Mohon tunggu...
Reggy Blue
Reggy Blue Mohon Tunggu... -

cuma orang biasa dengan hidup yang penuh warna, yang pesimis dengan gelar sarjana, karena gelar sarjana di indonesia hanya bukti telah bayar kuliah 3 tahun lebih...yang apatis dengan pemerintahan indonesia...pemerintahan = sinetron tidak bermutu!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Ahmadiyah, bukan Abduliyah dan Bikin Resah?

3 Maret 2011   15:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Waktu saya kecil, saya masih ingat bagaimana Ayah saya mengingatkan apa yang harus saya lakukan, apa yang harus saya hindari, apa yang sebaiknya saya pilih dan apa yang perlu dipelajari. Kesalahan-kesalahan yang saya lakukan tidak membuat Ayah saya murka. Saya ingat, ketika saya main layangan, benang layangan terkait kawat listrik. Saya tarik sampai akhirnya kawat itu putus. Kesalahan yang fatal, bisa menyebabkan kebakaran bahkan kematian. Tapi karena kejadian itu Ayah tidak melarang orang untuk berjualan layangan, atau melarang PLN memasang kawat listrik. Ayah menyelesaikan masalah dan memberi pelajaran bahwa bermain harus ber hati-hati.

Lalu, saya juga ingat ketika saya beranjak remaja. Sembunyi-sembunyi saya merokok. Waktu di rumah tidak ada siapa-siapa, saat pulang sekolah, atau saat berkumpul dengan teman di suatu tempat, saya merokok. Akhirnya Ayah mengetahui. Saya kena marah. Tapi  Ayah tidak melarang tukang rokok supaya tidak berjualan. Ayah juga tidak mengajak tetangga ber-demo menentang rokok. Ayah menjelaskan bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan. Ayah menyayangkan uang jajan yang mestinya bisa dikumpulkan atau dibelikan sesuatu yang berguna, malah dibelikan racun yang bisa mempercepat kematian.

Ayah meluruskan langkah saya yang salah, tanpa harus menyalahkan jalan yang sudah ada. Ayah memberi saya ajaran untuk tidak membaca buku porno, tapi seingat saya Ayah tidak pernah mengobrak-abrik percetakan buku porno. Ayah melarang saya minum minuman keras, tapi Ayah tidak pernah merazia toko-toko yang berjualan minuman keras. Dengan ajarannya, Ayah yakin dan sepenuhnya percaya, bahwa saya suatu saat, setelah dewasa, akan mampu memilih mana yang baik. Ayah bangga dengan cara mendidiknya yang keras, tegas, tapi terarah, sehingga saya tidak akan tergoda hal apapun yang menyalahi etika, moral dan aturan.

Dan memang setelah saya dewasa, saya bisa memilih sendiri yang mana teman yang baik, lingkungan mana yang baik, pergaulan seperti apa yang positif. Ayah tidak perlu susah-susah mondar-mandir membubarkan gerombolan anak-anak yang sedang mejeng, Ayah tidak melarang tetangga membuka usaha warnet, Ayah juga tidak mengharamkan facebook, twitter, anerika dan tidak menuding siapapun yang berlaku mungkin  tidak pada tempatnya. Yang Ayah yakini, saya, anaknya benar. Orang lain berbuat apapun, masa bodoh. Itu urusan Ayah orang lain. Dan Ayah yakin, semua Ayah di dunia akan mengajar anak-anaknya dengan baik.

Ketika Ahmadiyah menjadi berita hangat, bahkan panas, saya jadi heran. Apakah para Ayah tidak mendidik anak-anaknya dengan baik? Dengan didikan Ayah, saya tidak terpengaruh Ahmadiyah. Dan jika semua terdidik dengan benar, semua juga tidak perlu takut pada kesesatan Ahmadiyah. Siapa yang akan jadi pengikut, jika semua sudah dididik agama dengan benar? Mengajar anak di rumah masing-masing dengan benar adalah solusi pertahanan yang baik, dan bukan dengan cara memusnahkan godaan. Selama dunia berputar, godaan akan selalu ada, lalu sampai kapan tugas Ayah selesai? Apakah seorang anak harus tetap dijaga sang Ayah walau sang anak sudah seharusnya dewasa?

Pendidikan agama yang benar tidak perlu menambah beban pajak dengan menempel label halal. Kecuali sang Ayah tidak percaya pada anaknya, sang Ayah tak yakin mengajar dengan benar. Pengajaran rohani yang mendalam tidak perlu menambah banyak perbendaharaan haram.Kecuali sang Ayah tahu bahwa anaknya bodoh selamanya dan tak akan pernah jadi pintar.

Jika fondasi pemahaman agama sudah benar, jengankan sejuta Ahmadiyah. Abduliyah, Hasaniyah, atau apapun tidak perlu bikin resah. Biarkan maka akan bubar sendiri.  Tapi kalau tahu fondasi masih lemah, kenapa tidak diperkuat dari sekarang? Kenapa malah mengancam tetangga, tapi tidak mengajar anak dengan baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun