Akhir-akhir ini tengah ramai berita mengenai, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, yang menunggah video di kanal youtubenya memberikan motivasi dan strategi dalam mendaftar S1 di luar negeri. Meskipun hal ini tampaknya merupakan perhatian yang baik dari menteri kita terhadap para pelajar di Indonesia, pada situasi pendidikan Indonesia saat ini, tindakannya dapat disalahartikan sebagai perbuatan yang insensitif.
Kita semua tahu bahwa berkuliah di luar negeri memang memiliki keuntungannya tersendiri, mulai dari reputasi PTLN (Perguruan Tinggi Luar Negeri) yang sudah dikenal di mancah dunia sampai kurikulum dan tenaga pendidiknya yang luar biasa. Namun, bagi seorang wakil menteri untuk membuat video khusus berisi motivasi dan strategi berkuliah di PTLN, menimbulkan reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Masyarakat mengatakan bahwa pemerintah seharusnya fokus meningkatkan kualitas pendidikan dan universitas di Indonesia agar dapat berkompetisi dengan PTLN. Masyarakat mulai mengungkit bagaimana background pendidikan Stella Christie yang berasal dari luar negeri ini membuatnya buta terhadap permasalahan di Tanah Air. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan, seberapa peka-kah pemerintah terhadap realitas pendidikan di Indonesia dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan di Indonesia?
Realitas Pendidikan di Indonesia
Pembaharuan sistem pendidikan melalui Kurikulum Merdeka di Indonesia membawa harapan baru untuk menciptakan generasi yang kreatif, inovatif, dan berkompeten. Salah satu ciri khas dari kurikulum ini adalah proyek-proyek sekolah yang dirancang untuk melatih keterampilan praktis siswa. Namun, implementasi Kurikulum Merdeka di lapangan justru menimbulkan tantangan baru, terutama bagi pelajar dari keluarga kurang mampu. Â
Proyek-proyek sekolah sering kali memerlukan biaya besar untuk pembelian bahan atau alat pendukung. Bagi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, pengeluaran ini menjadi beban berat yang tidak mudah ditanggung. Ketimpangan ekonomi membuat penerapan Kurikulum Merdeka menjadi tidak merata, karena siswa dari keluarga berkecukupan dapat melaksanakan proyek dengan optimal, sementara siswa kurang mampu justru kesulitan. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan proyek sering kali mengurangi waktu belajar siswa, menimbulkan tekanan tambahan bagi mereka yang sudah berjuang menyeimbangkan pendidikan dengan kebutuhan keluarga. Â
Masalah ini sebenarnya mencerminkan isu yang lebih besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Meskipun pemerintah telah mewajibkan pendidikan gratis di sekolah negeri, kenyataannya praktik pungutan liar (pungli) masih banyak terjadi. Beberapa sekolah negeri masih meminta sumbangan atau biaya tambahan dengan dalih pengembangan fasilitas, yang secara tidak langsung membebani siswa. Praktik ini memperdalam ketimpangan dalam akses pendidikan dan mencederai prinsip pendidikan sebagai hak dasar setiap anak. Â
Di sisi lain, kesejahteraan tenaga pendidik juga menjadi masalah besar yang sering diabaikan. Gaji guru, terutama guru honorer, masih sangat rendah dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kasus keterlambatan pembayaran gaji guru honorer yang viral beberapa waktu lalu menunjukkan minimnya perhatian terhadap tenaga pendidik. Guru honorer sering kali harus bekerja berbulan-bulan tanpa kepastian kapan mereka akan menerima hak mereka. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup guru, tetapi juga semangat dan dedikasi mereka dalam mendidik siswa. Â
Selain itu, akses guru terhadap pendidikan lanjutan sangat terbatas. Banyak guru di Indonesia yang hanya memiliki gelar sarjana karena sulitnya memperoleh beasiswa untuk pendidikan lebih tinggi. Padahal, pendidikan lanjutan bagi guru sangat penting untuk meningkatkan kompetensi mereka. Guru yang berkualitas akan mampu mencetak generasi penerus yang lebih unggul dan kompeten, namun minimnya investasi dalam pengembangan sumber daya manusia di sektor pendidikan justru menjadi penghambat utama. Â
Kontroversi Tanggapan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi terhadap Penerima LPDP
Bukan hanya mengenai video motivasi dan strategi masuk PTLN saja, sebelumnya juga tengah terjadi kontroversi saat Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi memperkenalkan kebijakan baru yang memungkinkan penerima beasiswa LPDP untuk berkarya di mana saja, termasuk di luar negeri, tanpa kewajiban kembali ke Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk memberi fleksibilitas kepada alumni LPDP agar dapat berkontribusi sesuai dengan kapasitas dan peluang yang mereka miliki, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Â
Namun, kebijakan ini memicu reaksi beragam dari masyarakat. Beberapa pihak mengapresiasi pendekatan ini karena dianggap memberi kebebasan bagi alumni untuk mengembangkan potensi mereka tanpa batasan geografis. Di sisi lain, kritik muncul dari masyarakat yang merasa bahwa kebijakan ini tidak adil, mengingat dana LPDP berasal dari pajak rakyat. Â
Sejumlah masyarakat mempertanyakan keputusan pemerintah yang memberikan fleksibilitas tersebut. Kritik terbesar datang dari mereka yang merasa pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk mendanai pendidikan orang-orang yang akhirnya memilih untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. "Kalau mereka tidak kembali, lalu apa manfaatnya untuk Indonesia? Bukankah dana ini seharusnya untuk pembangunan dalam negeri?"
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperburuk fenomena brain drain, di mana individu-individu cerdas dan berbakat lebih memilih tinggal di luar negeri karena akses dan fasilitas yang lebih baik. Hal ini dianggap dapat mengurangi jumlah tenaga ahli yang seharusnya mendukung pembangunan di Indonesia. Â
Namun, ada juga suara yang mendukung kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa kontribusi tidak selalu harus dilakukan secara langsung dari dalam negeri. "Kontribusi alumni di luar negeri, seperti menjadi peneliti atau profesional terkemuka, juga membawa nama Indonesia ke panggung dunia," ujar seorang pendukung kebijakan. Â
Permasalahan-permasalahan ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan hanya dengan menyuruh para pelajar ataupun para guru untuk "rajin" belajar dan bekerja. Titik utama dari permasalahan ini yaitu ketimpangan, bukan hanya ketimpangan antara pendidikan di kota-kota besar dan di daerah, tetapi juga ketimpangan antara pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat menengah ke atas yang mampu menyekolahkan dan memfasilitasi anak-anak mereka dengan baik, dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum bisa mengoptimalkan pendidikan anak-anak mereka.
Rangkaian kejadian ini secara tidak langsung menunjukan bagaimana pemerintahan kita sebenarnya belum mengambil langkah yang begitu besar dalam merombak dan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, pendidikan merupakan tonggak utama untuk menciptakan generasi unggul Indonesia, sehingga seharusnya pendidikan menjadi salah satu bidang yang diprioritaskan oleh pemerintah. Selain itu, pemerataan dan empati dalam bidang pendidikan sangat diperlukan, sehingga tercipta keadilan bagi seluruh rakyat agar mampu menempuh pendidikan wajib 13 tahun dan pendidikan tinggi. Pemerintah perlu memberikan apa yang menjadi hak dasar dari rakyatnya, pendidikan yang merata dan berkualitas.