Mohon tunggu...
Regy Kurniawan
Regy Kurniawan Mohon Tunggu... -

Tourist, adventure photographer, and environment consultant.\r\n\r\nwww.avonturir.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ditegur Penunggu Pulau Intata

7 Juli 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum ke Raja Ampat, pulau Intata bagi gue adalah yang terindah di dunia. Pulau kecil dengan luas gak lebih dari satu kilometer persegi ini memenuhi seluruh kriteria wajib untuk dikatakan sebagai pulau cantik nan eksotis: pasir putih kayak tepung, air laut yang super bening, lambaian nyiur di pesisirnya, ditambah lagi gak berpenghuni. Pulau ini adalah salah satu pulau terluar di utara Indonesia, berdekatan dengan pulau Miangas yang lebih terkenal berkat lagu Tertatih-nya Kerispatih. Pulau Intata terletak di wilayah administrasi Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Untuk menuju ke sana dibutuhkan perjalanan mengarungi laut selama 3 hari dari pelabuhan Bitung. Itu pun jadwalnya cuma dua minggu sekali. Berdasarkan catatan sejarah, dulu pulau Intata merupakan bagian dari pulau Kakorotan sebelum dihajar gempa dan tsunami pada tahun 1614. “….SEBAHAGIAN DARATAN PULAU INTATA TENGGELAM DAN PENGHUNINYA HANYUT OLEH AMUKAN OMBAK YANG DATANG DARI ARAH TIMUR LAUT SEBELAH LAUTAN PASIFIK.” Begitulah sepenggal catatan peristiwa tenggelamnya sebagian daratan pulau Intata yang terjadi pada zaman Ratu Liunsanda, Hugu-Lalua dan Hugu-Panditan yang diabadikan dengan tulisan pada sebuah monumen. Monumen peristiwa bencana alam tersebut masih tegak berdiri di halaman rumah kepala adat desa Kakorotan atau yang diberi gelar "Ratumbanua." [caption id="attachment_1743" align="aligncenter" width="551" caption="Pulau Kakorotan"][/caption] 10 Juni 2010 Gue tiba di pintu masuk pulau Intata pagi-pagi banget, dan dengan penuh semangat melompat ke sekoci kapal Tatamailau untuk merapat ke pantai. Dari kejauhan terlihat sebiji pulau yang bersinar memantulkan cahaya matahari dari pasir putihnya bak mutiara, sementara di langit beberapa ekor naga sedang bermain sembur-sembur api. Untuk gue yang referensi pantai bagusnya hanya sebatas Bunaken, pulau Intata adalah surga. Sayangnya gak ada 72 bidadari disana. Mulai dari lari-lari di pantai, lompat kesana kemari, salto-salto hingga guling-guling gue lakukan saking terkagum-kagumnya dengan pulau ini begitu tiba di pantainya. Yiha! Pulau Intata sedang ramai oleh pengunjung. Seperti tradisi yang berlangsung setiap tahun, saat itu akan berlangsung acara Mane'e atau tradisi menangkap ikan pake tangan! Karena acara Mane'e baru dilaksanakan menjelang sore, gue milih keliling pulau. Menurut informasi dari penduduk setempat, gak jauh dari pantai ada sebuah tempat yang mistis, tempat leluhur pulau Intata bersemayam. Siapa pun boleh berkunjung kesana, dengan catatan harus sopan dan JANGAN MEMOTRET. Setelah diberi tahu arahnya, gue menyusuri jalan setapak yang membawa gue menjauh dari keramaian pantai, masuk ke dalam hutan pulau Intata. Sekitar 20 menit kemudian gue tiba. Gue langsung tahu inilah tempat yang dimaksud penduduk tadi. Di atas sebuah meja dari batu berjejer 10 tengkorak kepala yang terlihat sudah sangat senior. Mereka ngerokok dari idung men. Ngeri gak lu? Rokok mereka macam-macam. Kebanyakan merek lokal. Naro rokok dalam rangka mistis-mistisan sih udah biasa, tapi naro rokok langsung di mulut, apalagi idung tengkorak, lancang banget gak sik? Gini lho: 1. Gak ada satu perokok pun yang tahan kalo rokoknya dijepit terus di mulutnya sampe abis. Asapnya perih di mata, perih di hati, dan bibir bisa melepuh. 2. Gak ada satu perokok pun yang ngerokok dari idung. 3. Gimana kalo mereka ada yang dulunya gak ngerokok? Kasian kan? Udah susah-susah gak ngerokok selama di dunia, eh pas meninggal dijejelin rokok. Di idung pulak. Gue emang kampret. Udah jelas-jelas dikasih tau gak boleh motret, gue tetep motret. Bukan cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali. Gue merasa, ada 1 atau 2 dari mereka yang tersenyum waktu lampu kilat kamera gue menyala. Hiiii... *** Selesai foto-foto, gue balik lagi ke pantai dan bergabung dengan kawan-kawan tukang foto. Acara Mane'e dimulai sekitar jam 2 siang, diawali dengan penarikan janur yang sudah dirangkai menjadi satu dengan panjang kurang lebih 700 meter. Rangkaian janur ini ditarik oleh perahu kecil menjauh dari pantai dengan membentuk huruf U. Ikan yang terlanjur ada di dalam area janur ini gak bakal bisa keluar. Padahal, janur ini gak disambung dengan jala loh. Artinya si ikan bukan terkurung gara-gara janurnya yang padat melainkan digiring oleh sebuah kekuatan mistis. Setelah seluruh bagian janur berada di laut, kedua ujungnya lalu ditarik perlahan mendekati pantai. Ikan terkepung. Orang-orang berdiri di sekeliling lingkaran janur. Ikan-ikan gugup. Pesta dimulai. Ratumbanua memulai pesta ini dengan menangkap 1 ekor ikan menggunakan tangannya sendiri. Setelah itu, suasana berubah menjadi riuh, rusuh, kisruh, semua berebut menangkap ikan yang menggelepar-gelepar di dasar. Ikan yang tertangkap diangkat seperti piala, yang menangkap tersenyum bangga. Makin besar ikannya, makin lebar senyumnya. [caption id="attachment_1738" align="aligncenter" width="551" caption="Do you see what i see? Yep, a SHARK."][/caption] [caption id="attachment_1739" align="aligncenter" width="551" caption="Langsung rusuh pemirsa!"][/caption] Menurut cerita penduduk setempat, acara Mane'e kali ini ikannya gak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang, ini cuma setengah dari jumlah ikan yang biasanya terkumpul. Katanya sih gara-gara waktunya yang gak pas karena seharusnya acara ini diadakan minggu depan, tapi berhubung BNN dan para pejabat jadwalnya cuma bisa minggu ini, jadi dimajuin. Hasilnya? Ya begitu itu. Orangnya rame, ikannya sepi. Setelah pesta usai, janur ditarik seluruhnya ke darat. Orang-orang menjinjing tangkapannya masing-masing. Warga Kakorotan berperahu pulang ke pulaunya. Matahari mulai terbenam di ufuk barat, menutup hari itu dengan cahaya emas yang sangat indah. Salah satu senja tercantik yang pernah gue lihat. Dan teguran penunggu pulau Intata pun dimulai. Saat kami riuh bernyanyi dan berpesta, langit mendadak mendung. Awan gelap berdatangan dari kiri kanan. Hujan turun dengan derasnya, air surut, ombak bergulung-gulung. Sekoci kesulitan merapat ke pantai. Kami tidak bisa kembali ke kapal. Semua hanya bisa menunggu dalam kegelapan, suasana pun menjadi hening, hingga beberapa orang mulai bernyanyi lagu-lagu pujian untuk Tuhan. Kami berdiri di pinggir pantai tanpa mengindahkan hujan yang masih turun cukup deras. Semua bernyanyi, semua berdoa. Kecuali satu: Om James. Doski sibuk motret. Mungkin Tuhan terenyuh melihat kami yang galau, perlahan, hujan mereda. Air laut kembali bersahabat, dan sekoci kapal satu demi satu mulai merapat ke pantai. Jam 10 malam, seluruh penumpang kapal yang jumlahnya ratusan akhirnya terangkut. Kami meninggalkan pulau Intata yang malam itu terlihat bete. Di kejauhan, dalam kegelapan, dia menatap tajam. Terus? Segitu doang tegurannya? Hah? Yang gara-gara motret tengkorak apa kelanjutannya? Jadi gini. Setelah balik ke kapal, mandi dan ganti baju, gue pamer foto-foto tengkorak tadi. Semua berdecak kagum, dan ada yang gak berani liat. Abis itu, gue demam. Mual. Badan gue mendadak anget dan berakhir dengan menggigil gara-gara meriang. Besoknya, mata kiri gue bintitan. Bintit kampret itu bertahan hingga gue udah balik ke rumah lagi. Kira-kira seminggu kemudian, bintitnya pindah ke mata kanan. Dan 40 hari sejak gue motret tengkorak-tengkorak Intata, bintitan gue sembuh dengan sendirinya. *** Gak deng gue lupa. 40 hari itu biar dramatis aja, hahahahaha! Persisnya berapa lama gue berbintit gue juga lupa. Bisa jadi emang beneran 40 hari...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun