Sejauh mata memandang, kabut putih tebal mulai mencium tanah. Dingin sudah menusuk tulang. Menggigil. Tetapi, perempuan itu masih saja duduk di atas sebuah bangku yang menjulur panjang di teras rumahnya. Tangan kanannya menggenggam secangkir kopi dengan erat. Aromanya mengundang perhatian semua pecinta kopi yang melintas di depan rumahnya.
Perempuan itu cantik dan cerdas. Ia sangat pandai meracik kopi. Kualitas kopi racikannya sama dengan kualitas kopi racikan seorang barista di kafe terkenal dan modern. Padahal, ia tak pernah magang di cafe. Padahal, ia seorang pegawai di sebuah rumah sakit swasta. Sewaktu kuliah, ia lebih banyak berteman dengan kata "sehat itu mahal."
Kopi adalah sahabat sejati yang terus menemaninya. Melewati hari-hari yang masih berbeban cita-cita dan berkabut mimpi. Sejak lama, ia ingin menyeduh kopi dengan sosok lelaki yang ada di dalam kepalanya. Sembari seruput kopi, ia ingin bercerita tentang hubungan kopi, insomnia dan rindu. Tetapi itu hanyalah imajinasi. Ia baru menyadari setelah kopi yang diseduh nya tinggal ampas.
Hari itu, perempuan cantik yang berbudi bahasanya bertemu dengan seorang lelaki sederhana. Lelaki yang seringkali malang nasibnya. Lelaki yang lebih besar cinta daripada harta. Dan lelaki yang percaya bahwa sumber dari segala kisah adalah kasih. Ia selalu kekurangan harta dan tahta. Tetapi ia selalu berkelimpahan cinta dan kasih.Â
Mereka bertemu di tenda acara. Mereka datang dari berbagai status dan latar belakang. Ada yang datang mengikuti status kakak laki-laki dan ada yang datang karena status kakak perempuan. Di tenda acara, status dan latar belakang tidak penting. Yang penting adalah kebersamaan dalam cinta kasih. Mereka berdua kompak melepas status dan latar belakang.
Ini perjumpaan perdana. Masih malu-malu dan lugu. Gugup. Kegugupan tampak lebih cerah. Percaya diri seakan-akan redup sejenak dan total. Tidak seperti biasanya. Alam memakluminya. Mendung tiba lebih cepat. Gerimis kembali turun lebih pagi. Kampung itu kembali dingin. Benar-benar menusuk tulang dan beberapa keping kenangan.
"Langit-langit kampung ini sungguh sangat akrab dengan mendung. Tak jarang terjadi, awan tebal yang menggelayut di angkasa dikonversikan menjadi hujan. Membasahi tanah yang lama merindukan air. Mengairi tanaman yang lama kehausan basah." Kata perempuan itu. Suaranya agak parau.
"Kopi kamu mengandung aku dan semua pecinta kopi mencinta kamu." Ucap seorang lelaki yang ada disampingnya.
Perempuan itu sumringah. Hatinya mengharu biru. Kedekatan itu berlangsung sebentar saja. Waktu terlalu cepat berputar dan berpindah. Lelaki itu harus pulang. Merapikan nasibnya yang masih berantakan. Perempuan itu juga harus kembali. Merawat pasien yang sudah kehilangan harapan.
"Kapan kembali? Tanya perempuan itu mengakhiri perjumpaan.