KORUPSI, dalam arti luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi (Wikipedia Indonesia). Definisi sederhana korupsi menurut Tranparency International Indonesia adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi."
Sebagian besar masyarakat kita gampang sekali berteriak-teriak tentang korupsi, apalagi bila ada kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh “oknum-oknum” aparat dan pejabat negara. Memang kasus-kasus korupsi atau kebocoran anggaran Negara, sangat menyakiti rasa keadilan dan kepercayaan rakyat terhadap penyelenggaraan negara (government governance). Dan kita tetap harus gencar menyuarakan kemarahan kita ats kasus-kasus tersebut.
Tetapi, kalau kita melihat secara jujur ke dalam hati, maupun melihat dalam lingkup yang lebih luas, sebenarnya prilaku koruptif menjalar bukan hanya dalam jajaran penyelenggara negara, tetapi juga meluas dalam kehidupan bermasyarakat di tingkat paling bawah. Prilaku koruptif ini seperti sel kanker, yang pada awal munculnya sel ini biasanya penderita belum merasakan sakit, dan sel kanker ini akan menjadi ganas bila ada pemicunya. Pada saat terpicu dan keganasan terjadi sehingga mengalahkan sel-sel baik dalam tubuh kita.
Pemahaman saya secara pribadi korupsi tidak selalu dalam bentuk uang atau materi, tetapi adalah suatu tindakan yang menguntungkan diri sendiri dengan mengorbankan (kepentingan) orang lain, sehingga melanggar asas keadilan. Bagi saya para pedagang kaki lima yang berdagang di trotoar melakukan tindakan korupsi karena mengambil hak pejalan kaki, sehingga pejalan kaki kadang harus membahayakan dirinya dengan berjalan di badan jalan (yang adalah hak dari para pengguna kendaraan bermotor).
Sejalan dengan pemahaman tersebut, mungkin bisa saya uraikan contoh-contoh kongkret yang lainnya :
1)Prilaku mencontek di kalangan siswa-siswi di bangku sekolah SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi;
2)Para penumpang anggkutan umum yang tidak membayar ongkos atau membeli tiket;
3)Para bikers yang menggunakan trotoar (yang adalah hak pejalan kaki);
4)Para pekerja yang mencuri waktu dengan main game, internetan, shopping, pada jam kantor; dan
5)Yang paling menyedihkan bagi saya adalah, sewaktu berjalan setiap pagi ke stasiun untuk naik Commuter Line menuju tempat kerja, saya harus menyebrang di sebuah perempatan yang pastinya cukup ramai dengan kendaraan bermotor yang biasanya membonceng anak-anak sekolah (baik bonceng di depan atau di belakang), dan mungkin karena mengejar waktu agar tidak terlambat masuk sekolah, sebagian besar bikers ini menerobos lampu merah. Miris sekali saya melihat hal ini, kasihan sekali anak-anak bisa menjadi split personality di sekolah mereka dididik untuk menjadi pribadi yang taat aturan , sementara di luar sekolah mereka melihat hal sebaliknya, karena mereka mendapat pengajaran di sekolah bahwa bila lampu lalulintas merah artinya kendaraaan harus berhenti, kalau hijau boleh jalan. Yang paling menyedihkan adalah pada kenyataannya para ibu, bapak, om, tante atau kakak dari anak-anak ini telah mengajarkan hal yang sebaliknya. Sedari kecil mereka dididik bahwa semua yang terjadi di bangku sekolah adalah formalitas belaka, sedangkan pada kehidupan keseharian semua peraturan dapat dilanggar.
Seperti halnya sel kanker, corruptive behavior ini mungkin bisa mengganas bila ada “pemicunya” misalnya saat orang tersebut menduduki suatu jabatan dengan kewenangan dan kekuasaan tertentu, maka “pejabat” ini dapat menggunakan jabatan dan kekuasannya untuk kepentingan pribadinya.
Menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu, bila para “penggiat gerakan bersih” ini hanya berteriak lantang karena mereka tidak memiliki “kesempatan” untuk korupsi, tetapi pada saat mereka menduduki jabatan ternyata “memicu keganasan juga”. Bukankah ini tercermin dalam keadaan nyata saat ini, pada saat kampanye pilpres atau pilkada mereka gembar gembor anti korupsi dan pro-rakyat, ternyata sekarang berapa banyak pimpinan daerah yang digelandang oleh KPK ke pengadilan untuk mempertanggungjawaban tindakan korupsinya.
Sekedar bahan renungan bagi kita semua. Sebaiknya kita mulai untuk instropeksi dalam hati kita, sebelum kita berteriak lantang dan memungut batu untuk merajam para koruptor. “Siapa yang bersih, biarlah dia yang pertama melempar batunya”.
Berkah Dalem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H