Mohon tunggu...
Rehal Alaur Rahman
Rehal Alaur Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi apa ya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Sekularisme dan Politik Islam: Studi Kasus Turki dan Indonesia

15 Juli 2024   13:39 Diperbarui: 15 Juli 2024   13:39 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada awal abad ke-20, Mustafa Kemal Ataturk memimpin transformasi besar di Turki setelah jatuhnya Kekaisaran Utsmaniyah. Ataturk memulai upaya modernisasi yang radikal dengan menerapkan prinsip-prinsip sekularisme yang kuat. Salah satu langkah paling kontroversial yang diambilnya adalah penghapusan sistem kekhalifahan pada tahun 1924, yang mengakhiri lebih dari empat abad kekuasaan dinasti Utsmaniyah sebagai khalifah Islam. Tindakan ini tidak hanya menandai pemisahan definitif antara agama Islam dan negara, tetapi juga menunjukkan komitmen kuat Ataturk untuk membawa Turki menuju modernitas yang lebih sekuler.

Ataturk memandang bahwa Islam tradisional, khususnya dalam bentuk politiknya, merupakan hambatan terhadap modernisasi Turki. Dia meyakini bahwa untuk negara yang baru merdeka, seperti Turki setelah Perang Dunia I, pengaruh agama dalam urusan politik dan hukum harus diminimalkan untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi yang diinginkan. Sebagai bagian dari reformasi sekularnya, Ataturk melarang penggunaan pakaian dan simbol-simbol agama di institusi publik dan mendukung penggunaan pakaian Barat yang modern sebagai simbol modernitas.

Namun, kebijakan sekularisme Ataturk tidak tanpa kontroversi dan resistensi. Kelompok-kelompok Islam tradisional, serta sebagian besar ulama, menentang langkah-langkahnya yang dianggap sebagai upaya untuk menghapuskan nilai-nilai dan identitas Islam dari kehidupan publik Turki. Meskipun demikian, Ataturk berhasil mendominasi politik Turki pada masanya dengan dukungan dari kalangan militer yang kuat, yang melihat modernisasi sebagai kunci keberhasilan Turki di era modern.

Pada sisi lain dunia, Indonesia menghadapi tantangan yang serupa setelah merdeka pada 1945. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim, pemimpin nasional seperti Soekarno menganut pandangan nasionalis sekuler yang menekankan pemisahan antara agama dan negara. Soekarno berpegang pada prinsip bahwa agama adalah urusan pribadi dan spiritual, sementara negara harus tetap netral dan menerima semua agama sebagai bagian dari kesatuan bangsa.

Kedatangan Islam ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7, sehingga agama ini sudah menjadi bagian dari tradisi budaya dan sosial masyarakat. Meskipun demikian, Soekarno dan kelompok nasionalis sekulernya percaya bahwa untuk menjaga persatuan dalam keberagaman agama, Pancasila harus dijadikan ideologi negara yang menghormati semua kepercayaan dan keyakinan. Pancasila kemudian diakui sebagai dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945, dengan prinsip "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai nilai yang menghargai pluralitas agama di Indonesia.

Perdebatan antara nasionalisme sekuler dan Islam politik terus berlangsung di kedua negara ini hingga hari ini. Di Turki, setelah kematian Ataturk pada tahun 1938, kebijakan sekularisme tetap menjadi dasar negara, meskipun pengaruh Islam politik telah menguat kembali di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan. Erdogan, yang menjadi presiden sejak 2003, telah berusaha mengurangi pembatasan-pembatasan terhadap simbol-simbol agama dan meningkatkan peran Islam dalam kehidupan publik.

Sementara itu, di Indonesia, Pancasila tetap menjadi landasan ideologi negara meskipun tekanan dari kelompok Islam politik untuk menegaskan Islam sebagai dasar negara terus ada. Pemerintahan yang berbeda telah berusaha untuk menjaga keseimbangan antara prinsip sekularisme dan pengakuan terhadap nilai-nilai agama dalam kehidupan publik.

Dengan demikian, kedua negara ini menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana negara-negara dengan mayoritas Muslim mengelola hubungan antara agama dan negara dalam konteks modernisasi, pluralisme, dan aspirasi politik.

Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani pada 1453 menandai awal Zaman Keemasan Kekaisaran Utsmani yang membangun masyarakat multietnis dan multireligius dengan sikap toleran. Namun, pada abad ke-19 kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membuat Turki tertinggal. Setelah kalah dalam Perang Dunia I, Kekaisaran Utsmani mengalami kemunduran dengan wilayahnya dibebaskan satu per satu. Hal ini memicu nasionalisme Turki dan upaya mendirikan negara ba ngsa Turki yang sekuler untuk menggantikan pemerintahan multi- etnis dan multi-agama sebelumnya.

Perdebatan antara Soekarno dan Natsir pada 1930-1940an mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan eksplorasi pemahaman tanpa upaya merumuskan konsep final. Keduanya hanya ingin menunjukkan posisi ideologis-politis masing-masing, di mana Soekarno mewakili pandangan nasionalis yang cenderung sekuler sementara Natsir mewakili kelompok yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.

Kebijakan Mustafa Kemal Ataturk dalam memajukan sekularisme di Turki melalui reformasi-reformasi radikalnya, seperti penghapusan status Islam sebagai agama resmi, penghapusan simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan publik, dan pemisahan antara kehidupan sosial dengan kehidupan keagamaan, telah secara mendalam mengubah Turki menuju modernitas. Meskipun kontroversial, reformasi ini juga membawa perubahan signifikan dalam pembentukan identitas negara Turki modern, yang terus mempengaruhi politik dan sosialnya hingga saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun