Saat ini sedang berkembang wacana kenaikan harga BBM, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah subsidi untuk BBM. Maka timbullah gerakan-gerakan yang mendukung dan menentang rencana Pemerintah ini. Tentu saja Para Wakil Rakyat yang Terhormat juga tidak mau kalah, berapi-api dan bersemangat mereka menentang kebijakan Pemerintah ini, dengan alasan PRO-RAKYAT, mengasosiasikan partainya sebagai pembela rakyat kecil.
Terlepas dari jargon politik dan kepentingan-kepentingan politik di belakangnya, saya coba mengupas wacana ini berdasarkan kacamata seorang awam yang sama sekali tidak mengerti masalah politik, hanya sekedar mencoba jujur pada diri sendiri.
Subsidi yang digelontorkan Pemerintah dalam Tahun Anggaran 2012 sebagaimana tercantum dalam UU nomor 22 tahun 2012 tentang APBN Tangun 2012, adalah sebesar Rp 237,2 triliun (sekitar 18% dari total Penerimaan Negara). Sejumlah Rp 123,6 triliun dari total subsidi dialokasikan untuk BBM, sedangkan sisanya dibagikan untuk subsidi listrik, pangan, pupuk, benih, pelayanan umum, bunga kredit, dan pajak ditanggung pemerintah (DTP). Subsidi BBM ternyata lebih 50% dari total subsidi.
Saya penasaran dengan jalur penerimaan subsidi ini, mari kita buka selembar demi selembar (seperti mengupas lembaran bawang merah, mungkin akan pedih di mata, dan dapat membuat kita menangis...).
1.      Siapakah penerima subsidi BBM? Tentu saja pemilik kendaraan bermotor, baik roda dua, tiga, empat, atau lebih.
2.      Lokasi penerima subsidi BBM? Tentu saja daerah dengan jumlah pemilik KBM terbanyak.
3.      Kembali kepada pertanyaan pertama, Apakah para pemilik KBM masuk dalam kategori "Rakyat Miskin"? (Pertanyaan ini berkaitan dengan tujuan subsidi itu apa, bukankah dasarnya untuk pemberdayaan rakyat miskin?)
4.      Pendalaman untuk pertanyaan nomor 2, Daerah manakah penikmat subsidi BBM paling besar? Kita semua tahu, tentu bukan daerah desa terpencil, yang mungkin penduduk di sana kemana-mana masih berjalan kaki, menyebrang masih melalui jembatan gantung, atau paling banter mereka naik sepeda 'onthel'. Kita semua tahu daerah mana yang dipusingkan dengan kemacetan luar biasa karena pertumbuhan KBM yang tidak seimbang dengan pertambahan kilometer jalan-jalan, belum lagi dengan tingkat polusi udara yang dihasilkan KBM ini, dan juga tingkat kecelakaan lalulintas yang tinggi (terutama untuk tingkat kematian bikers yang tinggi, tiap jam berapa pengendara motor yang meregang nyawa di jalanan?).
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan hati nurani yang jujur, masihkah kita sanggup berteriak-teriak menentang "pengurangan subsidi BBM" karena merupakan kebijakan yang TIDAK PRO-RAKYAT?
Saya pribadi lebih beranggapan bahwa pemberian subsidi BBM ini malahan adalah kebijakan yang sama sekali TIDAK PRO-RAKYAT, karena jelas bahwa penerima subsidi BBM notabene bukan para rakyat miskin. Ya, memang mereka bisa beranggapan bahwa banyak pemilik KBM khususnya kendaraan roda dua berasal dari golongan menengah ke bawah. Tapi, kalau kita mau jujur, setiap pagi kita bisa lihat anak-anak SMP atau SMA yang menggunakan motor (bahkan saya pernah melihat anak-anak dengan seragam putih merah membawa motor ke sekolah!), motor yang mereka bawa ke sekolah tentunya bukan satu-satunya motor yang ada dalam keluarga ini, mungkin ayahnya juga membawa motor atau mobil ke kantor, ibunya bisa saja naik motor yang lain untuk ke pasar. Apakah rakyat miskin mampu membeli motor, walaupun dengan kredit?
Betapa seringnya kita disentakkan dengan berita anak-anak di daerah terpencil harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya untuk menuntut ilmu, ataupun bagaimana mereka harus menempuh bahaya dengan meniti jembatan gantung yang sangat rapuh. Bukankah mereka ini lebih berhak untuk menerima subsidi? Mungkin dalam bentuk infrastruktur jalan dan jembatan yang aman, nyaman, dan memadai? Atau yang lebih mewah sedikit, ketersediaan sekolah-sekolah yang lebih dekat dengan pemukiman desa mereka yang terpencil?