Anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan dukungan. Anak-anak penyandang disabilitas tidak seharusnya diabaikan. Mereka yang sering dinilai tidak dapat melakukan apapun untuk keluarga apalagi masyarakat akhirnya mengalami berbagai kesulitan untuk menuntut hak mereka, khususnya hak memperoleh pendidikan.
“Panggil saja namaku Abaa, sama seperti nama panggilan orang-orang yang pernah mengenali diriku. Ini terdengar seperti sebuah ejekan. Aku paham mereka tidak akan mampu menangkap dengan jelas setiap kata-kata yang keluar dari mulutku. Bicaraku yang tidak jelas, dan terdengar bagi mereka hanyalah bunyi-bunyi aneh seperti ini bla..bla..bla.. atau blu..blu…blu…”
Penggalan sepotong percakapan itu masih teringat dengan jelas saat ayahku berkenalan dengan dirinya. Abaa, sang anak penyandang disabilitas. Ayahku dan Abaa sama-sama menjadi murid baru di sebuah sekolah umum lokal yang dikelola oleh yayasan keagamaaan setempat. Mereka akhirnya masuk di kelas yang sama dan menjadi teman se-bangku. Abaa tidak memiliki kesulitan untuk berjalan, duduk ataupun mendengarkan pelajaran. Kekurangannya adalah ketidakmampuan mengucapkan kata dan kalimat dengan baik karena bentuk rahang, mulut dan kedua tangannya yang tidak seperti ‘kepunyaan’ anak-anak yang lain.
“Abaa masih bisa menulis”, ayahku melanjutkan kisahnya saat menempuh jenjang pendidikan lanjutan tingkat atas. Kemampuan Abaa menulis juga terbatas. Hal ini yang menyulitkan komunikasinya dengan para guru terutama saat musim ulangan tiba. Ayahku, setiap hari, tanpa rasa bosan selalu siap menemani, atau sekedar mendengarkan Abaa bercerita, akhirnya mudah menangkap dan mengerti bahasa lisan yang diucapkan bibirnya dan sering membantu Abaa untuk mengulang pertanyaan apabila pelajaran telah dimulai di ruangan kelas.
Abaa adalah salah satu dari sekian banyak anak dengan kategori disabilitas ringan yang mencoba bertahan di lingkungan sekolah dan berani bergaul dengan anak-anak yang sering dicap dengan istilah ?!?‘normal’?!?. Dia termasuk anak penuh percaya diri, tidak malu dengan kekurangan yang ada dan siap menghadapi setiap ejekan dari teman sekolah. Meskipun demikian Abaa hanya bertahan selama dua tahun dan tidak melanjutkan sekolahnya dengan alasan yang tidak diketahui dengan pasti oleh ayahku sampai saat ini.
Hasil temuan sebuah organisasi yang bernama Save The Children dan IKEA Foundation, di Jawa Barat diperoleh 187 ribu anak dengan disabilitas tidak memperoleh haknya. Temuan ini disampaikan oleh Wiwied Trisnadi pada saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (09/12). Sebagai Project Manager Save The Chidren, Wiwied menyatakan Save The chidren dengan program Family based Care for Indonesian Children with Disabilities) mendorong mewujudkan persamaan hak dan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Program yang telah berlangsung sejak Juli 2012 akan terus dilanjutkan hingga Juni 2015 di enam kabupaten/kota yakni kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Program ini juga menyediakan dana alokasi untuk kebutuhan anak-anak disabilitas di daerah pedesaan. Bagi ayahku, program ini sungguh sangat dibutuhkan dan bila perlu dikembangkan lebih luas dan menjangkau desa/kota yang lain di seluruh pelosok tanah air.
Di penghujung akhir tulisan, dengan mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mindset atau cara pandang kita terhadap penyandang disabilitas harus berubah.
Setiap anak itu unik. Perbedaan yang ada bukan untuk dipertentangkan apalagi dibuat menjadi masalah besar. Perbedaan yang ada harus dihargai.
Yuk, hentikan diskriminasi pendidikan anak dengan disabilitas !
Salam Kompasiana.
sumber ilustrasi : di-sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H