Jambi-Kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) Jambi, kini sangat memperihatinkan. Dalam kurun waktu selam dua bulan, 11 orang meninggal, karena tidak makan.
Kejadian pertama di sungai Jernih. Kini mereka sudah ada di sungai Kejasung, di sini juga meng alami kematian. Total orang rimba yang meninggal dalam kurum waktu dua bulan itu, berjumlah 11 orang, tiga orang tua dan delapan Balita. Kematian karena kelaparan itu terjadi dalam tiga kelompok dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong.
Kematian 11 orang rimba/SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Sarolangun-Batang hari, Jambi, karena kelaparan itu, diakui oleh Kasubdit Kerjasama Kelembagaan Evaluasi dan Pelaporan Kemensos RI, Laude Taufik. Setelah dirinya turun langsung ke lapangan bersama KKI WARSI, dinas Sosial, Kesehatan dan Badan Perencanaan Pembangu nan Daerah (Bappeda) Provi nsi Jambi (5/3).
Dia menjelaskan, sejak kejadian pertama meninggalnya orang rimba, mereka langsung "melang un" (Berpindah tempat) berkali-kali. Namun selama melangun mereka tidak mendapatkan paso kan makanan yang cukup, sehingga fisik mereka melemah. Taufik mengungkapkan, Menteri Sosi al berpesan, agar memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan, yakni berupa kebu tuhan sembako. Selain itu Menteri juga berharap, agar kejadian itu tidak berulang, artinya ada tindaklanjut yang mencegah hal itu.
Manager Program Pemberdayaan Masyarakat KKI WARSI, Robert Aritonang mengatakan, trade si "melangun" masih kuat, dalam dikehidupan orang rimba/SAD. Tapi saat mereka pindah ke lok asi yang mereka tuju banyak hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sudah menjadi lahan perusahaan, akibatnya mereka kesulitan mendapatkan makanan, seperti ubi-ubian atau buah-bua han, tetapi setelah hutan berubah menjadi sawit dan karet otomatis sumber- sumber tadi sudah mulai berkurang. “Sekarang yang mereka kembang kan dengan berburu babi, tapi dengan adanya perkebunan pencarian itu hilang juga," kata Robert.
Terkait dengan hal itu. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, Bamba ng Hendroyono, Sabtu,(28/3) mengatakan bahwa, Pemerintah sepakat, memberikan 114 hekta re lahan kebun karet di Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, kepada Suku Anak Dalam di kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan antara pejabat Kementerian Kehutanan dan Kementerian Sosi al bersama pejabat pemerintah daerah dan manajemen PT Wahana Perintis, pemilik izin pengelolaan Hutan Tanam an Industri di kebun dengan tanaman karet berusia tiga tahun itu.
Pemberian program melalui pola kemitraan ini, untuk mendukung kelangsungan hidup Suku Anak Dalam. PT Wahana Perintis menyerahkan kebun karet seluas 114 hektare itu untuk dike lola masyarakat Suku Anak Dalam dan hasilnya nanti dijual ke PT Wahana Perin tis, kata Bamba ng. Selain itu, Pemerintah juga berjanji memberikan pelatihan dan pendidi kan kepada Suku Anak Dalam, agar mereka bisa mengelola kebun karet.
Koordinator Unit Kajian Suku-Suku Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Kristiaw an,meng atakan, saat ini dibutuhkan peran serta semua pihak untuk membantu orang rim ba keluar dari masalah dan bencana yang dialami mereka. " Bukan hanya untuk saat ini saja yang dibutuhkan bantuan berupa beras dan sembako serta pelayanan kesehatan yang dibe rikan, tetapi kehidup an SAD dimasa mendatang," kata Kristiawan.
Kematian 11 warga SAD/ orang rimba ini, karena tidak makan, sebenarnya sudah mencore ng nama Pemerintah Provinsi Jambi dimata Nasional. Dari itu diharapkan, Pemprov Jambi untuk dapat secaraserius dan mampu memikirkan nasib SAD, dari bencana kelaparan yang dialami orang rimba.
Orang rimba, melakukan Melangun (berpindah tempat,)Karena bahan pangan di lokasi hutan yang dihuninya nyaris menipis. Sehingga upaya mereka untuk mencari makan sema ngkin susah. Sementara Pemprov Jambi menerbitkan izin Hutan Tanaman Industri bagi PT Wana Printis, PT Agro Nusa Alam Sejahtera, PT Jebus Maju, PT Tebo Multi Agro, PT Lestari Asri Jaya, PT Mala ka Agro Perkara, dan PT Alam Lestari Makmur, yang bersinggungan dengan lahan hutan milik Suku Anak Dalam, maka dari itu mereka sulit untuk mencari makan.
Dalam adat dan budaya Orang Rimba, setiap kematian yang menimpa kelompoknya. Di haruskan mereka untuk berpindah tempat hidup. Biasanya mereka akan mengambil jalan melingkar untuk suatu saat nanti mereka bisa kembali ke tempat semula mereka tinggal, yaitu di Sungai Terap bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) tepatnya di sekitar perusahaan perkebu nan sawit PT Emal dan HTI Wana Perintis.
Ketika terjadi kematian, warga rimba akan mengembara atau belangun. Terdapat 7 lokasi yang sudah mereka singgahi untuk belangun, yaitu Desa Olak Besar, Kecamatan Bathin XIV Batang hari). Kemudian Desa Baru, Desa Jernih, Sungai Selentik dan Sungai Telentam, kedua daerah ini ada di Desa Lubuk Jering, Kabupaten Sarolangun. Selanjutnya, Simpang Picco dan kini di Sungai Kemang Desa Olak Besar, Kecamatan Bathin XIV.
Kini, dengan semakin sering melangun, kegiatan untuk mendapatkan makanan. Semangkin sulit. Kondisi ini disebut sebagai masa remayau (masa paceklik alias krisis pangan). Pada masa ini, obat-obatan alam yang biasa digunakan Orang Rimba, untuk berobat juga tidak tersedia. Karena hutan tempat hidup mereka sudah banyak tergusur, oleh perkebunan.Pada masa ini, merupa kan masa sulit bagi Orang Rimba untuk bertahan, angka kesakitan dan kematian melonjak dras tis.
Menurut Mangku Balas, sejak kematian 11 Orang Rimba dalam waktu yang berdekatan beb erapa bulan belakangan ini menyebabkan mereka sangat ketakutan. "Kami kekuranganpemakon (makanan), kalau melangun (mengembara) macam ini kami hopi (tidak) bisa ber buru, tempat nya juga susah, makonyo banyak yang sakit, kami takut," ujar Mangku.
Selain yang dirawat di RS Hamba, terdapat 2 anak Rimba yang juga dirawat jalan. Yaitu, Sebilau (bocah perempuan 2 tahun) dan Beskap (anak perempuan 4 tahun). Menurut salah satu tengga nai (pemuka masyarakat) Rimba dari kelompok Terap, Mangku Balas menyebut kan, masih bany ak anak-anak Rimba yang sebenarnya juga sakit dan kini tengah belangun(mengembara) di sekit ar Sungai Kemang, Kecamatan Bathin XIV, Kabupaten Batanghari. "Masih ada 15 anak lagi yang sakit di delom (lokasi melangun). Kami oli (tidak) bisa memba wa segelonye (semuanya) berob at," ujar Mangku.
Menurut dokter perawat anak rimba, dr Beby Andihara, kondisi anak-anak Rimba mengal ami demam dan batuk akut. Diperkirakan menderita bronkopneumonia. "Kami berusaha sebaik mungkin untuk merawat mereka sampai sembuh," kata Beby.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agria (KPA.) Iwan Nurdin, menilai pemerintah telah melakukan pengabaian terhadap Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba di bagian timur Tam an Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi. Akibatnya 11 warga SAD meninggal dunia yang salah satunya disebabkan kelaparan karena mereka masuk dalam Hutan Tanam an Industri (HTI). masyarakat sipil sebelumnya sudah kerap mendesak pemerintah agar segera mengevaluasi dan mereview izin konsesi HTI yang merangsek hingga ke area taman nasional. "Kabar duka ini sudah berulang-ulang terjadi di berbagai daerah, dan sudah sering diingatkan," kata Iwan kepada wartawan, Sabtu (14/3).
"Ini pelanggaran HAM berat yang seharusnya diusut oleh Komnas HAM," tegas Iwan Nurd in. Alasannya, selain merampas lahan dan tempat hidup warga SAD, kematian karena kelaparan adalah pelanggaran Hak Asai Masusia (HAM,) hak atas pangan. Sela in kelaparan yang menga kibatkan kematian, warga suku tersebut juga banyak dirundung kasus gizi buruk. "Langkah yang harus segera diambil adalah pemerintah harus mereview izin dan memulihkan wilayah SAD," ujarnya.
Di lahan HTI itu, selalu tumbuh tanaman akasia dan ekaliptus. Sebuk bunga kedua tanaman ini mudah tumbuh terbawa angin hingga merubah vegetasi awal hutan. Celakanya hewan juga tidak bisa bertahan dengan tanaman akasia dan ekaliptus. Jadilah sumber pangan hewan, madu, tumb uhan, buah dan pangan hilang. Untuk mengantisipasi hal itu Kemensos mengaku akan berkoor dinasi dengan sejumlah kementerian lembaga lainnya, termasuk Kementerian Lingkungan Hid up dan Kehutanan (KLHK), untuk menangani orang rimba di TNBD Jambi.
"Kita akan berkoor dinasi dengan pihak terkait lainnya terutama berhubungan dengan lahan tempat tinggal mereka," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam ketera ngannya, di Jambi. Sabtu (14/3). Diantaranya berkoordinasi dengan pemi lik perusahaan di lokasi tersebut agar bisa secepatnya menyerahkan lahan kepada warga SAD. Pemberian izin HTI juga kerap menimbulkan konflik dengan warga sekitar hutan.
Menurut Khofifah, jika warga SAD mengiginkan kawasan tempat tinggalnya dijadikan seba gai desa adat, maka mereka akan mendapatkan hak-hak administratif dan berbagai prog ram perlindu ngan sosial, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indon esia Sehat (KIS), serta beras raskin (Raskin). Intervensi pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi warga SAD, tetap memperhatikan budaya dan adat setem pat yang akan ditingkatkan dan diintegrasikan dengan berbagai pihak terkait lainnya. “Kami tetap menghormati adat dan apapun keputusan warga SAD untuk pembangunan fasilitas, seperti rumah, dengan terlebih dahulu dila kukan pendekatan,” tandas Khofifah.
Menurutnya, penanganan SAD seharusnya mulai diintegrasikan dengan lingkungan sekitar nya, sehingga bisa terbuka akses interaksi sosial. “Langkah awal penanganan, agar mereka terbu ka adalah dengan perlunya interaksi sosial dan diintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya,” tandas Khofifah. Bahkan, Kemensos akan menindaklanjuti tawaran Hunian Tetap (Huntap) Und ang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Adat. Tawaran itu bisa diusulkan dengan pemberikan desa adat kepada warga SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi.
Saat ini, SAD di wilayah Jambi berjumlah 1.775 jiwa, dan 13 tumenggung atau kelompok warga terdiri dari 20 sampai 30 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah tersebut, pemerin tah akan segera mengkaji kelompok warga dan direkomendasikan menjadi desa adat di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Khofifah juga meminta agar Orang Rimba mengo lah lahan mereka buat bercocok tanam.
Tujuan nya supaya bisa mendapatkan makanan layak dan ketimbang mesti berburu dan hidup berpindah. “Tapi jika nanti disahkan, salah satu Temenggung harus ada yang menan datangani perjanjian penyerahan HTI itu ya. Perjanjian itu supaya kita bisa mendapatkan lahan untuk bercocok tanam, ” tambah Khofifah. Khofifah juga menawarkan anak-anak orang rimba buat sekolah. Orang Rim ba diberi pilihan sekolah di luar lingkungannya, dengan beasiswa atau membangun institusi pen didikan di hutan.
Khofifah menjelaskan, wacana membangun desa adat buat Orang Rimba dilakukan buat menyela matkan mereka. Harapannya supaya mereka bisa terhindar dari musibah seperti kematian akib at kelaparan. Khofifah mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak terkait, buat menangani mas alah menimpa orang rimba di Jambi, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementeri an Kesehatan buat mencari solusi terbaik. Menurut dia semua pilihan masih terus dikaji sampai ada kesepakatan.
Itu semua akan dikaji lagi untuk direkomendasikan bisa jadi kawasan desa adat oleh pemerin tah. Untuk membentuk desa adat memang sudah ada tatanan administrasinya dan payung huku mnya yang sudah disahkan. “Sesuai Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Adat, maka pemerin tah akan mengusahakan pemberian desa adat kepada orang rimba yang menghuni Taman Nasio nal Bukit Duabelas yang ada di Jambi,” kata Khofifah Dan jika mereka siap untuk menjadi desa adat maka pemerintah akan melakukan intervensi progr am-program perlindu ngan sosial yang bisa diintegrasikan oleh warga atau Suku Anak Dalam (SAD) di sana,” ujar Khofifah.
[caption id="attachment_407287" align="aligncenter" width="503" caption="Dok. Pri"][/caption]
Khofifah juga mendesak perusahaan yang memiliki HTI dan lahannya bersinggungan deng an tanah adat Orang Rimba, untuk menyerahkan lahan seluas kurang lebih 200 hektare kepada Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Maritua. Dia meminta supaya lahan itu secepatnya bisa diberikan supaya menekan potensi konflik. “Jika Orang Rimba mau menja dikan kawasan itu seb agai desa adat, maka mereka akan mendapatkan hak -hak adminis tratif dan dana yang digulirkan pihak kementerian menjadi hak mereka,” lanjut Khofifah. (Djohan)