Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung di sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. (Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 2)
Namun sayangnya diakhir hidupnya Tan Malaka tidak begitu menikmati perjuangannya atas kemerdekaan yang telah dia perjuangkan dengan gigih, ditangkap pada saat beliau sedang bergrilia dibunuh dan baru-baru ini ditemukan makamnya oleh seorang Belanda yang menjadi peneliti kisah Hidup Tan Malaka selama 36 tahun yaitu  Harry Albert Poeze.
Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim". Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia. ((Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 3). Sering Tan mengkritisi semua tindakan-tindakan yang tidak bijak dari para Bapa Pendiri Bangsa. Dalam tulisan-tulisannya yang tentunya didasari oleh semua yang sudah tersimpan dalam Jembatan Keledainya itu.
"Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu. Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita" (Tan Malaka).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H