerja di Indonesia dan bagaimana kita harus menanggapi tindakan kekerasan dalam dunia kerja.
Kronologi Kejadian
Penganiayaan merupakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit, luka, atau penderitaan. Dalam kejadian ini, pegawai DAD mengalami penganiayaan pada 17 Oktober 2024. Insiden ini viral setelah rekaman video beredar di media sosial. Dalam rekaman tersebut, menunjukkan GSH melempar kursi dan barang lainnya ke arah DAD sehingga menyebabkan luka parah. Motif dari penganiayaan ini diduga karena DAD menolak permintaan GSH untuk mengantarkan makanan ke dalam kamar pribadinya. Pengakuan DAD menunjukkan bahwa tindakan penganiayaan ini bukanlah yang pertama, sebelumnya, ia juga diancam dan diperlakukan dengan kasar oleh GSH. GSH bahkan pernah menyatakan bahwa "orang miskin" seperti DAD tidak dapat memasukkannya ke penjara, karena ia mengakui bahwa dirinya "kebal hukum".
Sebelum kejadian, DAD mengatakan bahwa dia sudah membuat perjanjian untuk tidak lagi mengantarkan makanan ke kamar GSH. Setelah DAD melakukan penolakan, GSH mengadukan kepada ibunya atas tolakan tersebut. Saat mendengar itu, ibu GSH langsung memarahi anaknya dan memintanya untuk mengambil makanannya sendiri. Namun, GSH kekeh dengan permintaannya supaya DAD mengantarkan makananya. DAD tetap menolak karena bukan bagian dari tugasnya dan ia juga merasa sakit hati pernah disebut "orang miskin" dan "babu" oleh GSH. Tidak terima dengan tolakannya, GSH marah dan melempar DAD menggunakan patung, kursi, loyang, dan mesin EDC BCA hingga mengalami pendarahan di kepala dan memar di badannya.
Khilaf atau Kekerasan
Setelah insiden tersebut viral di media sosial, GSH akhirnya ditangkap oleh polisi pada 16 Desember 2024. Dalam proses penangkapan, GSH mengakui bahwa tindakan yang dilakukan adalah "khilaf" atau ketidaksengajaan dan ia menyesali atas perbuatannya. Alasan khilaf yang dikatakan oleh GSH tidak dapat menjadi pembenaran atas perilaku yang tidak manusiawi. GHS juga tidak memberikan komentar atas alasan tentang perbuatannya yang menyuruh DAD untuk mengantarkan makanan ke dalam kamar pribadinya.
Toko roti Lindayes, tempat DAD bekerja, juga membuka suara atas kasus penganiayaan pegawai yang dilakukan oleh GSH, anak pemilik toko. Lindayes mengeluarkan permohonan maaf atas kejadian tersebut dan memberikan dukungan penuh terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Mereka mengakui bahwa GSH memiliki keterbelakangan kecerdasan IQ dan EQ yang sudah diuji. Bahkan bukan hanya DAD yang menjadi korban, tetapi pemilik dan saudaranya pernah menjadi korban kekerasan oleh GSH.
Perlindungan Hukum
Insiden ini menyoroti betapa pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja di Indonesia. Laporan penganiayaan yang diajukan DAD sempat ditolak di beberapa polsek, sampai akhirnya ditangani dengan serius. Ini menunjukkan adanya kelemahan sistem hukum di Indonesia dalam melindungi korban. Polisi kemudian melakukan proses penyelidikan terhadap GSH. Polisi berhasil menangkap GSH setelah menerima informasi dari ibundanya tentang keberadaannya di sebuah hotel di Sukabumi. Akhirnya GSH dijerat Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan dan terancam hukuman 5 tahun penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H