Janji manis janji makan siang gratis seringkali menjadi sorotan di tengah perut lapar dalam hiruk pikuk kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dengan gagahnya menawarkan program ini sebagai solusi gizi untuk anak bangsa. Sekilas, program ini terdengar seperti jawaban atas permasalahan stunting dan kurang gizi yang menghantui generasi muda. Tapi benarkah semanis itu?Â
   Di balik slogan yang menggugah, ada pertanyaan yang tak terelakkan. Pertama, apakah program ini benar-benar bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia? Kedua, tepatkah jika Dana BOS yang sejatinya untuk buku, alat tulis, dan gaji guru diarahkan menjadi pembiayaan makan siang? Â
   Rp 450 triliun per tahun. Itu bukan sekadar angka; itu hampir dua kali lipat anggaran pendidikan nasional. Dengan jumlah penerima yang mencapai 82,9 juta orang, biaya per porsi makan siang mencapai Rp 15 ribu. Sekilas terlihat sederhana, tapi bagaimana ini berdampak pada APBN yang sudah rapuh?  Â
   Mengalihkan Dana BOS untuk makan siang gratis seperti merampas payung dari seorang anak di tengah hujan deras. Apa jadinya jika sekolah kehilangan buku, alat tulis, atau bahkan guru hanya untuk menggantikan makan siang?  Program ini mungkin terdengar heroik, tetapi langkah-langkah yang diambil justru mengundang ironi. Makan siang gratis, mungkin akan terasa mahal ketika rakyat akhirnya sadar: ada harga yang lebih besar yang harus dibayar dari piring ini.Â
   Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya adalah napas bagi pendidikan dasar di Indonesia. Sebuah anggaran yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, seperti membeli buku, alat tulis, membayar gaji guru honorer, hingga mendukung pendidikan inklusif. Namun kini, dana yang harusnya menjadi tonggak pendidikan justru digeser ke arah yang sama sekali berbeda membiayai program makan siang gratis. Bayangkan ini: seorang guru berjuang mengajar dengan keterbatasan alat bantu, sementara di luar kelas, tumpukan nasi kotak berbaris rapi menunggu jam makan siang. Ironi ini menggambarkan prioritas yang salah tempat.  Â
   Daripada mengorbankan Dana BOS atau subsidi energi, pemerintah bisa mempertimbangkan pendekatan lain. Program makan siang bisa dimulai secara bertahap di wilayah prioritas, seperti daerah dengan tingkat stunting tinggi. Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta atau donor internasional juga bisa menjadi solusi pendanaan yang lebih masuk akal.  Â
   Pilihan lain adalah memanfaatkan bantuan pangan langsung kepada keluarga yang membutuhkan, sehingga mereka tetap memiliki otonomi untuk mengelola kebutuhan gizi keluarga tanpa ketergantungan pada sekolah. Â
   Dalam ekonomi, setiap keputusan selalu membawa dampak. Program makan siang gratis mungkin terdengar seperti solusi cepat, tetapi dampak jangka panjangnya perlu dipertimbangkan dengan serius. Apakah kita ingin memberi makan hari ini, tetapi mengorbankan masa depan? Atau kita akan memilih jalan yang lebih bijak, meskipun tampaknya lebih lambat? Seperti yang pernah dikatakan Benjamin, "sejarah adalah kuburan keputusan-keputusan keliru yang tidak pernah kita lihat di masa depan, tetapi kita rasakan di masa lalu".Â
   Sebagian publik mengusulkan pendekatan lain yang lebih realistis. Misalnya, subsidi pangan langsung yang diarahkan ke keluarga rentan, sehingga tanggung jawab pemberian gizi tetap berada di tingkat rumah tangga. Atau mengintegrasikan program makan siang dengan pembangunan pertanian lokal, sehingga manfaat ekonomi bisa menyebar lebih luas, tidak hanya kepada anak-anak sekolah, tetapi juga para petani.  Â
Penulis : Fayi Agita Regina Putri mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H