Mohon tunggu...
Regen wantalangi
Regen wantalangi Mohon Tunggu... Penulis - dalam hening ada renung

si tou timou tu mou tou

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjuangan dan Jembatan Keledai Tan Malaka

19 April 2020   13:02 Diperbarui: 19 April 2020   15:58 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto merahputih.com
sumber foto merahputih.com

Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung di sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. (Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 2)

Namun sayangnya diakhir hidupnya Tan Malaka tidak begitu menikmati perjuangannya atas kemerdekaan yang telah dia perjuangkan dengan gigih, ditangkap pada saat beliau sedang bergrilia dibunuh dan baru-baru ini ditemukan makamnya oleh seorang Belanda yang menjadi peneliti kisah Hidup Tan Malaka selama 36 tahun yaitu  Harry Albert Poeze.

Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim". Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia. ((Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 3). Sering Tan mengkritisi semua tindakan-tindakan yang tidak bijak dari para Bapa Pendiri Bangsa. Dalam tulisan-tulisannya yang tentunya didasari oleh semua yang sudah tersimpan dalam Jembatan Keledainya itu.

"Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu. Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita" (Tan Malaka).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun