Mohon tunggu...
Regita Cahyani Badar
Regita Cahyani Badar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Upload Tugas Kuliah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jendela Budaya : Memahami Gender dalam Konteks Psikologi Lintas Budaya

17 Desember 2024   22:54 Diperbarui: 17 Desember 2024   23:25 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis: 

Regita Cahyani Badar, Syifa Azzahra, Muthmainnah Ibrahim

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo

Pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa warna biru sering diasosiasikan dengan laki-laki dan merah muda dengan perempuan? Atau mengapa ada pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk pria dan lainnya untuk wanita? Semua ini berkaitan dengan apa yang kita sebut gender. Gender bukan hanya tentang perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat melihat dan memperlakukan mereka.

Jadi, apa itu gender? Gender adalah cara kita memahami perilaku, peran, dan aktivitas yang dianggap cocok untuk pria dan wanita dalam suatu budaya. Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang peran gender (Berry, et al 1992). Misalnya, dalam banyak budaya tradisional, pria sering dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara wanita diharapkan mengurus rumah tangga dan anak-anak. Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai berubah. Kini, banyak wanita yang bekerja di berbagai bidang profesional, sementara pria juga terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ini menunjukkan bahwa norma-norma gender bisa berubah (Maharani, dkk 2020).

Untuk memahami gender lebih baik, kita perlu tahu beberapa istilah penting. Pertama adalah seks, yang merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, seperti alat reproduksi dan kromosom. Ini adalah hal yang tidak bisa diubah. Kedua adalah peran seksual, yaitu norma-norma sosial yang menentukan perilaku apa yang dianggap sesuai bagi pria dan wanita. Misalnya, banyak orang berpikir bahwa pria harus kuat dan wanita harus lembut. Terakhir adalah identitas seksual, yaitu bagaimana seseorang memahami dirinya sendiri dalam konteks seksualitas, termasuk siapa yang mereka sukai atau bagaimana mereka ingin dikenali.

Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan antara gender dan budaya sangatlah rumit. Budaya mempengaruhi cara kita memandang gender, tetapi juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam peran gender itu sendiri. Misalnya, dalam masyarakat yang lebih setara (egaliter), peran pria dan wanita cenderung lebih seimbang. Pria tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya pencari nafkah, begitu pula wanita tidak hanya terbatas pada urusan rumah tangga. Satu contoh nyata dari perubahan ini adalah semakin banyaknya wanita yang berkarir di bidang yang sebelumnya didominasi oleh pria, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan olahraga. Di sisi lain, pria juga semakin banyak yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menerima bahwa semua orang bisa melakukan berbagai peran tanpa terikat oleh jenis kelamin mereka.

Ada dua pendekatan utama tentang gender: pendekatan tradisional dan pendekatan egaliter (William dan Best, 1990). Pendekatan tradisional mempertahankan peran gender berdasarkan norma-norma lama. Dalam pendekatan ini, ada pembagian tugas yang jelas antara pria dan wanita. Contohnya adalah anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab wanita, sedangkan pria bertugas mencari nafkah di luar rumah. Di sisi lain, pendekatan egaliter menekankan kesetaraan antara pria dan wanita. Dalam pendekatan ini, peran tidak lagi ditentukan oleh jenis kelamin melainkan oleh minat dan kemampuan individu. Misalnya, jika seorang pria ingin menjadi guru atau seorang wanita ingin menjadi insinyur, mereka seharusnya bisa mengejar impian tersebut tanpa merasa tertekan oleh norma-norma gender.

Ketegangan antara pendekatan tradisional dan egaliter menunjukkan bagaimana masyarakat mencoba menyeimbangkan nilai-nilai lama dengan kebutuhan untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman (William dan Best, 1990). Misalnya, jika orang masih berpikir bahwa wanita harus mengurus rumah tangga saja, maka hal ini bisa menghalangi mereka untuk mengejar karir profesional. Sebaliknya, jika masyarakat mendukung pendekatan egaliter, maka semua orang dapat berkontribusi secara setara di berbagai bidang kehidupan tanpa dibatasi oleh jenis kelamin mereka.

Terdapat penelitian terbaru tentang gender yang menunjukkan bahwa dalam budaya yang lebih ketat seperti masyarakat agraris atau pertanian, pria cenderung lebih baik dalam tugas-tugas seperti navigasi ruang (Born et al. 2020). Di sisi lain, dalam budaya yang lebih longgar seperti masyarakat nomadik atau berburu, wanita menunjukkan keunggulan dalam keterampilan multitasking dan koordinasi (Berry et al. 2021) Ini berarti bahwa perbedaan gender tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis tetapi juga oleh lingkungan tempat seseorang tumbuh.

Aspek agresi atau perbedaan perilaku agresif yang ditunjukkan oleh individu berdasarkan jenis kelamin mereka juga penting untuk dibahas ketika kita berbicara tentang gender. Pria sering kali lebih terlibat dalam agresi terbuka seperti kekerasan fisik atau verbal; hal ini mungkin disebabkan oleh norma budaya yang mengaitkan agresi dengan kekuatan atau dominasi. Di sisi lain, wanita cenderung menggunakan agresi relasional seperti manipulasi sosial atau pengucilan; ini bisa jadi karena harapan sosial bahwa wanita harus menjaga hubungan interpersonal mereka (Crick dan Grotpeter, 1995).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun